Share

Wanita Matre

Aku segara menghapus air mata saat melihat Lavender Alaik, atau yang akrab di panggil Inder tersebut membalikkan badan setelah selesai bertelepon.

Inder tampak terkejut saat melihat keberadaanku yang berdiri tak jauh dari balkon kamar.

Melalui pandangan ekor mataku, ia berjalan ke arahku.

"Kamu kenapa?" Inder menatapku dengan mata memicing.

"Gak papa." Aku menjawab ketus.

"Kenapa nangis?" Ia maju satu langkah.

"Dih, ogah, ya!" Aku segera memalingkan wajah. Tak ingin Inder tahu kalau aku baru saja menangisinya. Ih, gengsi dong.

"Itu, kenapa matamu bengkak!" Tangan Inder menunjuk wajahku, selanjutnya ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Salah satu kebiasaan Inder.

"Efek tidur kali." Aku menjawab asal sambil mengusap mata. Takut ada sisa air mata disana.

"Jagan bohong, Dinar!"

"Apa, sih!" Aku melipat tangan di dada.

"Tidurmu saja gak nyenyak tadi. Sebentar pula, tuh. Lalu bagaimana bisa sampai membuat matamu bengkak?"

"Aku gak nyenyak, kan, karena ulah kamu juga." Aku masih berucap dengan ketus.

"Sakit banget, ya?"

Hah! Jadi Inder sudah tahu kalau aku sudah mendengar pembicaraan nya tadi?

"Bagus lah kau sadar. Sebab wanita mana yang—"

"Maaf, mungkin tadi aku terlalu kasar!"

Hah! Jadi dia membahas sakit yang lain? Bukan yang barusan.

"Sakitnya masih bisa dibawa jalan, gak?"

Hatiku yang sakit, Mas. Sakit karena perbuatanmu tadi tak seberapa dibandingkan sakit karena kata-katamu tadi.

Dan aku begitu bodohnya mau mengharapkan hatimu untukku hanya karena kau mau tidur denganku.

"Hei!" Inder menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku.

"Bersiaplah. Nanti keluargaku datang kesini." Inder melangkah melewatiku.

"Ngapain?" tanyaku.

"Sudah tradisi." Ia menjawab dengan terus berjalan ke kamar mandi.

"Apa itu artinya aku harus buat hidangan?"

"Emang bisa masak?" Kali ini Inder menoleh, menatapku.

"Gak!" jawabku tanpa ragu.

Inder hanya tersenyum kecut sambil kembali melanjutkan langkahnya.

"Oh ya, keluargamu juga akan datang pagi nanti." Inder berucap, sebelum ia menutup pintu kamar mandi.

****

"Aku sudah menyiapkam cemilan dan lainnya juga. Kamu hidangkan ke meja, buat keluarga kita nati." Inder berucap dengan ekspresi dingin. Tak ada senyuman di wajahnya. Padahal ia tampan loh.

Setelah berucap, Inder kembali melangkah keluar kamar.

"Mas masak?" tanyaku.

Langkah Inder yang sudah ada di ambang pintu sempat terhenti. "Ya kali kamu yang masak."

Dih, ketus amat. Apa salahnya coba bilang dengan lemah lembut, biar gak rugi punya wajah tampan.

Aku menyudahi aktitasku yang mengeringkan rambut. Segera meraih jilbab dan memakainya.

Setelah tiba di dapur, aku segera menata cemilan di toples dan air nya juga.

"Hai, Kakak Ipar."

Aku menoleh kearah sumber suara. Sudah bisa ku tebak. Ia adala Indra. Adik Mas Inder. Dari hasil pernikahan Papanya dengan istri keduanya.

Aku hanya menanggapi sapaan Indra dengan senyuman sambil tanganku sibuk dengan gelas kecil.

"Mbak cantik sekali pagi ini," puji Indra sambil merapikan rambutnya.

Aku meliriknya sekilas."Kau datang kesini tidak untung merayuku, bukan?"

"Oh, mana berani, Mbak." Indra berucap cepat. "Bisa-bisa aku sama suami Mbak yang bertemperamen tinggi itu bisa dibikin rujak, Mbak," lanjutnya.

Adiknya saja mengakui kalau Inder keras orangnya.

Sebenarnya aku sudah tahu apa yang Indra inginkan dariku.

"Inggit datang, kan, hari ini?"

Nah, itu dia yang Indra inginkan. Ringgit, adikku. Yang mana mereka satu universitas sebelum Inggit lulus terlebih dahulu. Sebab gadis imut itu memang mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Menempuh S1 nya dengan kecepatan.

"Iya, dia datang!"

"Yes!" Indra bersorak girang. Aku tahu dia menyukai Inggit. Oleh karena itu, saat ia mendengar kalau masnya mau menikahiku, ia orang pertama yang setuju.

"Mbak!" Indra membantuku mengelap gelas.

"Apa yang kau inginkan?" Aku yang sudah tahu ada maksud kenapa ia membantuku segera bertanya tanpa segan.

"Bisa minta WA Inggit, gak?"

Aku mengambil gelas yang di pegang Indra."Gak perlu bantuin, sebab Mbak gak akan ngasih WA Inggit ke kamu!"

"Lah, kenapa, Mbak?"

"Karena Inggit sudah punya pacar!"

"Siapa, Mbak?"

"Miller!"

"Pria Malaysia itu?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Dih, masih gantungan aku juga, Mbak!" Miller mencebik.

"Iya, tapi Miller udah punya usaha. Sedangkan kamu hanya pengangguran."

"Iya kan aku masih kuliah, Mbak."

"Tapi Miller mulai berbisnis disaat ia masih kuliah juga." Aku menatap Indra."Jadi jangan jadikan alasan untuk tidak bisa berbisnis."

