Aku mengajak Istri dan anak-anakku untuk sekedar melepas penat. Kami jalan-jalan ke mall.
Icha sangat senang ketika diajak akan jalan-jalan ke mall, sedangkan Niar -- Istriku tak memberikan reaksi apapun, walau dia juga ikut dengan menggendong Farhan.
"Pah, Icha seneng!" katanya saat memasuki mobil.
Gadis itu memang tak pernah jalan-jalan, sama seperti Mamanya. Aku yang salah, terlalu sibuk dengan kerjaan kantor yang kadang suka dibawa sampai rumah.
"Asyik dong kalau Mau Icha seneng. Papa juga seneng. Tanya Mama gih, Cha. Seneng nggak?" Aku mengalihkan pandangan pada Niar yang memilih duduk di belakang bersama si kecil. Niar tak menanggapiku, dia menghindari pandanganku.
Icha duduk di samping. Sepanjang jalan, ia terus bernyanyi. Aku senang melihatnya seceria ini.
Kulirik Istriku dari depan, ia tetap saja datar. Entah apa yang bisa membuatnya bahagia saat ini. Aku masih mencari celah.
Saat di mall, Icha memilih bermain mobil-mobilan dengan aki. Dia langsung mahir mengemudikannya. Aku duduk di samping Niar. Kami sama-sama memperhatikan Icha dari tempat duduk kami.
"Kamu senang, Dek?" Aku menggenggam tangan Istriku.
"Ia menatap mataku. Ia malah menghela napas pendek."
Bukan Deni namanya jika langsung menyerah. Ku ambil tangannya, aku menggenggamnya erat. Ia memperhatikan tangan kami yang saling bersentuhan. Walau tangan kirinya sibuk memegangi gendongan si kecil.
"Dek, habis ini kita makan ya! Mau makan apa?"
Niar menggeleng, entah dia menolak atau tak tau mau makan apa.
"Pa, aku udah selesai. Mobilnya enak, Pa!" katanya sambil tersenyum manis.
"Iya, Sayang. Pasti enak naik mobil itu."
"Icha mau makan apa?" tanyaku pada bocah tiga tahun ini.
"Makan chiken, Pa. Cha suka liat di tv Nenek," jawab Icha.
"Mama gimana?" Aku menoleh lagi pada Niar.
Niar mengangguk. Kami pun makan di salah satu kedai fried chicken. Icha senang, dia sangat lahap memakan ayam goreng krispi ini.
Saat akan makan, Farhan mulai rewel. Dia sebenarnya sudah minum ASI, tapi Farhan tak mau tidur lagi. Jadi, Niar kewalahan saat Farhan berontak dari pangkuannya.
Aku menawarkan diri untuk mengambil Farhan darinya. Ia justru menolakku. Padahal Niar belum makan sedikitpun.
"Dek, ayolah, kamu kan belum makan. Biar Farhan sama aku dulu. Biar kamu enak makannya," ucapku sambil memberikan tangan pada Farhan.
Niar bergeming, matanya melirik ke segala arah. Sikap yang tak biasa menurutku.
"Ayolah Niar. Sini, Farhan sama Papa dulu!"
Aku berhasil mengambil Farhan. Niar kembali fokus pada makanannya. Ia makan perlahan, tidak terlalu menikmatinya.
Ku lihat Niar tidak bisa melepaskan penatnya di mall ini. Aku berencana membawanya ke tempat yang menampilkan keindahan alam saja nanti, seperti gunung atau ke pantai.
"Dek, habiskan makannya! Sayang kalau tak habis. Lihat, Icha saja habis." Aku menunjuk pada piring Icha yang kosong.
Niar mengulas senyumnya tipis, tapi tak berkata apapun.
"Ma, habiskan, Ma!" Icha membantuku untuk bujuk Mamanya.
Niar kembali fokus dengan nasinya. Tak lama nasinya habis.
"Alhamdulillah, Mama pinter!" kata Icha.
Niar tersenyum lagi. Saat ini momen Istriku tersenyum baru dua kali. Tapi aku bersyukur, dia mau tersenyum sekarang. Senyumnya sangat mahal, aku merindukan Niar yang saat pertama kali ku kenal.
Niar yang dulu yang ceria, baik, suka tersenyum dan aku nyaman di sampingnya. Entah sekarang, ada yang berbeda dari Istriku.
***
Kami pulang sore. Saat datang, Ibu mencebik. Ia marah kenapa ia tak diajak oleh kami. Memang saat berangkat, aku tak melihatnya.
"Saat itu Ibu sedang ke rumah Bu Inneu."
"Oh, pantes. Nggak usah salahin Deni atau Niar dong, Bu. Ibu sendiri yang nggak ada di tempat," jawabku.
Tak ada kata-kata keluar lagi dari Ibu. Aku mengajak Niar dan Farhan ke kamar. Tapi Icha malah menunjukkan semua yang dibeli pada Neneknya.
Setelah dari kamar, aku kembali menemani Icha bicara dengan Neneknya.
"Apa sih, Icha. Pamer doang! Mentang-mentang Nenek nggak ikut!"
