Share

Upss...Salah G****e!

Aku menelan ludah. Tatapan Inder sangat dingin. Aku menoleh ke belakang. Mendapati Andra yang juga sama dinginnya.

Kenapa selain di kelilingi orang-orang bermulut kasar, aku juga dikelilingi orang-orang berwajah dingin. Apa mereka sebenarnya adalah keluarga monster?

"Pikirkan urusan selingkuhmu nanti saja. Aku masih punya uang untuk menahanmu dalam pernikahan ini." Kata-kata Inder begitu terdengar dingin. Serasi dengan wajahnya.

"Segera ke ruang tamu. Keluargamu sudah datang." Setelah berucap, Inder segera pergi, dengan masih gayanya yang selalu memasukkan tangannya ke kantong celananya.

Haish…aku pikir tadi dia kesini mau menjemputku, menarik tanganku. Tak tahunya malah hanya begitu saja. Yah…begitu saja. Tak ada romantis-romantisnya itu suami.

*****

Saat ini kedua belah pihak keluarga, keluargaku dan keluarga Inder sudah berkumpul di meja makan. Melaksanakan makan siang.

Dari keluargaku hanya tiga orang yang hadir. Emak, Inggit dan terakhir Dirham.

Sedangkan dari pihak Inder, ada Papa Aleks dan istri mudanya, Mama Anggun. Sedangkan mama Yasmin, istri pertama Papa ada di tempat rehabilitas. Itu yang sedikit yang aku tahu. Aku tak begitu dalam mengetahui seluk beluk cerita keluarga suami dadakan.

"Kamu sekarang sedang menyelesaikan S-1 mu, ya, Nak Dinar?" Papa Aleks memecah keheningan yang tercipta selama acara makan berlangsung.

"Iya, Pa." Aku menjawab dengan kepala masih menunduk.

"Ok. Semangat. Suamimu akan setia mendukung cita-citamu," ucap Papa Aleks.

"Terimakasih, Tuan Aleks. Saya sangat bersyukur Dinar bisa mendapati suami seperti Inder." Emak menimpali.

Ah, untung apanya, Mak. Gak tau aja kalau di balik uang yang diberikan Inder ada rasa sakit yang harus ku tahan. Yang hanya dapat aku rasakan sendiri.

"Iya, sama-sama, Bu Rea! Inder juga berun uptung mendapatkan Dinar. Dia punya cita-cita yang tinggi dan pantang menyerah." Mama Anggun menyahuti.

Aku melirik Inder yang sempat kulihat ia menyunggingkan senyum sinis di sela-sela makannya.

Lalu tatapanku beralih ke arah Indra. Yang sedari tadi aku lihat tengah mencuri-curi pandang pada Inggit yang duduk tepat di depannya.

Terakhir aku menatap Andra. Yang sedari tadi hanya diam saja menikmati makanannya. Tanpa sekalipun mengangkat wajahnya.

Ah, berbagai macam ekspresi orang-orang yang ada di meja makan ini.

****

"Sepertinya, jalan Mbak agak sudah lain, ya." Inggit berbisik di telingaku, saat ia hendak masuk kedalam mobil taksi.

"Ih, apaan, sih." Aku mencubit kuat pinggang Inggit. Hingga ia mengasuh sakit.

"Dir, tunggu!" Aku menghentikan langkah Dirham yang hendak masuk ke dalam taksi yang dipesankan oleh Papa Aleks.

"Iya, Mbak. Apa?" Dirham, adik laki-lakiku itu menoleh.

"Simpanlah. Maaf, Mbak gak bisa ngasih banyak." Aku menyelipkan beberapa lembar uang di tangan Dirham.

"Sudah, Mbak. Gak usah." Dirham mengembalikan uang itu.

"Lebih baik Mbak simpan sendiri saja. Kan lagian pas itu Mbak udah kasih. Mbak Inggit juga ngasih aku, Mbak," ucap lagi Dirham.

"Iya itu kan beda, Dir. Udah ambil aja. Mbak disini gak akan kekurangan, kok. Mbak tahu kamu butuh uang sekarang ini." Aku kembali menyelipkan lagi uang yang hanya beberapa lembar tersebut. Kali ini Dirham tak menolaknya.

"Terimakasih, ya, Mbak." Ekspresi wajah Dirham tampak tak enak.

