Share

Chapter 3 | Tidak Dapat Menahan Diri

Di rumah sakit…

"Tidak ada luka serius, mungkin nanti akan sedikit terasa nyeri di bagian tubuh yang terkena benturan," dokter memberikan penjelasan kepada Vanya yang sedang memeriksakan kondisinya.

Vanya mengangguk pelan,"Terima kasih Dokter, kalau begitu aku izin pamit," ucapnya dengan nada sopan, setelah itu dia keluar dari ruangan dokter yang sudah memeriksanya.

Di luar ruangan, Utari menunggu putrinya dengan cemas. Namun enggan untuk bertanya lebih jauh. Wanita paruh baya itu segera menghampiri Vanya begitu melihat sang putri keluar dari ruangan.

"Bagaimana hasilnya, Nak? Apa kata dokter? Apa kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja Ibu," balas Vanya disertai senyuman lembut kepada sang ibu.

Utari menghela napas lega, "Syukurlah kalau begitu."

"Ayo Ibu, aku akan memperkenalkan Ibu kepada Vicky." Ajak Vanya seraya menarik tangan sang ibu dengan semangat.

“Iya… iya…” sahut Utari dan mengikuti langkah Vanya.

Setibanya di lobi rumah sakit, Vanya melihat ke sekeliling lobi. Namun, dia tidak mendapai Vicky dan Barry. Wajahnya mulai terlihat panik, wanita cantik itu lalu melepaskan tangan Ibunya.

"Tunggu sebentar, Bu."

Vanya mengambil langkah cepat menuju parkiran, dan wajahnya berubah sedih saat tidak mendapati mobil yang tadi dia naiki bersama Vicky.

Dari belakang, Utari sudah menyusul putrinya yang terlihat menunduk. Dia bisa melihat ekspresi kekecewaan dalam raut wajah putrinya, “Vanya,” panggilnya seraya memegang pundak Vanya.

"Mungkin dia ada keperluan mendesak, Nak," sambung Utari berusaha menghibur Vanya.

Vanya menoleh dan mengangguk, “Iya bu.”

Ketika mereka hendak kembali ke tempat ayahnya dirawat, seorang perawat wanita menghampiri mereka.

"Apakah anda Nona Vanya?" Tanya perawat tersebut.

"Iya benar, aku Vanya," jawab Vanya.

"Bapak yang bersama pemuda tampan tadi menitipkan pesan untuk disampaikan kepada anda," ujar perawat muda tersebut.

Vanya mengerutkan keningnya, "Pemuda tampan? Oh... maksudnya Vicky?"

"Oh... nama pemuda tampan itu Vicky," gumam perawat itu, pelan.

"Ah maaf... bukan itu maksud saya." Perawat itu terlihat salah tingkah karena sadar bukan itu tujuannya menemui Vanya.

"Bapak yang tadi bersama pemuda itu mengatakan jika besok malam mereka akan kembali menemui anda," sambungperawat itu menyampaikan pesan yang ditinggalkan Barry.

Vanya tidak dapat menutupi wajah bahagianya, “Terima kasih.” Ucapnya kepada sang perawat. Seandainya tidak ada orang di sekitarnya, sudah dipastikan Vanya akan melompat kegirangan.

Perawat itu pun izin pamit setelah menyampaikan pesan dari barry kepada Vanya. Sedangkan Vanya dan sang Ibu kembali ke ruang rawat Ayahnya.

"Ibu jadi penasaran, setampan apa pria bernama Vicky itu sampai membuat perawat tadi salah tingkah,dan membuat putri Ibu tersenyum tiada hentinya." gumam Utari kembali menggoda Vanya.

"Vicky sangat tampan Ibu, matanya sangat indah, dia juga sangat baik, dia pasti menjadi menantu yang baik untuk Ibu," celutuk Vanya menjawab pertanyaan Ibunya.

"Menantu?!"

Utari terkejut mendengar jawaban dari anaknya, ini benar-benar pertama kali bagi dirinya mendengar Vanya memuji dan menyukai seorang pria di depannya.

Refleks Vanya langsung menoleh ke ibunya serayamenutup mulut dengan kedua tangannya.

"Ibu!" rengeknya manja kepada sang ibu, Vanya mempercepat langkah dan meninggalkan ibunya.

Sikap polos Vanya membuat Utari kembali tertawa dia pun terus menggoda putrinya dalam perjalanan menuju tempat suaminya dirawat.

"Selamat datang Tuan Vicky."

Beberapa pelayan wanita menyambut Vicky yang baru saja tiba di depan rumah mewah yang terletak di salah satu komplek elit di Kota Bogor. Dia lalu diantar masuk ke dalam rumah mewah itu, untuk menemui pria yang telah membuat janji dengannya.

