Share

Kuntilanak Berdaster

Akhirnya, aku tak jadi menyalahkan g****e. Sebab karena g****e, aku malam ini jadi bisa tidur tenang.

Sebab, Inder yang merasakan kesakitan di area sekel*kangannya sebab tak sengaja aku tendang tadi, ia memutuskan untuk langsung tidur.

Ah, akhirnya…makasih Mbah G****e…tonight i can sleep well.

Baru saja aku ingin memejamkan mata, hendak menyelam ke alam mimpi, tapi tiba-tiba saja aku mendengar kebisingan sebab notif pesan yang berasal dari ponsel.

Itu bukan ponselku. Sebab notif pesan ponselku kalau malam aku bikin senyap. Lalu siapa?

Siapa yang jam segini masih chatingan? Apa Inder? 

Iya, siapa lagi yang ada di rumah ini kalau bukan Inder? Sebab  rumah ini hanya aku dan Inder saja. Tapi bukankah tadi aku lihat Inder langsung tidur. Setelah tragedi penerjanganku di tubuh pusatnya?

Semakin lama, notif pesan tersebut semakin padat kudengar.

Karena penasaran, aku membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku dan menoleh ke samping tempat dimana Inder tidur. Dan….

Ternyata Inder belum tidur. Ia memainkan ponselnya tampak sedang chatingan. 

Aku dapat melihatnya, sebab posisi Inder saat ini sedang membelakangiku dengan tidur menyamping.

Entah kenapa jiwa kepoku meronta-ronta ingin tahu dengan siapa Inder chatingan, yang tampaknya sangat seru, terlihat dari Inder yang sesekali tersenyum saat membacanya.

Aku semakin menajamkan penglihatan bahkan tubuhku sedikit terangkat hingga bisa dengan jelas melihat profil WA lawan chatting Inder.

Ternyata dia lagi chatingan dengan mantan terindahnya. Cleo.

Meskipun disana kontaknya tak tertulis Cleo, melainkan hanya emot love. Tapi melalui profil Wa nya yang memakai foto Inder, sudah dapat kupastikan kalau itu adalah Cleopatra.

Aku tidak tahu, apa alasan Inder putus dengan pacarnya, sedangkan aku masih bisa melihat cinta Dimata Inder untuknya, begitupun juga yang kulihat pada wanita itu, saat ia hadir di pernikahan kami.

Ah, aku sempat heran sendiri. Kenapa dengan tegarnya saat itu, Cleo mantan Inder datang ke pernikahan kami. Secara kan, masa iya baik-baik saja begitu pergi ke pernikahan mantan.

Aku terkesiap saat tiba-tiba saja mendengar suara kamera beserta flashnya. Ternyata Inder memotretku yang tengah mengintipnya dengan kamera Wa nya.

Segera ku memundurkan tubuh saat Inder menoleh ke belakang.

"Apa yang kau intip?" tanyanya dengan posisi masih menyamping. Hanya kepalanya saja yang setengah menoleh.

"Aku tidak mengintip." Setelah berucap, aku segera kembali ke posisi awal dan membenamkan diri dalam selimut.

"Oh, iya, tolong hapus fotoku di ponselmu." Kepalaku sedikit menyundul Dari balik selimut sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam.

*****

"Din, kau bisa masak apa aja?" 

Aku tersentak dengan kehadiran Inder yang tiba-tiba saja.

"Bukannya tadi kamu sudah berangkat ke kantor, Mas?" tanyaku, heran.

"Iya, tapi tak jadi."

"Kenapa?"

"Teman-temanku mau datang kesini."

"Jadi?"

"Kamu masakan untuk mereka."

"Aku kan gak tahu masak."

"Kamu bisanya apa?"

"Masak Indomie!" jawabku tanpa ragu.

Inder mengusap wajahnya kasar.

"Selain itu?"

"Telor ceplok."

"Yaudah, sebisanya kamu aja, deh." Inder tampak ingin melangkah.

"Kenapa kau tak masak sendiri saja seperti kemarin?" Aku menghentikan langkah Inder.

"Ini teman-temanku yang mau datang, Din. Bukan sembarang orang."

"Ya terus. Gak bisa makan masakan kamu, gitu?" 

Inder memutar tubuhnya, menghadapku. "Nanti akan ada Cleo juga. Dia pasti tau kalau itu masakanku. Jadi kamulah yang masak untuk mereka." 

Oh…ternyata mantan, toh. Yang mau datang. Pantas sibuk bahkan sampai gak jadi ke kantor.

"Lalu kenapa gak beli saja atau gojek?" usulku.

Inder tak bereaksi apa-apa. Malah ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar.

"Masak apapun yang kau bisa." Ia menyempatkan diri menoleh sebentar padaku.

*****

Dari dapur, aku bisa melihat tamu Inder yang saat ini sedang bercengkrama di sofa ruang tamu.

Semua pria, hanya ada satu wanita, yaitu Cleo. Mantan terindah Inder.

Dia benar-benar cantik. Aku dengar dia keturunan Mesir. Rambutnya yang panjang sepinggang dan lurus agak kecoklatan tersebut dibiarkannya di gerai.

Meskipun ia tak berjilbab, tapi pakaiannya sopan, tak terbuka seperti wanita pada biasanya.

Ah, pantas saja kalau Inder susah move on. Bahkan bukan susah lagi, namun nyatanya ia belum move on. Sebab, mantannya saja bodinya bak gitar spanyol dan rupa wajahnya  sudah seperti bidadari. Aku kalah banyak. Dan…gak berharap banyak juga sama Inder. Tapi…aku mencintainya.

Aku menatap Inder yang tampak sesekali mencuri pandang pada Cleo. Yang Cleo nya juga sama. Dan aku disini…hanya bisa melihat suamiku yang sedang saling berpandangan dengan Cleo.

Ah…miris sekali nasib percintaanmu, Din. Hu hu hu…aku cemburu.

****

"Din, sudah masak?" 

Aku yang sedang membereskan pecahan beling dari gelas yang aku tak sengaja pecahkan tadi, menoleh ke arah Inder.

"Belum." Aku berdiri dan membuang pecahan gelas ke sampah.

"Terus, dari tadi ngapain aja?" Raut Inder mulai berubah.

"Bengong aja."

"Dih. Kamu—"

"Bisa aku membantu istrimu masak?" 

Sontak aku menoleh ke arah sumber suara yang begitu lembut aku dengar. Pemiliknya siapa lagi, kalau bukan Cleo.

"Emang kamu bisa masak?" Dih, tanpa aku sengaja, nada pertanyaanku terdengar sirik dan ketus aja.

"Bisa, Mbak." Dia tersenyum. Menampakkan kedua lesung pipinya yang seakan-akan mengejekku yang jauh dari kata cantik ini.

Ah, entahlah. Kenapa aku bisa tak cantik. Padahal Emakku cantik, Inggit apalagi. Dirham ganteng. Lalu aku ini nurun siapa coba. Hidungku yang pesek ini juga nurun siapa coba? Punya Inggit dan Dirham aja mancung.

Ah, benar-benar ditirikan.

"Kamu beneran mau masak, Cle?" tanya Inder. Lembut banget kalau sama Cleo. Coba sama aku? Ah, entahlah. Suka-suka Inder aja.

"Beneran, Inder. Bukannya kamu tahu sendiri kalau aku ini suka masak."

Wah…ini namanya sindiran nyerempet. 

"Kalau kamu mau request makanan kesukaan kamu, bisa juga, kok." Cleo menatap intens pada Inder.

 Dih, tebar-tebar pesona.

"Ya sudah, kalian silahkan masak. Aku ke kamar dulu." Aku melangkah hendak pergi.

"Eh, Din. Temenin Cleo." Inder menahan lenganku saat aku melintas di depannya.

"Kan udah ada kamu."

"Kamu mau kemana?"

"Oh, aku punya urusan penting. Aku mau mencoba pengobatan tradisional yang kamu peroleh dari g****e itu." Aku melemparkan senyuman sebelum meninggalkan Inder dengan mantannya.

