ELA
Aku harus tampil sempurna di malam pertama kami. Seluruh make up wajib dipakai untuk mengangkat kecantikan wajah ini. Bukan karena paras yang jelek, tidak sama sekali, tapi ingin lebih cetar saja.
Kecantikan yang kumiliki sejak lahir ini adalah senjata ampuh untuk menaklukan laki-laki. Tanpa make up pun pasti mereka terpesona, hanya saja akan lebih terjerat jika dipulas dengan paduan warna eksotis.
Sudah banyak lelaki kaya yang terjerat oleh pesonaku. Mereka bahkan rela meninggalkan istri, tunangan atau pacar demi bersamaku. Sepertinya aku wajib diberi gelar sang penakluk pria.
Ada kebanggaan tersendiri jika sudah bisa menaklukan seorang pria. Apalagi jika korbanku itu kaya dan beristri. Kepuasan memenangkan pertarungan dengan istri sah itu benar-benar menjadi candu dalam hidup ini.
Mas Adnan bukan korban pertamaku, tapi yang paling sulit ditaklukan.. Tarik ulur perceraiannya saja berlangsung satu tahun. Namun, kepuasannya juga sebanding. Tanpa perlu bersitegang dengan istri sahnya, aku telah menang.
Aku telah selesai memulas wajah. Tampilannya kini makin glowing dan memesona pasti. Saatnya memakai lingerie yang modelnya paling erotis. Pastilah matamas Adnan akan melotot sempurna melihatnya.
Kini, takkan ada wanita yang dapat menyaingi Ela Raharjo. Akulah ratu sejagat malam ini. Akan kubuat mas Adnan terkapar, menggelepar.
Saat keluar kamar, aku melapisi lingerie dengan piyama tidur. Tak mungkin’kan berpenampilan seksi di luar kamar. Bagaimana kalau kepergok orang tua, malulsh pasti.
“Mas,” bisikku pada lelaki yang tengah tertidur di sofa. Saking lama menunggu, suamiku jadi pergi ke alam mimpi. Dipandang dari atas, ia seperti domba yang siap dimangsa serigala.
Kuelus wajahnya dari mulai pipi, lalu merayap ke hidung, mata, naik ke kening. Setelah itu turun kembali ke pipi sebelahnya hingga dagu
Karena sentuhannya berulang, mas Adnan terbangun juga. Kelopak matanya perlahan terbuka. Lalu, tangannya cepat menangkap jari ini. Dengan sigap ditarik tubuhku hingga wajah kami bertemu.
“Ini di ruang depan,” bisikku. Refleks lelaki itu bangun hingga aku pun terangkat. Ia mengedarkan pandangan sebentar untuk memastikan ucapanku benar.
Setelah sadar, langsung saja lelaki itu menuntunku menuju kamar. Selanjutnya kami pun melaksanakan adegan panas malam pertama dambaan pengantin baru.
*
Mas Adnan memboyongku ke rumah kedua miliknya. Sebenarnya aku dongkol sebab Ini bukan tempat tinggal utama.
Memang, sih, rumah ini tak kecil. Untuk ditempati kami berdua terlalu besar malah. Bangunan dua lantai ini pun berdesign mewah. Dindingnya didominasi kaca seperti rumah modern pada umumnya.
Hanya saja tetap bukan yang utama. Tetap saja tak sempurna. Bedalah dengan yang ditempati Rida. Aku pernah melihatnya dari kejauhan. Dan itu mewah sekali.
Huh, kenapa juga wanita pecundang itu tetap ada di sana bersama anak-anak bodohnya. Harusnya dia sadar diri kalau nyonya Adnan Saputra sudah diganti oleh Ela Raharjo.
Sejujurnya aku tak sabar ingin mengusir wanita dan anak-anak sialan itu. Aku tentu harus menguasai seluruh kekayaan mas Adnan, tanpa diganggu siapapun.
Tentang anak-anaknya, aku tak peduli.. Mereka bagiku tak lebih dari mahluk menyebalkan yang tak harus ada di muka bumi.
But, saat ini aku tak boleh memperlihatkan keinginan itu. Tahan dulu sampai mas Adnan benar-benar terikat padaku. Jadilah ibu peri baik hati untuk sementara waktu. Jangan menampakkan wajah asli
“Makasih, ya, Mas. Rumahnya indah banget. Aku terharu!”
Kupeluk lelaki yang membawaku masuk ke dalam ruangan. Aku sengaja mencolok mata agar bisa keluar air dari dalamnya. Jelas, dong, harus terlihat sangat terharunya.
“Aku beruntung banget punya suami sebaik Mas Adnan. Aku benar-benar bahagia!”
Mas Adnan mengeratkan pelukan. Ia mengelus rambut dan punggungku lembut. Aku yakin hati pria ini sedang berbunga-bunga mendapat pujian istrinya.
“Kita lihat ruangan lain, yuk!” ajak mas Adnan sambil menggandeng tanganku.
Dengan menempelkan kepala di lengannya, aku mengikuti langkah pria ini. Hmm, barang-barang di rumah ini lux semua. Tataan ruang juga peletakan furniturnya elegan.
Meski jabatan mas Adnan hanya manajer, ia punya warisan ayahnya yang meninggal satu tahun lalu. Jadilah kekayaan yang dimiliki lebih dari gaji manajer.
Mas Adnan bilang sudah lama ingin berhenti jadi manajer sebab akan membuka usaha sendiri. Namun, selalu ditahan oleh bosnya karena dia salah satu pegawai handal. Makanya terus-terusan diberi kenaikan gaji dan tunjangan.
Aku, sih, tak peduli yang penting uang mengalir ke rekening. Mau dapat darimana tak jadi bahan pikiran. Aku hanya fokus bagaimana bisa menghamburkan uang dan bersenang-senang.
*
Sepulang bulan madu, mas Adnan kembali masuk kerja. Sementara aku tidak lagi bekerja sebab diminta olehnya berhenti. Aku menuruti itu sebab memang keinginanku juga sama hanya ingin jadi nyonya. Uang ngalir tanpa perlu banting tulang dan peras otak.
Dalam mengisi hari-hari aku menghabiskan waktu shoping, ke salon, kumpul bareng teman-teman, jalan-jalan, dong, pastinya. Apalagi coba selain memanfaatkan kekayaan suami.
Selain itu aku juga harus eksis di I*, F* dan semua kanal medsos. Tujuannya pamerlah biar kejang-kejang semua mantan-mantanku. Tentu saja netijen-netijen julid itu akan makin dengki. Rasanya puas banget
Pekerjaan rumah? Enggak banget! Biar semua ART yang kerjakan. Aku tak sudi sedikitpun menyentuhnya meski hanya membuatkan kopi untuk mas Adnan.
Ah, Rida, Rida enak bener, ya, jadi ratu pengganti kamu.
Jangan salahkan aku yang telah mengambil suamimu. Berkacalah pada diri sendiri kenapa Adnan sampai menceraikanmu
Rida, kamu itu terlalu tolol jadi perempuan!
