Ibu Ratih
Gadis itu tiba-tiba datang bersama anak kesayanganku dan mereka berencana akan menikah. Deni padahal baru beberapa bulan bekerja, aku baru saja merasakan gajinya tiap bulan.
"Tak bisakah pernikahanmu ditunda, Deni?" tanyaku saat itu.
"Tidak mungkin, Bu. Kami sudah merencanakan masa depan bersama."
Dia gadis yang berasal dari keluarga miskin. Sementara keluarga kami terpandang. Serasa langit dan bumi, tapi aku harus menerima gadis miskin itu.
"Tenang saja, Bu. Niar akan membantu semua kerjaan rumah ibu nanti," kata Deni saat ia meminta menikahi Niar.
"Tapi, Nak. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, berarti kamu bakal menghentikan pemberian uangmu tiap bulan?"
"Paling nanti Ibu nggak bakal dapat lima juta lagi, sebagian besar akan kuberikan pada istriku," jawab Deni.
Jawaban Deni membuatku sedih, ia akan memberikan sebagian besar uangnya pada seseorang yang baru ia kenal.
Pada akhirnya, aku pun luluh dengan kegigihan Deni meminta restu padaku. Pernikahan itu terjadi. Mereka tetap tinggal bersamaku.
Saat itu aku harus rela diberi dua juta rupiah oleh Deni. Walau aku masih punya penghasilan dari gaji Alm suamiku, tapi aku sangat senang jika mendapat juga dari anak-anakku.
"Maaf ya, Bu. Deni hanya bisa memberi dua juta saja. Mudah-mudahan nanti gaji Deni naik lagi, sehingga bisa memberikan Ibu lebih banyak." Itulah jawaban anakku saat itu.
Niar memang perempuan yang cekatan. Dia bisa mengerjakan banyak hal. Aku sangat terbantu dengan adanya dia.
"Bu, aku capek. Mau istirahat dulu," kata Niar saat itu.
"Kamu gimana sih, masa baru segitu udah capek? Masih ada tumpukan baju untuk kamu setrika, Niar!" Aku memarahinya.
Dan memang benar, dia baru masak dan mencuci baju. Untuk menjemur, dikerjakan olehku, menyapu dan mengepel oleh Ayu.
Niar mencebik, saat itu dia baru saja melahirkan anak pertamanya, Icha.
"Ayo kerjakan!" Aku membentaknya.
Dia manut, menyetrika sampai selesai, tapi aku membantu mengasuh anaknya.
***
Tahun ini Deni di mutasi ke cabang pusat. Ia berencana membawa anak dan istrinya ikut ke kota tempatnya bekerja. Tapi, aku melarangnya.
"Lagian Istrimu baru melahirkan. Nanti dia susah butuh apa-apa di sana. Kalau di sini, Ibu bisa membantunya, Den!"
Belum lagi nanti tak ada yang bisa diandalkan di rumah ini. Selain itu, bisa jadi Deni nantinya tak memberikan uangnya padaku.
"Jangan, Den. Lebih baik istri dan anakmu di sini. Sayang uangnya nanti kalau dipakai ngontrak. Kumpulkan uangmu agar bisa beli rumah," perintahku pada Deni.
Deni memikirkannya kembali, dia setuju dengan hal itu.
"Baik, Bu. Oya, Bu Alhamdulillah gajiku naik jadi tiga belas juta. Aku akan beri ibu tambahan, jadi kuberi tiga juta tiap bulan."
"Syukur, Den. Istrimu kau bekali berapa? Ibu mau kamu beri kak Ayu satu juta dari penghasilanmu. Kasihan dia, tau sendiri kerjaan suaminya." Aku membujuk Deni.
"Ya sudah, aku beri dari jatahku saja. Untuk Niar tetap aku alokasikan tujuh juta, Bu."
Aku terbelalak, wanita itu dapat jatah banyak sekali. Sementara aku yang melahirkannya, hanya dapat tiga juta.
