Share

Bagian 6

Ibu Ratih

Gadis itu tiba-tiba datang bersama anak kesayanganku dan mereka berencana akan menikah. Deni padahal baru beberapa bulan bekerja, aku baru saja merasakan gajinya tiap bulan.

"Tak bisakah pernikahanmu ditunda, Deni?" tanyaku saat itu.

"Tidak mungkin, Bu. Kami sudah merencanakan masa depan bersama."

Dia gadis yang berasal dari keluarga miskin. Sementara keluarga kami terpandang. Serasa langit dan bumi, tapi aku harus menerima gadis miskin itu.

"Tenang saja, Bu. Niar akan membantu semua kerjaan rumah ibu nanti," kata Deni saat ia meminta menikahi Niar.

"Tapi, Nak. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, berarti kamu bakal menghentikan pemberian uangmu tiap bulan?"

"Paling nanti Ibu nggak bakal dapat lima juta lagi, sebagian besar akan kuberikan pada istriku," jawab Deni.

Jawaban Deni membuatku sedih, ia akan memberikan sebagian besar uangnya pada seseorang yang baru ia kenal.

Pada akhirnya, aku pun luluh dengan kegigihan Deni meminta restu padaku. Pernikahan itu terjadi. Mereka tetap tinggal bersamaku.

Saat itu aku harus rela diberi dua juta rupiah oleh Deni. Walau aku masih punya penghasilan dari gaji Alm suamiku, tapi aku sangat senang jika mendapat juga dari anak-anakku.

"Maaf ya, Bu. Deni hanya bisa memberi dua juta saja. Mudah-mudahan nanti gaji Deni naik lagi, sehingga bisa memberikan Ibu lebih banyak." Itulah jawaban anakku saat itu.

Niar memang perempuan yang cekatan. Dia bisa mengerjakan banyak hal. Aku sangat terbantu dengan adanya dia.

"Bu, aku capek. Mau istirahat dulu," kata Niar saat itu.

"Kamu gimana sih, masa baru segitu udah capek? Masih ada tumpukan baju untuk kamu setrika, Niar!" Aku memarahinya. 

Dan memang benar, dia baru masak dan mencuci baju. Untuk menjemur, dikerjakan olehku, menyapu dan mengepel oleh Ayu.

Niar mencebik, saat itu dia baru saja melahirkan anak pertamanya, Icha.

"Ayo kerjakan!" Aku membentaknya.

Dia manut, menyetrika sampai selesai, tapi aku membantu mengasuh anaknya. 

***

Tahun ini Deni di mutasi ke cabang pusat. Ia berencana membawa anak dan istrinya ikut ke kota tempatnya bekerja. Tapi, aku melarangnya.

"Lagian Istrimu baru melahirkan. Nanti dia susah butuh apa-apa di sana. Kalau di sini, Ibu bisa membantunya, Den!"

Belum lagi nanti tak ada yang bisa diandalkan di rumah ini. Selain itu, bisa jadi Deni nantinya tak memberikan uangnya padaku.

"Jangan, Den. Lebih baik istri dan anakmu di sini. Sayang uangnya nanti kalau dipakai ngontrak. Kumpulkan uangmu agar bisa beli rumah," perintahku pada Deni.

Deni memikirkannya kembali, dia setuju dengan hal itu.

"Baik, Bu. Oya, Bu Alhamdulillah gajiku naik jadi tiga belas juta. Aku akan beri ibu tambahan, jadi kuberi tiga juta tiap bulan."

"Syukur, Den. Istrimu kau bekali berapa? Ibu mau kamu beri kak Ayu satu juta dari penghasilanmu. Kasihan dia, tau sendiri kerjaan suaminya." Aku membujuk Deni.

"Ya sudah, aku beri dari jatahku saja. Untuk Niar tetap aku alokasikan tujuh juta, Bu."

Aku terbelalak, wanita itu dapat jatah banyak sekali. Sementara aku yang melahirkannya, hanya dapat tiga juta.

Aku tak rela Niar mendapatkannya. Aku memiliki rencana untuk mengambil uang itu. Toh, itu uang anakku juga. Walau uang itu ku ambil nanti, dia bebas memakan apapun di rumah ini.

Niar memberikan ATM-nya padaku. Aku tau, Deni mentransfer gajinya ke ATM Niar. 

Setelah aku cek saldonya, ada tujuh juta. Aku berpikir kemana dia simpan uang-uangnya sebelumnya? Lalu aku sisakan saja untuknya 500 ribu.

Ketika sampai rumah aku bertanya pada Niar tentang uang yang diberikan Deni selama ini.

"Dimana kamu menyimpannya, Niar?"

Dia tak menjawab. Aku memaksanya.

"Dimana?"

"Bang Deni yang pegang, Bu. Semua ada di tabungan khusus," jawabnya.

Aku tak tau bohong tidaknya dia. Kalau ku tanya Deni, nanti dia curiga padaku.

"Niar, Ibu harap semua menjadi rahasia kita. Ingat ancaman Ibu sebelumnya! Aku bisa membuatmu dibenci orang tua, saudara dan semua tetanggamu di kampungmu. Jadi, jangan sampai Deni tau tentang semua ini!"

Niar bergeming, tak ada jawaban dari mulutnya. