Share

MULAI

ADNAN

Segala hasrat telah kutuntaskan bersama Ela. Wanita itu begitu sempurna memberi pelayanan biologis suaminya. Aku terkapar, menggelapar tanpa daya. Puas, puas sudah jiwa raga.

Malam ini aku merasa menjadi lelaki paling beruntung di jagat raya. Ela benar-benar memberikan surga dunia yang tak terlukis kenikmatannya.

“Terima kasih, Sayang,” bisikku mesra.

Hanya itu kalimat yang mampu kuucapkan. Sebab setelahnya raga berada dalam puncak kelelahan. Tenagaku terkuras setelah menjalankan permainan panas berkali-kali.

*

Hari-hariku penuh warna bersama Ela. Hidup serasa makin seru dan menggebu-gebukan rindu selalu. Rasanya bulan madu seminggu terlalu singkat untuk menikmati madu pengantin baru.

Kini, kami harus menjalani rutinitas seperti biasa. Aku bekerja, sementara Ela di rumah. Ia menuruti perintahku untuk tak bekerja lagi. Cukup jadi nyonya Adnan Saputra saja. Apapun yang diinginkan akan kupenuhi.

Lagipula aku ingin menjauhkan Ela dari beberapa teman kantor yang mengincarnya. Bahaya kalau mereka masih sering ada di tempat yang sama. Tak mungkin juga ‘kan memantau tiap waktu. Lebih baik ambil jalan ekstrim,, yaitu Ela berhenti kerja.

Sungguh, cintaku pada Ela berkalilipat dari perasaanku pada Rida dulu. Kali ini, bahkan aku akan berjuang mati-matian untuk dapat memenuhi segala inginnya

Aku takkan membiarkan Ela sedih sebab kemauannya tak terwujud. Maka, segala daya upaya akan kutempuh demi membahagiakannya.

“Mas, boleh gak aku pakai uang ini untuk shoping, salon, jalan-jalan bareng teman?” tanya Ela saat kusodorkan ATM Gold ke tangannya.

Polos sekali wanitaku ini. Masa harus bertanya soal penggunaan uang itu. Ah, ternyata aku tak salah memilih pendamping hidup. Ia tidak matre seperti yang pernah digunjingkan beberapa staf perusahaan. Mereka mungkin hanya iri sebab kedekatanku dan Ela.

“Jelas boleh, dong, Sayang. Kalau habis aku pasti isi kembali,” jawabku lembut. Setelah berkata begitu satu kecupan mendarat di pipi glowingnya.

“Maaf kalau aku cerewet. Kan katanya istri itu harus izin suami untuk menggunakan hartanya. Aku takut Mas marah kalau misal dikeluarkan banyak,” terang Ela dengan gaya manjanya.

Kata-kata itu sangat indah di telinga. Betapa menenangkan hati dan membuatku makin bahagia. Ela memang istri sholihah. Selalu khawatir suaminya tak suka. Ah, beruntung sekali diriku ini.

*

“Nyonya mana, Bi?” tanyaku pada bi Minah malam ini.

Pekerjaan kantor yang menumpuk membuatku terpaksa pulang agak terlambat. Pukul tujuh baru selesai, dan jam delapan sampai rumah.

“Ehmm, anu, anu. Nyonya-!”

“Nyonya kenapa? Sakit, atau kenapa?” potongku cepat. Tiba-tiba kekhawatiran datang. Apalagi suara bi Minah seperti ketakutan.

“Nyonya belum pulang, Tuan,” jawab bi Minah.

Jawaban itu seperti sesuatu yang menepuk dada ini. Jelas kaget dan tak suka tentu. Sepanjang pernikahan dengan Rida, dia tak pernah pulang melampaui kedatanganku. Suami datang pasti sudah siap menyambut..

Aku sampai memandang bi Minah lekat demi memastikan kebenaran jawabannya. Wanita itu sadar bahwa aku meminta kepastian, maka ia berkata lagi.

“Saya tak tahu Nyonya ke mana, Tuan. Saya juga takut kalau harus bertanya. Maaf, Tuan.”

Setelah mendapat jawaban kedua, aku meninggalkannya. Mungkin karena lelah juga, emosiku jadi naik mendapati Ela tak menyambut malam ini.

Setelah menyimpan tas kerja, aku mengambil ponsel dari saku jas. Kutelpon kontak Ela berulang-ulang tetap tak ada jawaban.

Karena usaha menghubunginya tak berhasil, aku melemparkan ponsel ke atas ranjang. Lepas itu bergegas ke toilet.

Sepertinya kepala ini butuh guyuran air agar tak makin panas. Sudahlah mumet dengan tumpukan pekerjaan, belum pulangnya Ela menambah ruwetnya pikiran.

Tanpa membuka baju kerja, aku menyalakan shower. Dinginnya air yang keluar dari alat ini perlahan-lahan mengurangi hawa panas yang meliputi kepala. Dada pun ikut tenang sebab kini seluruh tubuh sudah teraliri air.

Selepas mandi, kepenatan langsung hilang. Badanku fresh meski pikiran belum cerah seutuhnya. Belum pulangnya Ela jelas membuatku tak tenang sebab khawatir terjadi hal buruk padanya.

Aku kembali coba menghubungi Ela. Hasilnya tetap sama, tak dijawab. Malah, sekarang nomornya tak aktif. Di luar jangkauan katanya.

Karena perut sudah meronta-ronta minta diisi, aku putuskan makan sendiri saja. Lagipula tak jelas kapan dia akan pulang.

Bi Minah dengan sigap melayaniku di meja makan. Ia menyajikan makan malam yang kelihatannya baru dihangatkan. Mungkin dibuat sudah agak lama, jadinya dingin ditunda sampai jam segini.

“Apa Nyonya setiap hari pergi?” tanyaku pada asisten rumah tangga, sekaligus istri pelayan lelaki di rumah ini.

Wanita itu tampak ragu bicara. Itu terlihat dari gerakan bibirnya yang dibuka, lantas ditutup lagi. Aku sengaja mengarahkan mata pada wajahnya agar ia menjawab.

“I, iya, Tuan!”

Aku menghela napas panjang untuk menahan sesuatu yang mulai meletup di rongga dada. Aku bukan tipe pria pengekang wanita, tapi tak rela juga kalau seorang istri terlalu liar di luar sana

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Begitulah kalau menikahi pelakor Adnan
goodnovel comment avatar
vicky da silva
karma harus kau pikul
goodnovel comment avatar
Lucky Dorkas
sukur istri setia dibuang akhirnya dpt pelacur murahan sukurin laki² penuh nafsu dan dosa sama anak² nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status