Aku tak rela Niar mendapatkannya. Aku memiliki rencana untuk mengambil uang itu. Toh, itu uang anakku juga. Walau uang itu ku ambil nanti, dia bebas memakan apapun di rumah ini.
Niar memberikan ATM-nya padaku. Aku tau, Deni mentransfer gajinya ke ATM Niar.
Setelah aku cek saldonya, ada tujuh juta. Aku berpikir kemana dia simpan uang-uangnya sebelumnya? Lalu aku sisakan saja untuknya 500 ribu.
Ketika sampai rumah aku bertanya pada Niar tentang uang yang diberikan Deni selama ini.
"Dimana kamu menyimpannya, Niar?"
Dia tak menjawab. Aku memaksanya.
"Dimana?"
"Bang Deni yang pegang, Bu. Semua ada di tabungan khusus," jawabnya.
Aku tak tau bohong tidaknya dia. Kalau ku tanya Deni, nanti dia curiga padaku.
"Niar, Ibu harap semua menjadi rahasia kita. Ingat ancaman Ibu sebelumnya! Aku bisa membuatmu dibenci orang tua, saudara dan semua tetanggamu di kampungmu. Jadi, jangan sampai Deni tau tentang semua ini!"
Niar bergeming, tak ada jawaban dari mulutnya. Tatapannya juga kosong saat itu.
Hingga saat ini, Niar tak pernah membocorkan semua pada Deni. Rahasia kami aman.
Aku bisa membeli aneka perhiasan dari uang itu, ku beri jatah untuk Ayu juga untuk menutup mulutnya.
Dalam pekerjaan rumah, Niar selalu mengerjakan dengan baik. Tapi ada saat dia menangis sendiri, kadang aku biarkan saja dia menangis.
Namun, jika dia sudah keterlaluan diam di kamar, aku akan menegurnya.
Aku tak suka jika di rumah ini terlu boros. Niar suka menyalakan lampu kamarnya saat siang. Itu pemborosan untukku. Makanya aku selalu menegurnya, ia tak pernah melakukannya lagi.
Bersambung
Aku mengajak Istri dan anak-anakku untuk sekedar melepas penat. Kami jalan-jalan ke mall.Icha sangat senang ketika diajak akan jalan-jalan ke mall, sedangkan Niar -- Istriku tak memberikan reaksi apapun, walau dia juga ikut dengan menggendong Farhan."Pah, Icha seneng!" katanya saat memasuki mobil.Gadis itu memang tak pernah jalan-jalan, sama seperti Mamanya. Aku yang salah, terlalu sibuk dengan kerjaan kantor yang kadang suka dibawa sampai rumah."Asyik dong kalau Mau Icha seneng. Papa juga seneng. Tanya Mama gih, Cha. Seneng nggak?" Aku mengalihkan pandangan pada Niar yang memilih duduk di belakang bersama si kecil. Niar tak menanggapiku, dia menghindari pandanganku.Icha duduk di samping. Sepanjang jalan, ia terus bernyanyi. Aku senang melihatnya seceria ini.Kulirik Istriku dari depan, ia tetap saja datar. Entah apa yang bisa membuatnya bahagia saat ini. Aku masih mencari celah.Saat di mall, Icha memilih bermain mob
Icha terkejut, ia berlari sambil menangis ke arahku.Aku mengusap kepala Icha dan membiarkannya menangis di pelukanku. Setelah mereda, aku bawa Icha ke kamar, sepertinya ia ngantuk. Tak lama ia pun tertidur.Aku kembali menemui Ibu. Lalu aku bicara pada Ibu agar jangan berbuat seperti itu pada anak kecil."Apa sih kamu, Den. Kamu juga yang salah, jalan-jalan nggak ajak Ibu. Emang mereka doang yang butuh hiburan? Ibu juga pengen!" Ibu merajuk, aku kesal dibuatnya."Bu, aku hanya menghibur