ADNANSegala hasrat telah kutuntaskan bersama Ela. Wanita itu begitu sempurna memberi pelayanan biologis suaminya. Aku terkapar, menggelapar tanpa daya. Puas, puas sudah jiwa raga.Malam ini aku merasa menjadi lelaki paling beruntung di jagat raya. Ela benar-benar memberikan surga dunia yang tak terlukis kenikmatannya.“Terima kasih, Sayang,” bisikku mesra.Hanya itu kalimat yang mampu kuucapkan. Sebab setelahnya raga berada dalam puncak kelelahan. Tenagaku terkuras setelah menjalankan permainan panas berkali-kali.*Hari-hariku penuh warna bersama Ela. Hidup serasa makin seru dan menggebu-gebukan rindu selalu. Rasanya bulan madu seminggu terlalu singkat untuk menikmati madu pengantin baru.Kini, kami harus menjalani rutinitas seperti biasa. Aku bekerja, sementara Ela di rumah. Ia menuruti perintahku untuk tak bekerja lagi. Cukup jadi nyonya Adnan Saputra saja. Apapun yang diinginkan akan kupenuhi.Lagipula aku ingi
ELAGawat, mas Adnan menelpon terus. Ia pasti sudah ada di rumah. Aku sengaja tidak mengangkat panggilan sebab belum punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang akan dilemparkan. Lebih baik disenyapkan saja agar tak terdengar. Anggap tidak pernah berdering.Reputasiku bakal hancur kalau pulang terlambat. Bisa bisa citraku yang telah baik di matanya berubah menjadi buruk. Efeknya tingkat kepercayaan Mas Adnan akan turun drastis.Kupikir dia akan pulang jam sepuluh atau sebelas malam. ‘Kan katanya banyak kerjaan yang belum diselesaikan. Kenapa juga sudah pulang sekarang. Dasar plin plan!“Macet sialan! Bangsat, gue buru-buru, Woy!”Kupencet klakson hingga suaranya membahana. Persetan dengan kekesalan orang-orang sebab telinganya pekak. Salah sendiri menghalangi jalanku.Dan, untuk beberapa menit terjadilah persaingan klakson dari pengemudi bar-bar. Sumpah, rasanya ingin keluar dan meluapkan emosi dengan memarahi orang-orang
ADNANAku merasa bersalah pada Ela sebab telah membuatnya tertekan. Untung saja kecelakaan itu tak merenggut nyawanya. Kalau sampai Ela terluka parah atau meninggal, aku pasti takkan bisa memaafkan diri sendiriKenapa juga aku mengedepankan prasangka buruk saat Ela belum pulang. Bisa jadi ia terjebak kemacetan atau memang masih ada keperluan.Tentang seringnya ia pergi keluar mungkin saja karena kesepian. Bisa jadi itu untuk melepas kebosanan akibat rehat bekerja. Selepas bulan madu aku jarang punya waktu untuknya.Harusnya aku memahami hal tersebut, bukan malah menuduhnya yang bukan-bukan. Apalagi sampai membandingkan Ela dan Rida. Jelaslah takkan sama. Rida itu wanita kuno, kalau Ela ‘kan modern. Ia tak mungkin betah di rumah sebab butuh aktualisasi diri.Untuk menebus kesalahan, aku bersikap jauh lebih baik padanya. Kumanjakan ia selama masa perawatan. Istriku ini tak boleh sakit lama-lama sebab itu sama saja menyakiti diri sendiri.
ADNANAku menghentikan langkah saat mendengar ucapan bi Enah. Selanjutnya kubalikkan badan hingga menghadap ke arah wanita paruh baya ini.Jelas aku kaget dengan ucapan tak disangka itu. Apalagi katanya mereka pergi tiga minggu lalu. “Tidak ada bagaimana, Bi? Jalan-jalan, ke rumah mama atau bagaimana?” cecarku.Yang ditanya menatapku lekat. Ia seolah ingin mengulitiku selapis demi selapis. Baru kali ini bi Enah bersikap demikian. Biasanya bi Enah hanya sekilas menatapku. Ia pun takkan berdiri lama-lama di hadapan majikannya. Perempuan itu sama seperti Rida, tak banyak bicara.“Ibu bilang tak sanggup berada di rumah ini lagi. Beliau tak bisa hidup dalam angan masa lalu. Ibu juga tak kuat melihat Kak Azka dan Dik Azkia sedih menanti kehadiran papa yang tak kunjung datang. Jadi ibu memutuskan pergi jauh dan saya pun tidak diberi tahu ke mana perginya.”Kejelasan keterangan yang diberikan bi Enah membuat dada