Aku hanya tersenyum. Selanjutnya melangkah ke arah Emak yang berdiri di samping Inggit.

"Peganglah, Mak. Dan pergilah kontrol sama Dirham atau Inggit kalau mereka lagi senggang." Aku memberikan amplop pada Emak.

"Tapi, Din. Kamu dapat dari mana uang ini?" Emak tampak khawatir.

"Tenang saja, Mak. Ini uang Dinar, kok."

"Tapi bukannya kemarin yang yang 100 juta sudah kamu pakai dan sisanya kamu kasih ke Emak juga."

"Iya, Mak. Dan ini masih sisa."

"Serius?"

"Iya, Mak. Aku gak mungkin menggunakan uang Mas Inder untuk ku berikan pada Dirham dan Emak."

"Tapi, Din—"

"Sudah, Mak. Maaf, Dinar hanya bisa ngasih segini."

Emak memasang ekspresi tidak nyaman sebelum akhirnya ia masuk ke mobil. Yang sebelumnya ia berpamitan dulu padaku. Dan berkali-kali bilang makasih.

Aku berdadah pada Emak dan Inggit juga Dirham sebelum taksi itu lenyap dari pandanganku.

"Dinar!"

Aku menoleh saat mendengar suara Papa Aleks.

"Iya, Pa!" Aku menjawab gugup. Takut kalau beliau melihat tadi saat aku memberikan uang pada Emak dan Dirham.

"Bagaimana dengan Inder?"

Ah, aku bernafas lega. Sebab Papa mertua ternyata hanya mau menanyakan tentang Inder.

"Apa dia memperlakukanmu dengan baik?" tanya Papa.

Aku tak segera menjawab. Namun selanjutnya menganggukkan kepala.

" Dia…baik, kok, Pah."

Papa Aleks tersenyum."Terimakasih, sudah menenangkan Papa. Dengan tidak mengatakan yang sebenarnya pada Papa."

Aku hanya tersenyum kaku. Rupanya aku ketahuan berbohong.

"Tapi…percayalah, Din. Aku tak akan membuat Inder menyia-nyiakanmu. Bisa aku pastikan itu. Dan percayalah, Inder orangnya tanggung jawab, kok. Hanya saja ia sedikit tertutup dan cuek. Menuruni sifat ibunya."

Aku hanya menanggapi ucapan Papa Aleks dengan senyuman.

****

"Jadi…berapa biaya tiap semestermu?"

Aku yang duduk santai di atas ranjang dengan berselonjor kaki mainan Hp segera menoleh ke arah Inder yang baru saja masuk ke dalam kamar.

"Taka mahal pastinya kalau menurutmu." Aku menarik kakiku, jadi duduk bersimpuh saat Inder duduk di ujung tepi ranjang.

"Berapa?" Dia menatapku tanpa ekspresi.

"15juta." Aku menatapnya, menunggu reaksinya.

"Kenapa? Mahal?" Aku menyunggingkan senyum di kalimat terakhirku.

"Menurut kamu?"

"Untuk ukuran wanita sepertiku yang tak punya penghasilan jelas mahal. Tapi untuk kamu yang jelas di kelilingi uang jelas tidak, kan? Oleh karena itu, aku mau menjadi istrimu. Tapi kamu jangan khawatir, toh, sebentar lagi kuliahku kelar. Hanya tinggal beberapa bulan saja. Tapi aku punya hutang. Pas itu aku gak punya uang untuk bayar."

"Berapa?"

"45 juta!"

"Berapa kali hutang?"

"3 kali!"

"Ke siapa?"

"Ada, deh. Itu bukan urusan kamu. Kamu hanya perlu membayarnya. Itu juga termasuk dalam perjanjian kita. Sebab itu termasuk biaya kuliah ku."

Inder mengalihkan pandangannya dariku. Tak lama dari itu kembali menatapku. Tanpa berkata-kata.

"Kenapa? Kamu keberatan?"

"Gak!"

"Lalu?"

"Aku tidak keberatan, sebab itu memang tugasku, namu kau juga harus sadar dengan tugasmu. Kau harus bersungguh-sungguh melayaniku."

"Melayani apa?" tanyaku ketus. Mendadak pikiranku tak nyaman.

"Apalagi yang diharapkan seorang laki-laki dari seorang wanita. Seperti halnya seorang wanita yang mengharapkan uang dari laki-laki." Inder mengakhiri kalimatnya dengan senyuman sinis.

"Jadi…disini posisiku hanya jadi penghangat ranjangmu saja, begitu?" Aku menaikkan sebelah alis.

"Kau masuk kedalam kehidupanku untuk itu memang, kan?"

"Apa?"

"Seperti aku bersedia memberimu nafkah, jadi kamu juga harus bersedia memberiku nafkah."

Aku menegakkan posisi dudukku. Menatap Inder serius.

"Kenapa harus aku? Bukannya kau ini banyak uang. Jadi mudah saja kan, untukmu mencari wanita yang bisa menghangatkan ranjangmu?"

"Kalau di rumah sudah ada yang bersih, lalu kenapa aku harus mencari di luaran sana. Mengais sampah yang kotor." Setelah berucap, Inder membuang pandangannya, menatap ke jendela.

Namun tak berapa lama, Inder kembali menatapku lagi.

Ia menatapku lekat dan juga aneh. Matanya memindai tubuhku.

"Apa?" sengitku.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Mendadak perasaan tidak nyaman.

"Apalagi. Kalau pria menatap istrinya?"

"Apa?"

"Kenapa harus kaget? Bukankah itu memang tugas kamu?"

"Eh, Mas. Dengar! Sakit yang semalam saja masih terasa. Jangan coba-coba menyakiti dengan cara seperti ini!" ingatku.

Kening Inder mengerut. "Menyakitimu?"

"Iya, bahkan bengkak!" tambahku.

"Serius?"

"Iya lah."

Inder tak membalas. Ia menatapku tanpa ekspresi. Lalu selanjutnya ia mengeluarkan Hp nya dari saku celananya.

Entah apa yang ia lihat di Hp nya. Sampai se khusuk itu.

Tak berapa lama dari itu, ia berdiri dan melangkah keluar kamar.

Aku tak tahu mau apa ia. Sikapnya benar-benar gak bisa ditebak.

Tak berapa lama selang dari itu, Inder kembali dengan tangan membawa baskom berisi air. Dan handuk kecil di tangan satunya.

"Apa itu, Mas?" tanyaku pada Inder yang saat ini tengah berjalan ke arahku.

"Air hangat," jawabnya, singkat.

"Buat apa?" Aku bingung. Ia tiba-tiba bawa baskom berisi air hangat kedalam kamar.

"Tadi aku cari di g****e cara mengobati bengkak yang sedang kau alami saat ini. Caranya dikompres dengan air hangat."

"Hah!" Aku melongo. Jadi tadi dia liat Hp karena cari cara mengobati bengkak yang ada di aku sebab ulahnya itu?

Wah…ini salahku. Karena semalam aku telah memberikan ide untuk ia bertanya apapun. Dan kini ia menerapkannya lagi. Namun benar-benar konyol.

Oh, Tuhan….

"Buka kakimu!"

"Apa!" Aku menatap Inder yang berdiri di depanku.

"Kamu nanya?"

Aku mengedip-ngedipkan mata berkali-kali.

"Atau gak denger?" lanjutnya.

"Mas! Jangan aneh-aneh!" ingatku dengan sengit.

"Aku gak aneh-aneh. Buka kakimu."

"Mas, kamu, ya!" Aku menunjuk wajah Inder. Geram.

"Din. Yang sopan!"

"Mas sendiri gak sopan!"

"Aku kenapa?" Dih, dia bertanya dengan muka polos.

"Apa Mas Inder gak war*s!" Aku mulai kesal.

"Kalau aku gak war*s, tentu aku gak akan seperti ini, Din. Aku gak akan tanggung jawab dengan apa yang telah aku perbuat."

"Aku gak butuh tanggung jawabmu yang ini, Mas." Aku semakin merapatkan posisi dudukku dan melipat lututku.

"Jangan mendebatku, Din. Gak usah manja."

"Apa katamu? Aku manja?"

"Sudah cepat, buka kakimu." Tanpa seizinku. Inder menarik kakiku.

"Mas, nggak!" Refleks kakiku yang di paksa tarik oleh Inder menerjang dan….

"Arghh…Dinar…." Inder mengerang sambil memegang pusakanya.

Upsss…ini salah g****e.

_____________

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Santi Suntia
sukak bangett love thorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status