ELA
Gawat, mas Adnan menelpon terus. Ia pasti sudah ada di rumah. Aku sengaja tidak mengangkat panggilan sebab belum punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang akan dilemparkan. Lebih baik disenyapkan saja agar tak terdengar. Anggap tidak pernah berdering.
Reputasiku bakal hancur kalau pulang terlambat. Bisa bisa citraku yang telah baik di matanya berubah menjadi buruk. Efeknya tingkat kepercayaan Mas Adnan akan turun drastis.
Kupikir dia akan pulang jam sepuluh atau sebelas malam. ‘Kan katanya banyak kerjaan yang belum diselesaikan. Kenapa juga sudah pulang sekarang. Dasar plin plan!
“Macet sialan! Bangsat, gue buru-buru, Woy!”
Kupencet klakson hingga suaranya membahana. Persetan dengan kekesalan orang-orang sebab telinganya pekak. Salah sendiri menghalangi jalanku.
Dan, untuk beberapa menit terjadilah persaingan klakson dari pengemudi bar-bar. Sumpah, rasanya ingin keluar dan meluapkan emosi dengan memarahi orang-orang
ADNANAku merasa bersalah pada Ela sebab telah membuatnya tertekan. Untung saja kecelakaan itu tak merenggut nyawanya. Kalau sampai Ela terluka parah atau meninggal, aku pasti takkan bisa memaafkan diri sendiriKenapa juga aku mengedepankan prasangka buruk saat Ela belum pulang. Bisa jadi ia terjebak kemacetan atau memang masih ada keperluan.Tentang seringnya ia pergi keluar mungkin saja karena kesepian. Bisa jadi itu untuk melepas kebosanan akibat rehat bekerja. Selepas bulan madu aku jarang punya waktu untuknya.Harusnya aku memahami hal tersebut, bukan malah menuduhnya yang bukan-bukan. Apalagi sampai membandingkan Ela dan Rida. Jelaslah takkan sama. Rida itu wanita kuno, kalau Ela ‘kan modern. Ia tak mungkin betah di rumah sebab butuh aktualisasi diri.Untuk menebus kesalahan, aku bersikap jauh lebih baik padanya. Kumanjakan ia selama masa perawatan. Istriku ini tak boleh sakit lama-lama sebab itu sama saja menyakiti diri sendiri.
ADNANAku menghentikan langkah saat mendengar ucapan bi Enah. Selanjutnya kubalikkan badan hingga menghadap ke arah wanita paruh baya ini.Jelas aku kaget dengan ucapan tak disangka itu. Apalagi katanya mereka pergi tiga minggu lalu. “Tidak ada bagaimana, Bi? Jalan-jalan, ke rumah mama atau bagaimana?” cecarku.Yang ditanya menatapku lekat. Ia seolah ingin mengulitiku selapis demi selapis. Baru kali ini bi Enah bersikap demikian. Biasanya bi Enah hanya sekilas menatapku. Ia pun takkan berdiri lama-lama di hadapan majikannya. Perempuan itu sama seperti Rida, tak banyak bicara.“Ibu bilang tak sanggup berada di rumah ini lagi. Beliau tak bisa hidup dalam angan masa lalu. Ibu juga tak kuat melihat Kak Azka dan Dik Azkia sedih menanti kehadiran papa yang tak kunjung datang. Jadi ibu memutuskan pergi jauh dan saya pun tidak diberi tahu ke mana perginya.”Kejelasan keterangan yang diberikan bi Enah membuat dada
Gawat, Rida adalah menantu kesayangan Mama. Bisa-bisa beliau murka kalau mengetahui fakta sebenarnya! Pikiranku yang kacau makin kacau melihat kedatangan Mama. Wanita yang wajahnya lebih muda dari usianya pastilah akan mencecarku habis-habisan jika tahu realita rumah tanggaku yang telah kandas. .Mama sangat menyayangi Rida dan anak-anak. Bahkan, mantan istriku itu sudah seperti anaknya sendiri. Jika aku terlihat kurang perhatian, ia akan ngomel tanpa titik koma.Rida memang telah membeli hati mama dengan kebaikannya. Mereka tergolong mertua dan menantu akur. Hampir tak pernah ada percekcokan di antara keduanya. Yang ada malah saling memuji dan menyayangi.Sesungguhnya memang tak ada satu cela pun pada diri Rida. Dia benar-benar baik. Dan, kadang aku pun berpikir mengapa bisa setega itu menancapkan belati kepedihan pada inti hatinya.Pelayanan dan ketaatannya sempurna. Secara fisik pun tak buruk rupa. Ia pandai merawat wajah ju
Selepas berganti pakaian, aku segera mengambil ponsel kembali. Sekarang harus mengamankan posisi Ela dengan memberitahu keadaan sebenarnya. Sekaligus kukatakan bahwa akan menginap di sini agar tak dicurigai.Satu hal yang paling penting dia tak boleh menghubungi. Khawatir saat menerima telpon, mama mendengar. Bisa-bisa itu jadi petaka tak terelakkan.Untunglah wanitaku itu pengertian. Ia mengatakan memang harus menginap demi menghilangkan kecurigaan.“Maaf, ya, Sayang, aku gak bisa peluk kamu malam ini.”“Iya, Sayang tak apa. Aku ngerti banget situasi kamu. Lagipula berbakti pada mama itu ‘kan lebih utama,” sahut Ela. Ucapannya ini membuatku begitu tenang. Ia juga tak kalah baik pada mertua dari Rida. Andai mama mau membuka hati pastilah hubungan mereka akan harmonis.Kurasa tak semudah itu mama akan menerima Ela. Ia amat sangat menyayangi Rida, bahkan kadang perhatiannya pada mantan istriku itu lebih dari pada anaknya sendiri.