Pria tua yang menunggu di ruang tamu hendak berdiri untuk menyambut Vicky, namun Vicky mempercepat langkahnya dan langsung memegang kedua bahu pria tua itu dengan lembut.

"Kakek Efendi tidak perlu berdiri," ucap Vicky cepat seraya membantu Kakek Efendi untuk kembali duduk di kursi.

"Ah... usia tua menjadikanku kakek-kakek yang tidak berguna, bahkan hanya untuk berdiri menyapamu sangat sulit aku lakukan sekarang," keluh Efendi kepada Vicky.

Vicky tertawa kecil begitu dia mendengar keluhan Effendi.

"Kakek Efendi jangan terlalu merendah, malah jika aku membiarkan Kakek Efendi berdiri menyapaku, aku yang akan menjadi anak muda tidak berguna," balas Vicky menghibur Efendi, dia lalu duduk tepat di samping Efendi.

"Haha...Vicky kamu memang anak yang baik dan juga sopan, sama seperti informasi yang diberikan kakekmu." Tawa lepas Efendi terdengar menggema di ruang tamu.

"Kakek mau minta maaf sebelumnya karena kemarin tidak dapat menghadiri acara pertunanganmu dengan cucuku, kondisiku sekarang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh," keluh Efendi sambil memegang pundak Vicky.

"Tidak apa-apa Kakek, doa dan restu darimu sudah cukup mewakili kehadiranmu," balas Vicky dengan sopan.

Kakek Efendi kembali tersenyum mendengar jawaban dari tunangan cucunya itu.

"Jadi bagaimana tanggapanmu terhadap cucuku?" Kakek Efendi bertanya dengan nada yang cukup serius kali ini.

"Manda gadis yang cantik dan ramah, ayah dan ibunya juga orang yang sangat baik," balas Vicky.

"Baguslah kalau kamu menyukainya," ucap Efendi yang terlihat puas dengan jawaban yang diberikan Vicky.

Usai bercengkerama dengan Efendi. Vicky masuk ke kamar yang sudah di siapkan untuknya beristirahat malam ini. Didalamkamar, pelayan sudah meletakkan baju ganti untuk Vicky. Pria itu bergegas untuk mandi dan menghilangkan rasa letihnya dengan air hangat.

Setelha berpakaian, Vicky berbaring di kasurnya sambil menatap langit-langit, pemuda tampan itu kembali mengingat kejadian sebelumbertemu Vanya.

Dua hari lalu, dia baru saja bertunangan dengan cucu Kakek Efendi yang bernama Manda Mahardika, ini merupakan hal yang disepakati kedua keluarga mereka, jadi acara itu merupakan kali pertama dia bertemu dengan tunangannya.

Manda memiliki paras yang cantik, gadis yang berumur satu tahun lebih muda darinya itu memiliki sikap yang ramah, seperti yang tadi Vicky sampaikan kepada Kakek Efendi, jadi dia benar-benar jujur ketika menyampaikan hal tersebut.

Pada acara itu juga disepakati, jika Vicky akan menduduki posisi CEO dari salah satu perusahaan yang berada di bawah naungan Dharma Prakarsa Group, saat itu terjadi mungkin Vicky akan menjadi salah satu CEO termuda di Indonesia yang memimpin perusahaan ternama.

Keluarga Mahardika milik Efendi sendiri merupakan pemilik saham kedua terbesar di Dharma Prakarsa Group, setelah mengajukan permohonan kepada para pemegang saham, Mereka menyepakati usulan jika calon menantu keluarga Mahardika diberikan Posisi CEO di salah satu perusahaan di bawah naungan grup itu.

Sedangkan untuk masalahpernikahannya belum diputuskan, mengingat Vicky yang baru berumur 20 tahun dan Manda yang baru berumur 19 tahun.

***

Keesokan harinya…

"Vanya... kenapa kamu terus memandangi jam tanganmu, Nak?" Tanya Bima yang mendapati Vanya sudah beberapa kali melirik jam tangannya.

Vanya menoleh dan menjadi bingung menjawab sang Ayah, "Itu ayah... Hmm... Itu yah.”

Melihat sikap Vanya yang seperti itu membuat Utari ingin kembali menggoda putrinya.

"Vanya lagi menunggu Vick...."

"Ibuu!" Teriak Vanya manja yang tidak membiarkan Ibunya menyelesaikan kalimatnya.

Lagi-lagi Utari tertawa, sejak kemarin Utari terus-terusan menggoda anak gadisnya.

Melihat tingkah istri dan putrinya, Bima terlihat kebingungan. Dia yang baru saja dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat inap, jadi tidak mengetahui kisah asmara putrinya ini.

"Nanti aku ceritakan ketika kamu sudah baikan," ucap Utari seraya membelai rambut suaminya.

Tak berselang lama seorang perawat masuk ke dalam kamar mereka. Vanya mengenali perawat wanita itu, perawat yang kemarin menyampaikan pesan kepada dirinya.