"Nek, nenek pilih aja mau apa? Nih Icha punya balon, gulali, tahu krispi sama makaroni. Nenek mau yang mana?"
Ya Allah, Icha baik baget sama Neneknya. Mirip sekali dengan Niar dulu.
"Nenek nggak mau semua, Nenek pengennya ikut jalan-jalan, bukan makanan ini!" Ibu melempar semua yang diberikan Icha.
Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku.
Bersambung
Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku.Aku mengusap kepala Icha dan membiarkannya menangis di pelukanku. Setelah mereda, aku bawa Icha ke kamar, sepertinya ia ngantuk. Tak lama ia pun tertidur.Aku kembali menemui Ibu. Lalu aku bicara pada Ibu agar jangan berbuat seperti itu pada anak kecil."Apa sih kamu, Den. Kamu juga yang salah, jalan-jalan nggak ajak Ibu. Emang mereka doang yang butuh hiburan? Ibu juga pengen!" Ibu merajuk, aku kesal dibuatnya."Bu, aku hanya menghibur mereka. Sejak menikah, aku tak pernah mengajak Niar jalan-jalan. Anakku juga belum pernah kuajak keluar. Kalau ibu kan sering ku antar belanja. Dikit-dikit Ibu meminta diantar olehku," jawabku."Kamu sukanya membandingkan seperti itu. Ibu nggak suka digituin, Den. Kamu anak Ibu. Jadi, terserah Ibu mau nyuruh-nyuruh kamu seperti itu."Aku merebahkan diri di sofa."Bu, intinya aku nggak suka Ibu membentak Icha. Kasian Icha udah berbuat baik pada Ibu, ma
NiarBang Deni mengajakku jalan-jalan, hal yang mahal bagiku setelah menikah dengannya. Beberapa kali dulu aku mengajaknya jalan-jalan, tapi ia tak pernah bisa.Aku akui Bang Deni sekarang belajar dari kesalahannya. Tapi, hatiku tetap sakit dengan semua penolakannya dulu, kata-kataku yang tak pernah ia percayai. Untuk apa aku dijadikan istri, jika kata-kataku saja tak ia percaya.Ditambah masalah Ibu yang selalu menindasku dengan tatapan matanya. Sehingga, walau tak berkata pun, aku sudah trauma dengannya.Kalau Kak Ayu, dia selalu mengataiku malas. Aku bukannya malas, tapi aku memang butuh waktu untuk anak-anakku dan diriku sendiri."Syukur ya, Deni sudah berangkat. Tak ada yang melindungimu sekarang," ucap Ayu saat Bang Deni sudah berangkat dengan mobilnya.Aku diam menunduk, tak mau bertikai dengannya, yang ada dia selalu mematahkan kata-kataku."Pinter ya, kamu. Bisanya diem-diem aja, padahal hatinya lain." ucap Kak Ayu lagi
Aku masih memikirkan cara untuk memasang kamera pengawas di rumahku tanpa ketahuan oleh anggota keluarga. Aku hubungi Niar agar dia memberitahukanku saat Ibu dan Kak Ayu pergi ke luar rumah. Tapi, dia tak mengerti dan sering lupa memberi tahukan padaku. [Maaf, Bang aku lupa. Padahal tadi mereka pergi.] [Kamu jangan sampai lupa-lupa terus. Gimana kamu di rumah? Apakah ibu bersikap baik padamu?] Lama sekali tak dijawab. Entah gawainya di simpan dimana, Niar tak pernah sigap menjawab pesan atau telepon dariku. Aku semakin bingung, karena sudah hampir hari Jumat lagi, waktunya aku pulang ke rumah. Pengawas kamera sudah dibeli oleh sahabatku, Bram. Tapi, ia tak punya celah untuk masuk rumahku. Ibu dan Kak Ayu bisa-bisa curiga padanya. "Coba Bram, kamu bicara dengan istriku. Karena dia yang bisa memberitahumu kalau rumah sedang sepi. Saat itu, kamu pasang di dapur dan di ruang tamu, Bram!" "Tapi, sepertinya aku nggak bisa. Karena kal
Ibu meminta bicara padaku. Ia nampak gusar, mungkin mengenai usulku membawa Niar ke Psiater. "Den, kita lihat dulu ke depan. Kalau misalnya Niar menunjukkan gejala aneh, nanti ibu carikan psikiater untuknya. Alasannya, ibu tak pernah menganggap Niar ada gangguan. Gimana, Den?" Rasanya tak sependapat dengan hal itu, tapi aku akan mencoba mengikutinya. Lagian sekarang ada kamera pengawas, aku nggak terlalu khawatir. "Baik, bu. Aku akan mengamati perkembangan Niar ke depan. Jika dia semakin susah diajak bicara, aku kan langsung membawanya ke psikiater," ucapku pada ibu. "Okey." Ibu setuju dengan pendapatku. Pagi ini ku lihat Kak Ayu yang sibuk di dapur, ia dibantu oleh kedua anaknya, Farrel dan Ayesa. Terlihat Farrel mengepel lantai setelah Ayesa yang menyapunya terlebih dahulu. 'Baguslah,' pikirku saat melihatnya. Anakku Icha masih belum bangun, ia masih tertidur. Aku menemui Niar yang sudah terbangun dan salat subuh, karena ku b