ADNANAku menyerah. Sepertinya memang tak ada lagi cara untuk menutupi masalah ini.. Aku harus menceritakan semua apapun resikonya.“Ini pasti juga berkaitan dengan kepergian bi Enah dan suaminya. Mereka pasti bukan pulang kampung sementara, iya’kan? Jawab Adnan!” paksa mama dengan suara yang telah lebih meninggi dari sebelumnya. Sorot matanya pun makin menakutkan, persis seperti dulu saat aku memukul teman sekolah hingga masuk rumah sakit. “Aku harus pergi kerja, Mah. Sore aku akan ceritakan semua, janji! Sekarang aku mau ganti baju, Mah, maaf!”Mama mendengkus kasar, tapi ia tidak bisa mencegah anaknya ini untuk kerja. Akhirnya mama mengalah, ia pun melangkah menuju pintu.“Mama tidak akan pulang sebelum kamu menceritakan apa yang terjadi!”Selepas berkata begitu mama keluar kamar. Dari cara berjalannya yang menghentak, aku tahu wanita itu sangat emosi.Aku duduk di tepi ranjang untuk meredakan sedikit ket
ADNANDi jam istirahat, sengaja aku mengajak Ela makan bersama di restoran yang dekat dengan kantor. Di sana kuutarakan semua hal yang terjadi.Tempatnya tak terlalu ramai pengunjung hingga lebih leluasa bicara hal pribadi. Jarak antaa satu meja dengan meja lain pun cukup aman dari adanya aktivitas menguping pembicaraan. Apalagi kami mengambil duduk paling pojok. “Mba Rida pergi ke mana, Mas? Bagaimana keadaan mereka sekarang? Aku khawatir banget loh ada apa-apa sama mereka!” ucap Ela dengan raut dipenuhi kecemasan. Wajah yang tadi ceria saat pertama melihatku, berubah suram. Ela tampak tulus mencemaskan keadaan Rida dan anak-anak. Sungguh, wanita luar biasa. Betapa besar jiwanya. Aku makin mengagumi sosok tulus di depan mata.“Aku juga tak tahu, kata bi Enah dia tak menceritakan ke mana akan pergi.”Ela menghela napas berat. Wajahnya terlihat makin diliputi kecemasan. Hal tersebut pastilah bukan rekayasa, tapi tulus
Mama terlalu mencintai Rida hingga ia amat terluka. Seakan keburukanku kepada Rida adalah keburukan pada dirinya.Lihatlah Adnan! Keputusanmu melepas Rida telah menyakiti banyak orang. Bahkan ibumu sendiri sangat terpukul, bagaimana dengan Rida sendiri, bisa jadi lebih dari ini.Mama masih menangis hingga bermenit-menit. Sementara aku hanya mampu mendengarkan tangisan tanpa punya nyali menyentuh untuk menenangkan.Itu adalah air mata kekecewaan yang teramat dalam. Mama bukan tipe wanita cengeng atau melankolis. Dia adalah perempuan tangguh yang sangat jarang menangis. Namun, kali ini hatinya terlalu dalam merasakan kesakitan.Entah setelah berapa menit, tangis mama akhirnya berhenti. Kemudian ia membisu. Hanya helaan berat dan sisa-sisa isakan yang terdengar.“Begitulah kalau kita tak bisa mengendalikan hawa napsu. Sebaik apapun istri di rumah, mata tetap akan tertuju pada wanita penggoda. Wanita yang bahkan tak pernah menyiapka
ELA“Wanita baik-baik tidak akan merebut suami orang. Apalagi sampai menghancurkan sebuah rumah tangga! Sesuatu yang kau dapat dengan cara curang takkan berkah!” serang wanita yang mengaku sebagai mama mas Adnan setelah membentak suamiku. Wajahnya memiliki kemiripan dengan mas Adnan pada area mata dan hidung. Dia mendekatiku dengan gaya tangan disedekapkan di dada. Nyata sekali kebencian di dirinya pada istri anaknya ini. Mendengar cercaan itu, emosiku naik. Rasanya ingin menjambak dan menamparnya berkali-kali. Namun, aku harus bisa mengendalikan diri saat ini. Di hadapan mereka wajib jadi pemeran tokoh teraniaya. Kalau perlu meratap dam mengiba. Mas Adnan juga kulihat sangat emosi. Pegangan tangannya menguat di jari ini. Pastilah, bagaimanapun juga aku adalah istri tercintanya. Menghinaku sama dengan menghinanya. Dan juga sepertinya sedih sebab pilihannya tak didukung.“Mah, kumohon jangan bicara begitu. Bagaimanapun Ela sek