"Kan aku sudah bilang, kalau mereka itu wanita matre, Dra."

Sontak aku menoleh ke arah Inder yang baru saja mauk ke dapur.

"Maksud Mas Inder apa?" tanya Indra, mewakili pertanyaanku.

"Cari wanita lain. Mereka tak akan mau dengan pria yang tak beruang. Apa kamu masih tak memahami karakter mereka, dari namanya saja sudah berupa uang semua, Dinar, Ringgit. Itu sudah menandakan kalau mereka itu yang di pikirannya adalah uang…uang…dan uang."

Entah kenapa aku jadi panas mendengar kata-kata Inder.

Aku meletakkan gelas yang aku pegang. Mengangkat wajahku agar bisa menatap Inder.

"Iya. Kau benar, Mas. Kami keluarga matre. Di hidup kami hanya ada uang…uang…dan uang…." Emosiku sudah mau meledak-ledak saja.

Inder tersenyum kecut. "Tanpa kau jelaskan pun aku sudah tahu. Kalau kalian penghisap kantong pria.

"Ya, benar. Dan ada yang perlu kau ketahui juga. Kami hanya bisa bersama dengan pria yang banyak uangnya saja. Kalia tanpa uang sudah pasti kami tak bisa bertahan. Uang bagi kami prioritas. Kau paham." Aku menatap Inder dengan mata berkaca-kaca. Entah kenapa begitu sakit aku mendengar ia mengatakan kalau aku dan saudaraku hanya perlu uang. Sekalipun itu benar, apa ia tak bisa sekali menjaga perasaanku.

Inder hanya diam saja. Sedangkan Indra hanya menundukkan kepalanya. Entah kenapa aku tak tahu.

Tanpa berkata-kata, Aku melangkah, keluar dari dapur.

****

"Dibayar berapa kamu sama Inder?"

Aku yang hendak ke kolam renang, ingin menenangkan diri dikejutkan dengan keberadaan Andra. Anak bawaan dari istri kedua papa Inder.

Aku tak pernah bertemu dengan Andra sebelumnya. Namun aku yakin kalau dia adalah Andra. Sebab aku pernah mendengar ciri-cirinya. Kalau pria itu lebih dingin dari Inder. Makanya kalau bicara dengan seseorang jarang mau berhadapan ataupun menatapnya.

Aku tak menjawab. Masih fokus menatapnya dari belakang. Sedangkan ia fokus menatap air kolam renang dengan tangan disilangkan didepan dada.

Sedikit penasaran dengan rupa Andra. Katanya Inggit, pria itu tak kalah gantengnya dengan Inder. Bahkan lebih gagah. Aku perhatiin sih iya. Meski aku menatapnya dari belakang, sudah terlihat badannya kekar dan berotot.

Diluar dugaanku. Saat aku begitu seksama memperhatikannya, tiba-tiba Andra menoleh.

Dan…bukannya aku merasa salting atau segera mengalihkan pandangan sebab ketahuan menelitinya, pandanganku malah tertahan di wajahnya.

Inggit ternyata tak bohong. Saudara tiri Inder ini ternyata ganteng nyaris saingan sama Inder.

Aku kira Inder sudah jadi pria yang paling tampan yang aku temui. Ternyata tidak.

"Dibayar berapa kamu sama Inder. Hingga mau menjadi istri dari pria bertemperamen tinggi sepertinya?"

Andra menatapku. Bukannya menurut kabar yang kudengar, ia tak mau menatap lawan bicaranya, hanya orang-orang tertentu saja?

"Bukannya nyaris tak ada yang mau untuk menjadi istri dari pria tersebut. Selain Cleopatra tentunya." Andra memiliki senyuman sinis, persis Inder.

Menurut yang aku ketahui lewat Inggit, Andra dan Inder musuhan. Dan mereka memperebutkan perusahaan katanya. Entah perusahaan apa dan yang mana. Aku tak tahu dan tak mau tahu itu.

"Kenapa kamu tak menjawab. Dibayar berapa kamu?"

"Apa itu penting untuk Anda?" Kali ini aku menjawab. Bahkan juga membalas tatapannya.

"Hanya ingin tahu saja."

"100 juta!"

Andra tersenyum kecut. "Murahan sekali dirimu." Dia mengejek.

"Padahal kau gadis berjilbab. Tapi bisanya semurahan ini."

Kata-katanya makin lama makin kasar, entah kenapa aku dikelilingi orang-orang berkata kasar. Kenapa semua merendahkanku di sini. Apa karena niat nikahku?

"Gadis berjilbab juga butuh uang kali." Aku membalas.

"Hanya uang 100 juta kau rela menjadi istri moster Inder!" Dia masih tersenyum kecut dan tampak mengejek.

Tak tahan, aku maju satu langkah ke hadapannya.

"Iya, aku murahan sama Inder. Kenapa? Apa anda mau membayarku lebih mahal? Untuk memenuhi syarat dari papa kalian?" Aku membalas tatapan tajam Andra. "Tenang saja, nanti bisa kita bicarakan. Aku bisa jadi selingkuhanmu. Maksudku bisa selingkuh dari Inder."

Aku dapat melihat perubahan raut Andra. Dalam hati aku tersenyum puas. Emang mereka pikir hanya mereka yang dapat berkata kasar. Aku juga.

Sekali lagi aku melemparkan senyuman sinis sebum akhirnya aku membalikkan badan.

Aku terkejut seketika, saat baru saja memutar badan, dan ternyata di belakangku sudah ada Inder. Menatapku tak bersahabat.

Mampus….

Sejak kapan ia ada di sini? Dan apa ia mendengar kata-kataku barusan pada Andra?

_________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status