Share

Bagian 7

Aku mengajak Istri dan anak-anakku untuk sekedar melepas penat. Kami jalan-jalan ke mall. 

Icha sangat senang ketika diajak akan jalan-jalan ke mall, sedangkan Niar -- Istriku tak memberikan reaksi apapun, walau dia juga ikut dengan menggendong Farhan.

"Pah, Icha seneng!" katanya saat memasuki mobil. 

Gadis itu memang tak pernah jalan-jalan, sama seperti Mamanya. Aku yang salah, terlalu sibuk dengan kerjaan kantor yang kadang suka dibawa sampai rumah.

"Asyik dong kalau Mau Icha seneng. Papa juga seneng. Tanya Mama gih, Cha. Seneng nggak?" Aku mengalihkan pandangan pada Niar yang memilih duduk di belakang bersama si kecil. Niar tak menanggapiku, dia menghindari pandanganku.

Icha duduk di samping. Sepanjang jalan, ia terus bernyanyi. Aku senang melihatnya seceria ini.

Kulirik Istriku dari depan, ia tetap saja datar. Entah apa yang bisa membuatnya bahagia saat ini. Aku masih mencari celah.

Saat di mall, Icha memilih bermain mobil-mobilan dengan aki. Dia langsung mahir mengemudikannya. Aku duduk di samping Niar. Kami sama-sama memperhatikan Icha dari tempat duduk kami.

"Kamu senang, Dek?" Aku menggenggam tangan Istriku.

"Ia menatap mataku. Ia malah menghela napas pendek." 

Bukan Deni namanya jika langsung menyerah. Ku ambil tangannya, aku menggenggamnya erat. Ia memperhatikan tangan kami yang saling bersentuhan. Walau tangan kirinya sibuk memegangi gendongan si kecil.

"Dek, habis ini kita makan ya! Mau makan apa?"

Niar menggeleng, entah dia menolak atau tak tau mau makan apa.

"Pa, aku udah selesai. Mobilnya enak, Pa!" katanya sambil tersenyum manis.

"Iya, Sayang. Pasti enak naik mobil itu." 

"Icha mau makan apa?" tanyaku pada bocah tiga tahun ini.

"Makan chiken, Pa. Cha suka liat di tv Nenek," jawab Icha.

"Mama gimana?" Aku menoleh lagi pada Niar.

Niar mengangguk. Kami pun makan di salah satu kedai fried chicken. Icha senang, dia sangat lahap memakan ayam goreng krispi ini.

Saat akan makan, Farhan mulai rewel. Dia sebenarnya sudah minum ASI, tapi Farhan tak mau tidur lagi. Jadi, Niar kewalahan saat Farhan berontak dari pangkuannya.

Aku menawarkan diri untuk mengambil Farhan darinya. Ia justru menolakku. Padahal Niar belum makan sedikitpun.

"Dek, ayolah, kamu kan belum makan. Biar Farhan sama aku dulu. Biar kamu enak makannya," ucapku sambil memberikan tangan pada Farhan.

Niar bergeming, matanya melirik ke segala arah. Sikap yang tak biasa menurutku.

"Ayolah Niar. Sini, Farhan sama Papa dulu!"

Aku berhasil mengambil Farhan. Niar kembali fokus pada makanannya. Ia makan perlahan, tidak terlalu menikmatinya.

Ku lihat Niar tidak bisa melepaskan penatnya di mall ini. Aku berencana membawanya ke tempat yang menampilkan keindahan alam saja nanti, seperti gunung atau ke pantai.

"Dek, habiskan makannya! Sayang kalau tak habis. Lihat, Icha saja habis." Aku menunjuk pada piring Icha yang kosong.

Niar mengulas senyumnya tipis, tapi tak berkata apapun.

"Ma, habiskan, Ma!" Icha membantuku untuk bujuk Mamanya.

Niar kembali fokus dengan nasinya. Tak lama nasinya habis.

"Alhamdulillah, Mama pinter!" kata Icha.

Niar tersenyum lagi. Saat ini momen Istriku tersenyum baru dua kali. Tapi aku bersyukur, dia mau tersenyum sekarang. Senyumnya sangat mahal, aku merindukan Niar yang saat pertama kali ku kenal.

Niar yang dulu yang ceria,  baik, suka tersenyum dan aku nyaman di sampingnya. Entah sekarang, ada yang berbeda dari Istriku.

***

Kami pulang sore. Saat datang, Ibu mencebik. Ia marah kenapa ia tak diajak oleh kami. Memang saat berangkat, aku tak melihatnya.

"Saat itu Ibu sedang ke rumah Bu Inneu."

"Oh, pantes. Nggak usah salahin Deni atau Niar dong, Bu. Ibu sendiri yang nggak ada di tempat," jawabku.

Tak ada kata-kata keluar lagi dari Ibu. Aku mengajak Niar dan Farhan ke kamar. Tapi Icha malah menunjukkan semua yang dibeli pada Neneknya. 

Setelah dari kamar, aku kembali menemani Icha bicara dengan Neneknya.

"Apa sih, Icha. Pamer doang! Mentang-mentang Nenek nggak ikut!"

"Nek, nenek pilih aja mau apa? Nih Icha punya balon, gulali, tahu krispi sama makaroni. Nenek mau yang mana?"

Ya Allah, Icha baik baget sama Neneknya. Mirip sekali dengan Niar dulu.

"Nenek nggak mau semua, Nenek pengennya ikut jalan-jalan, bukan makanan ini!" Ibu melempar semua yang diberikan Icha.

Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku. 

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar nenek sihir
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status