"Dek, kenapa Farhan ada di bawah? Kamu apain dia?" Aku berlari mengambil Farhan yang tengkurap di atas lantai."Tidaaak, aku tidak melemparnya. Aku kaget lihat dia di bawah." Niar bicara dengan pandangan lurus ke depan."Jadi, Farhan jatuh sendiri?""Tadi, ada yang ngintip di pintu! Ku tutup pintu. Dia jatuh!"Niar bicara dengan ketakutan. Aku mencoba menenangkannya, lalu mendudukkannya di bibir ranjang."Sebentar, aku ambilkan minum dulu ya, Dek!"Farhan masih ku gendong, ia tak menangis sedikit pun, hanya bergumam sesekali."Dek, ini minum dulu!"Niar mengambil air dari tanganku, lalu meminumnya. Setelah itu aku ambil, dan ku simpan di atas nakas."Bang, aku takut!" Niar berkata tanpa memandangku."Takut apa, Niar? Siapa yang ngintip? Di rumah ini hanya ada kita berempat.""Ada yang ngintip." Niar masih ketakutan."Ya udah, nanti Abang cari siapa orangnya."Aku mengambil gawai dari saku. Aku
"Uuuuhhh ... Nggak enak!"Mata kami sama-sama ke arah Icha. Lalu, aku menoleh ke arah kak Ayu. Aku menggelengkan kepalaku padanya. Wajahnya memerah, kak Ayu grogi saat aku perhatikan.Sebelumnya aku katakan pada Icha agar jangan berbicara tak baik pada makanan."Tapi kan ini nggak enak. Enak masakan Mama," katanya."Papa coba, ya!" Aku mencoba makanan itu.Rasanya memang tak karuan. Udang saos tiram keasinan, capcaynya tak berasa.'Kok bisa kak Ayu yang sudah punya jadwal masak memasak yang seperti ini,' ucapku dalam hati.Aku menatap lagi pada kak Ayu. Dia semakin gusar, keringat mengucur di wajahnya."Baiklah, kak Ayu ikut aku dulu!" perintahku pada kakak perempuanku ini. "Icha tunggu sama mama ya! Nanti papa pesankan makanan buat makan kita," kataku."Iya, Pa."Kak Ayu mengikutiku, tapi ibu mengekor di belakangnya. Ketika ku berbalik, aku menatap ibu."Kenapa ibu ikut? Mau bela kak Ayu?"
Bu RatihSiang ini, aku, Ayu dan anak-anaknya pergi keluar untuk makan-makan. Seperti biasa, aku nikmati uang hasil jerih payah anakku Deni.Kepindahan kerja Deni menjadi berkah tersendiri buatku. Aku jadi lebih leluasa mengendalikan Niar.Namun, aku harus sembunyi-sembunyi dari Icha, dia tak boleh melihat saat aku bicara dengan mamanya. Makanya ku minta Farrel dan Ayesa mengajak main Icha saat aku menemui Niar.Ketika sampai rumah, aku terkejut Deni sudah sampai. Biasanya dia sampai larut malam, makanya aku dan Ayu makan-makan dulu, karena tau hal itu.Deni malah bertepuk tangan saat kami datang."Luar biasa nih ibu sama kak Ayu, habis makan-makan di luar, nggak ajak-ajak kami," sindir Deni.Langsung dijawab oleh Ayu kalau kami habis daftar sekolah Farrel."Benar itu, Bu?" Deni memastikan kebenaran jawaban Ayu padaku."Be-benar, Den!" Aku gugup saat menjawabnya.Deni tak banyak bicara, ia meninggalkan kami. Lalu
Aku melihat dua hari ini, mereka aman-aman saja. Tapi ketika ku pantau malam ini, kamera pengawasku mati.Apa mungkin ibu dan kakakku tau tentang ini? Mereka mencabutnya sehingga aku tak bisa melihat aktivitas mereka.Apa yang harus kulakukan yaa Allah? Apa sebaiknya aku mengambil cuti untuk besok?Mmm ... Baiklah kuputuskan untuk mengambil cuti esok hari. Aku harus segera hubungi pihak HRD agar cuti dadakanku ini di ACC."Den, kamu kok resah begitu?""Iya aku sepertinya ingin pulang. Ada sesuatu yang terjadi dengan istriku sih kemungkinan besar!" Aku menjawab pertanyaan Rio."Jika dengan pulang, kamu semakin tenang, maka lakukanlah!" Nasehat Rio membuatku tenang."Terima kasih ya, Rio!"Selanjutnya aku menghubungi Bram, aku menanyakan perihal kamera pengawas yang ku pakai malah mati saat ini."Bisa jadi karena ketahuan, lalu dimatikan sambungannya.""Baiklah, Bram. Aku mengerti." Tekadku untuk pulang