Gawat, Rida adalah menantu kesayangan Mama. Bisa-bisa beliau murka kalau mengetahui fakta sebenarnya! Pikiranku yang kacau makin kacau melihat kedatangan Mama. Wanita yang wajahnya lebih muda dari usianya pastilah akan mencecarku habis-habisan jika tahu realita rumah tanggaku yang telah kandas. .Mama sangat menyayangi Rida dan anak-anak. Bahkan, mantan istriku itu sudah seperti anaknya sendiri. Jika aku terlihat kurang perhatian, ia akan ngomel tanpa titik koma.Rida memang telah membeli hati mama dengan kebaikannya. Mereka tergolong mertua dan menantu akur. Hampir tak pernah ada percekcokan di antara keduanya. Yang ada malah saling memuji dan menyayangi.Sesungguhnya memang tak ada satu cela pun pada diri Rida. Dia benar-benar baik. Dan, kadang aku pun berpikir mengapa bisa setega itu menancapkan belati kepedihan pada inti hatinya.Pelayanan dan ketaatannya sempurna. Secara fisik pun tak buruk rupa. Ia pandai merawat wajah ju
Selepas berganti pakaian, aku segera mengambil ponsel kembali. Sekarang harus mengamankan posisi Ela dengan memberitahu keadaan sebenarnya. Sekaligus kukatakan bahwa akan menginap di sini agar tak dicurigai.Satu hal yang paling penting dia tak boleh menghubungi. Khawatir saat menerima telpon, mama mendengar. Bisa-bisa itu jadi petaka tak terelakkan.Untunglah wanitaku itu pengertian. Ia mengatakan memang harus menginap demi menghilangkan kecurigaan.“Maaf, ya, Sayang, aku gak bisa peluk kamu malam ini.”“Iya, Sayang tak apa. Aku ngerti banget situasi kamu. Lagipula berbakti pada mama itu ‘kan lebih utama,” sahut Ela. Ucapannya ini membuatku begitu tenang. Ia juga tak kalah baik pada mertua dari Rida. Andai mama mau membuka hati pastilah hubungan mereka akan harmonis.Kurasa tak semudah itu mama akan menerima Ela. Ia amat sangat menyayangi Rida, bahkan kadang perhatiannya pada mantan istriku itu lebih dari pada anaknya sendiri.
ADNANAku menyerah. Sepertinya memang tak ada lagi cara untuk menutupi masalah ini.. Aku harus menceritakan semua apapun resikonya.“Ini pasti juga berkaitan dengan kepergian bi Enah dan suaminya. Mereka pasti bukan pulang kampung sementara, iya’kan? Jawab Adnan!” paksa mama dengan suara yang telah lebih meninggi dari sebelumnya. Sorot matanya pun makin menakutkan, persis seperti dulu saat aku memukul teman sekolah hingga masuk rumah sakit. “Aku harus pergi kerja, Mah. Sore aku akan ceritakan semua, janji! Sekarang aku mau ganti baju, Mah, maaf!”Mama mendengkus kasar, tapi ia tidak bisa mencegah anaknya ini untuk kerja. Akhirnya mama mengalah, ia pun melangkah menuju pintu.“Mama tidak akan pulang sebelum kamu menceritakan apa yang terjadi!”Selepas berkata begitu mama keluar kamar. Dari cara berjalannya yang menghentak, aku tahu wanita itu sangat emosi.Aku duduk di tepi ranjang untuk meredakan sedikit ket
ADNANDi jam istirahat, sengaja aku mengajak Ela makan bersama di restoran yang dekat dengan kantor. Di sana kuutarakan semua hal yang terjadi.Tempatnya tak terlalu ramai pengunjung hingga lebih leluasa bicara hal pribadi. Jarak antaa satu meja dengan meja lain pun cukup aman dari adanya aktivitas menguping pembicaraan. Apalagi kami mengambil duduk paling pojok. “Mba Rida pergi ke mana, Mas? Bagaimana keadaan mereka sekarang? Aku khawatir banget loh ada apa-apa sama mereka!” ucap Ela dengan raut dipenuhi kecemasan. Wajah yang tadi ceria saat pertama melihatku, berubah suram. Ela tampak tulus mencemaskan keadaan Rida dan anak-anak. Sungguh, wanita luar biasa. Betapa besar jiwanya. Aku makin mengagumi sosok tulus di depan mata.“Aku juga tak tahu, kata bi Enah dia tak menceritakan ke mana akan pergi.”Ela menghela napas berat. Wajahnya terlihat makin diliputi kecemasan. Hal tersebut pastilah bukan rekayasa, tapi tulus