"Nona Vanya, seseorang sedang menunggu anda di lobi Rumah Sakit," ucap perawat itu kepada Vanya.

Vanya tidak dapat menutupi senyuman yang terlukis di wajahnya, dia sangat senang saat mendengarnya. Namun kali ini dia menahan diri, dia tidak mau lagi terlihat memalukan seperti kemarin, apalagi saat ini ayahnya juga berada disini.

"Terima kasih suster," jawab Vanya sambil tersenyum. Perawat tersebut pun keluar setelah menyampaikan pesan.

Vanya menoleh kepadakedua orang tuanya, dengan wajahmenggemaskan dia berkata. "Ayah, Ibu, aku..."

Utari tersenyum, "Pergilah, Nak, biar Ibu yang menjaga ayahmu." Ucapnya memberikan izin kepada putrinya yang sudah terlihat gelisah.

"Terima kasih Ibu," sahut Vanya yang lalu bergegas mengecup kening ayah dan ibunya, setelah itu dia meninggalkan ruangan tempat ayah dan Ibunya berada.

"Istriku, ada apa dengan anak kita?" Bima semakin heran dengan sikap anaknya, bagi Bima Purnomo ini juga permata kali dia melihat Vanya bertingkah menggemaskan seperti itu.

Karena Vanya sudah meninggalkan ruangan, Utari akhirnya bercerita mengenai pemuda yang bernama Vicky kepada suaminya dan kejadian lucu lainnya ketika suaminya itu tidak sadarkan diri. Bima terlihat beberapa kali tertawa lepas mendengar cerita dari istrinya.

*****

Vanya sudah sampai di lobi rumah sakit, dia melihat orang-orang yang berada di lobi itu, namun dia tidak menemukan sosok pemuda yang telah membuatnya gelisah sepanjang hari.

"Nona Vanya, Tuan Muda menunggu anda di mobil," sapa seorang pria dari arah belakang Vanya.

Vanya menoleh ke belakang dan tersenyum, “Terima kasih Pak Barry,” ucapnya lalu mohon pamit kepada Barry. Vanya kemudian melangkah menuju pelataran parkir Rumah Sakit Cipta. Dan menghampiri mobil yang kemarin mengantarnya ke Rumah Sakit Cipta.

Sedangkan Vicky yang sudah melihat Vanya berjalan mendekatinya, segera membuka pintu mobil dan turun untuk bertemu Vanya yang kini sudah berada di depannya.

"Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Vicky memulai pembicaraan seraya menutup pintu mobil.

"Dia sudah siuman, kondisinya pun sudah semakin membaik, saat ini ayahku sudah dipindahkan ke ruang rawat inap," jawabVanya dengan menatap wajah Vicky.

Vicky mengangguk dan tersenyum, "Hmm, syukurlah kalau begitu."

Pria itu lalu mulai berjalan yang diikuti Vanya di sampingnya, tidak jauh dari parkiran mobil terdapat sebuah taman kecil yang biasa digunakan keluarga pasien untuk beristirahat. Mereka berdua lalu melangkah menuju bangku taman.

"Maaf Vanya, aku mungkin tidak akan sempat untuk bertemu kedua orang tuamu," ucap Vicky begitu mereka berdua duduk.

"Tidak apa-apa," balas Vanya sambil tersenyum.

"Bagaimana dengan urusanmu, apa sudah selesai?" sambung Vanya.

Vicky menoleh ke arah Vanya dan berkata, "Iya, setelah ini kami berencana kembali ke Jakarta," jawabnya.

Mendengar hal itu membuat Vanya tidak dapat menutupi kesedihannya. Rasanya dia belum siap untuk berpisah secepat ini dengan Vicky.

Wajah Vanya yang seperti ini membuatnya benar-benar terpesona, "Hmm, mempesona..." batinnya.

"Vanya...," panggilVicky lalu meraih tangan Vanya, memegangnya dengan lembut.

Vanya yang sedang melamun, cukup terkejut dan menoleh ke arah Vicky, “Ya? Ada apa – Euhm…” wanita cantik itu tidak lagi melanjutkan pertanyaan. Dia terkejut saat bibir Vicky sudah menyentuh bibirnya.

Vanya terdiam dan membelalak, jantung berdegup begitu cepat. Tetapi sesaat Vicky membuka mulutnya dan memperdalam ciumannya. Vanya menutup mata, menikmati setiap lumatan lembut yang di berikan Vicky. Tangannya naik menggenggam lengan Vicky. Sedangkan tangan Vicky sudah memegang lembut pipi Vanya.

“Euhm…” suara ciuman dan decapan terdengar begitu memabukkan. Vanya yang tidak pernah berciuman sama sekali hanya diam dan mengikuti apa yang di lakukan Vicky.