Padahal aku pergi ke kamar hanya ingin menyembunyikan raut melasku dari Inder.

Hi hu hu….

Ternyata begini rasanya mencintai tapi tak dicinta.

*****

Setelah selesai sholat isya', dan hendak membaringkan diri di ranjang, aku tak sengaja melihat sebuah album di balik bantal Inder.

Iseng aku buka, dan isinya benar-benar mengandung bawang. Bikin hatiku perih melihatnya.

Di album itu semua foto-foto Cleo dan Inder.

Ternyata benar, Inder masih menyukai mantannya tersebut yang begitu indah rupanya.

Ingin marah seperti para istri yang ketahuan suaminya masih menyimpan kenangan dengan mantannya. Tapi aku sadar, aku siapa disini? Aku hanya menikah karena uang, dan Inder pun juga karena uang.

Jadi…aku hanya bisa menahan gejolak hati ini. Yang ingin emosi. Tapi sadar dengan keadaan yang memang  pernikahan kami tak seperti pernikahan pada umumnya.

Aku segera meletakkan album itu kembali  ke tempatnya saat mendengar suara pintu dibuka.

"Kenapa kamu?" tanya Inder, yang mungkin melihat ekspresi tegang dariku. Tadi belum sempat lari ke ranjang, Inder keduluan masuk.

"Gak papa," jawabku, bertolak belakang dengan apa yang ada di hati. Dalam hati penasaran dan ingin bertanya, apa dan bagaimana perasaan Inder sebenarnya pada Cleo. 

Kenapa saat itu ia tak menikah dengan Cleo saja. Kenapa malah menerimaku dan ia membalas status F******k ku melalui inbox. Kenapa kalau ia punya Cleo masih bekerja sama denganku.

Kaau begini…aku kan sekarang yang menderita. Sebab…aku mencintainya.

"Yakin?" tanya Inder.

"Sebenarnya aku mau nanya sesuatu," akuku akhirnya.

"Iya, apa?"

Duh, mendadak aku ragu, kesannya terlalu kepo untuk ukuran istri yang hanya berstatus penghangat ranjangnya saja.

"Gak jadi." Aku segera melangkah ke ranjang, dan menarik selimut.

"Harus jadi, aku penasaran!" Inder menyusulku, ikut naik ke ranjang.

Maksa banget nih orang, aku mengubah posisi miringku menjadi terlentang menatap Inder.

"Katakan, apa pertanyaanmu!"

Aku masih berpikir, apa iya harus ditanyakan. Penting gak, ya?

"Dinar…!"

" Duh iya, maksa banget," sungutku.

"Cepat katakan! Aku orangnya penasaran tinggi."

"Iya."

"Iya apa?"

"Manusia mati hanya pakai kain kafan, lantas dari mana kuntilanak dapat daster?" Entah kenapa aku tiba-tiba menanyakan hal konyol itu demi menghindari pertanyaan yang sebenarnya.

Inder bergeming sambil menatapku.

"Gak bisa jawabkan? Ya sudah!" Aku kembali memiringkan badanku membelakanginya.

Tak ada respon dari Inder. Ia juga tidak mengganggu tidurku seperti malam-malam sebelumnya setelah menikah. Baguslah, malam ini aku bisa tidur nyenyak.

Tapi kok aku penasaran, apa yang tengah dilakukan Inder. Lantas aku mengubah posisiku lagi menghadap Inder. Ternyata ia termenung dengan posisi bersandar ke sandaran ranjang.

Di saat yang sama, Inder juga menatapku, aku mengedipkan mata berkali-kali, mendadak  salting, ketahuan mengeceknya.

" Kenapa? Ngarep di apa-apain, ya!"

Idih….

Aku segera membalikkan badan, kembali membelakanginya. Namun tak lama dari itu, aku merasakan tangan kekar Inder melingkar di perutku, dalam satu tarikan tangannya berhasil membuatku menghadapnya.

Fix, tidurku gak bakalan nyenyak lagi.

__________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status