mereka. Sejak menikah, aku tak pernah mengajak Niar jalan-jalan. Anakku juga belum pernah kuajak keluar. Kalau ibu kan sering ku antar belanja. Dikit-dikit Ibu meminta diantar olehku," jawabku."Kamu sukanya membandingkan seperti itu. Ibu nggak suka digituin, Den. Kamu anak Ibu. Jadi, terserah Ibu mau nyuruh-nyuruh kamu seperti itu."Aku merebahkan diri di sofa."Bu, intinya aku nggak suka Ibu membentak Icha. Kasian Icha udah berbuat baik pada Ibu, ma
NiarBang Deni mengajakku jalan-jalan, hal yang mahal bagiku setelah menikah dengannya. Beberapa kali dulu aku mengajaknya jalan-jalan, tapi ia tak pernah bisa.Aku akui Bang Deni sekarang belajar dari kesalahannya. Tapi, hatiku tetap sakit dengan semua penolakannya dulu, kata-kataku yang tak pernah ia percayai. Untuk apa aku dijadikan istri, jika kata-kataku saja tak ia percaya.Ditambah masalah Ibu yang selalu menindasku dengan tatapan matanya. Sehingga, walau tak berkata pun, aku sudah trauma dengannya.Kalau Kak Ayu, dia selalu mengataiku malas. Aku bukannya malas, tapi aku memang butuh waktu untuk anak-anakku dan diriku sendiri."Syukur ya, Deni sudah berangkat. Tak ada yang melindungimu sekarang," ucap Ayu saat Bang Deni sudah berangkat dengan mobilnya.Aku diam menunduk, tak mau bertikai dengannya, yang ada dia selalu mematahkan kata-kataku."Pinter ya, kamu. Bisanya diem-diem aja, padahal hatinya lain." ucap Kak Ayu lagi
Aku masih memikirkan cara untuk memasang kamera pengawas di rumahku tanpa ketahuan oleh anggota keluarga. Aku hubungi Niar agar dia memberitahukanku saat Ibu dan Kak Ayu pergi ke luar rumah. Tapi, dia tak mengerti dan sering lupa memberi tahukan padaku. [Maaf, Bang aku lupa. Padahal tadi mereka pergi.] [Kamu jangan sampai lupa-lupa terus. Gimana kamu di rumah? Apakah ibu bersikap baik padamu?] Lama sekali tak dijawab. Entah gawainya di simpan dimana, Niar tak pernah sigap menjawab pesan atau telepon dariku. Aku semakin bingung, karena sudah hampir hari Jumat lagi, waktunya aku pulang ke rumah. Pengawas kamera sudah dibeli oleh sahabatku, Bram. Tapi, ia tak punya celah untuk masuk rumahku. Ibu dan Kak Ayu bisa-bisa curiga padanya. "Coba Bram, kamu bicara dengan istriku. Karena dia yang bisa memberitahumu kalau rumah sedang sepi. Saat itu, kamu pasang di dapur dan di ruang tamu, Bram!" "Tapi, sepertinya aku nggak bisa. Karena kal
Ibu meminta bicara padaku. Ia nampak gusar, mungkin mengenai usulku membawa Niar ke Psiater. "Den, kita lihat dulu ke depan. Kalau misalnya Niar menunjukkan gejala aneh, nanti ibu carikan psikiater untuknya. Alasannya, ibu tak pernah menganggap Niar ada gangguan. Gimana, Den?" Rasanya tak sependapat dengan hal itu, tapi aku akan mencoba mengikutinya. Lagian sekarang ada kamera pengawas, aku nggak terlalu khawatir. "Baik, bu. Aku akan mengamati perkembangan Niar ke depan. Jika dia semakin susah diajak bicara, aku kan langsung membawanya ke psikiater," ucapku pada ibu. "Okey." Ibu setuju dengan pendapatku. Pagi ini ku lihat Kak Ayu yang sibuk di dapur, ia dibantu oleh kedua anaknya, Farrel dan Ayesa. Terlihat Farrel mengepel lantai setelah Ayesa yang menyapunya terlebih dahulu. 'Baguslah,' pikirku saat melihatnya. Anakku Icha masih belum bangun, ia masih tertidur. Aku menemui Niar yang sudah terbangun dan salat subuh, karena ku b
"Dek, kenapa Farhan ada di bawah? Kamu apain dia?" Aku berlari mengambil Farhan yang tengkurap di atas lantai."Tidaaak, aku tidak melemparnya. Aku kaget lihat dia di bawah." Niar bicara dengan pandangan lurus ke depan."Jadi, Farhan jatuh sendiri?""Tadi, ada yang ngintip di pintu! Ku tutup pintu. Dia jatuh!"Niar bicara dengan ketakutan. Aku mencoba menenangkannya, lalu mendudukkannya di bibir ranjang."Sebentar, aku ambilkan minum dulu ya, Dek!"Farhan masih ku gendong, ia tak menangis sedikit pun, hanya bergumam sesekali."Dek, ini minum dulu!"Niar mengambil air dari tanganku, lalu meminumnya. Setelah itu aku ambil, dan ku simpan di atas nakas."Bang, aku takut!" Niar berkata tanpa memandangku."Takut apa, Niar? Siapa yang ngintip? Di rumah ini hanya ada kita berempat.""Ada yang ngintip." Niar masih ketakutan."Ya udah, nanti Abang cari siapa orangnya."Aku mengambil gawai dari saku. Aku
"Uuuuhhh ... Nggak enak!"Mata kami sama-sama ke arah Icha. Lalu, aku menoleh ke arah kak Ayu. Aku menggelengkan kepalaku padanya. Wajahnya memerah, kak Ayu grogi saat aku perhatikan.Sebelumnya aku katakan pada Icha agar jangan berbicara tak baik pada makanan."Tapi kan ini nggak enak. Enak masakan Mama," katanya."Papa coba, ya!" Aku mencoba makanan itu.Rasanya memang tak karuan. Udang saos tiram keasinan, capcaynya tak berasa.'Kok bisa kak Ayu yang sudah punya jadwal masak memasak yang seperti ini,' ucapku dalam hati.Aku menatap lagi pada kak Ayu. Dia semakin gusar, keringat mengucur di wajahnya."Baiklah, kak Ayu ikut aku dulu!" perintahku pada kakak perempuanku ini. "Icha tunggu sama mama ya! Nanti papa pesankan makanan buat makan kita," kataku."Iya, Pa."Kak Ayu mengikutiku, tapi ibu mengekor di belakangnya. Ketika ku berbalik, aku menatap ibu."Kenapa ibu ikut? Mau bela kak Ayu?"
Bu RatihSiang ini, aku, Ayu dan anak-anaknya pergi keluar untuk makan-makan. Seperti biasa, aku nikmati uang hasil jerih payah anakku Deni.Kepindahan kerja Deni menjadi berkah tersendiri buatku. Aku jadi lebih leluasa mengendalikan Niar.Namun, aku harus sembunyi-sembunyi dari Icha, dia tak boleh melihat saat aku bicara dengan mamanya. Makanya ku minta Farrel dan Ayesa mengajak main Icha saat aku menemui Niar.Ketika sampai rumah, aku terkejut Deni sudah sampai. Biasanya dia sampai larut malam, makanya aku dan Ayu makan-makan dulu, karena tau hal itu.Deni malah bertepuk tangan saat kami datang."Luar biasa nih ibu sama kak Ayu, habis makan-makan di luar, nggak ajak-ajak kami," sindir Deni.Langsung dijawab oleh Ayu kalau kami habis daftar sekolah Farrel."Benar itu, Bu?" Deni memastikan kebenaran jawaban Ayu padaku."Be-benar, Den!" Aku gugup saat menjawabnya.Deni tak banyak bicara, ia meninggalkan kami. Lalu