Vanya dapat merasakan bibir Vicky yang begitu lembut terus menyesap bibirnya, kepala mereka bergantian kiri dan kanan, Vicky benar-benar begitu mendominasi. Sekitar dua menit mereka berciuman tiada henti, hingga Vicky melepaskan ciuman itu dengan begitu perlahan, dan suara desahan kecil dari Vanya terdengar, “Ah…”

Vanya yang tersadar akan hal itu menjadi malu, wajahnya benar-benar merona merah. Kenapa sampai ada suara memalukan seperti itu keluar darinya. Wanita cantik itu menoleh, tidak ingin melihat wajah Vicky.

Vicky tersenyum melihatVanya dengan wajah tersipu. Vicky sendiri sebenarnya sudah siap jika Vanya akan menamparnya seperti Eddy. Beruntungnya Vanya tidak menampar wajahnya saat ini. Entah kenapa dia tidak bisa menahan diri saat melihat Vanya. Bibirnya yang ranum terlihat begitu cantik dan sangat menggoda. Sehingga dirinya sendiri ikut kehilangan akal berani menciumi wanita yang baru bertemu dua kali ini.

"Kamu sangat cantik, Vanya" ucap Vicky pelan.

Ucapan Vicky berhasil membuat Vanya kembali merona.

"Terima kasih," balas Vanya yang masih enggan melihat ke arah Vicky.

"Ahh... sangat menggemaskan..." gumam Vicky dalam hati memuji wanita cantik di depannya ini.

Vicky menarik napas dalam dan tersenyum, pria itu meraih tangan Vanya. “Ayo, kita berdua sudah cukup lama kita berada di sini. Aku tidak ingin membuat Ayah dan Ibumu khawatir.” Ucap Vicky dan berdiri.

Vanya mengangguk dan ikut berdiri, mengikuti langkah kaki Vicky. Mereka berjalan beriringan dengan tangan saling berpegangan.

"Vanya?" Vicky memanggil nama wanita cantik yang ada di sisinya saat mereka sudah berada di depan pintu rumah sakit.

"Iya?" jawab Vanya dengan singkat.

“Kita sudah tiba,” ucap Vicky lembut sambil meunjuk ke arah pintu rumah sakit.

“Ah iya,”

Mereka berdua pun saling berhadapan, Vicky lalu mengusap lembut puncak kepala Vanya dan berkata. "Vanya... Happy Birthday."

Deg!!

"Te... terima kasih Vicky," jawabnya dengan rasa campur aduk. Malam ini, dirinya merasa benar-benar bahagia.

Dari arah parkiran, terlihat Barry berjalan menghampiri Vanya dan Vicky. "Nona Vanya, ini jaket anda," ucap Barry seraya menyerahkan jaket yang berada di tangannya kepada Vanya.

"Terima kasih Pak Barry," balas Vanya, lembut.

Setelah menyerahkan jaket tersebut, Barry langsung kembali menuju parkiran mobil.

Sedangkan Vanya sendiri masih belum berani menatap wajah Vicky. Dia masih merasa gugup dan malu karena kejadian di taman tadi. Kepalanya terus melihat ke arah bawah atau ke arah lain selain wajah Vicky.

"Vanya, apa kamu marah padaku?"

Vanya seketika mendongak melihat Vicky, "Tidak Vicky! Aku...." Vanya bingung harus berkata apa.

"Jadi, apa kamu tidak suka dengan ciuman yang aku berikan padamu?" Vicky kembali bertanya kepada Vanya dengan rasa penasaran, dia tidak ingin meninggalkan kesan yang tidak baik kepada wanita cantik ini.

"Tentu saja aku menyukainya," sahut Vanya cepat.

"Ahh...." Seketika Vanya langsung membekap mulutnya, "Dasar... mulut bodoh!" batin Vanya mengumpat kecerobohannya.

Vicky tersenyum mendengar jawaban spontan dari Vanya dan kembali mengusap lembut puncak kepala Vanya. Dia merasa lega dan bahagia. Kemudian dia menunduk, mendekatkan wajahnya lalu berbisik, “Aku juga sangat menyukainya.”

Blush!

Wajah Vanya terasa memanas dan menjadi salah tingkah.

"Kalau begitu aku mohon pamit, sampaikan salamku kepada kedua orang tuamu," ucap Vicky lalu berbalik menuju pelataran parkir.

"Vicky, tunggu!" Vanya menarik lengan jas yang dikenakan Vicky membuat langkah pria itu terhenti dan kembali melihat ke arah Vanya, “Ya?” sahutnya.

"Terima kasih untuk semuanya," sambung Vanya dengan senyuman manisnya.

"Sama-sama Cantik," balas Vicky sambil mengelus pipi Vanya lembut. Kemudian pria itu benar-benar melangkah pergi meninggalkan Vanya yang masih menatap punggungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status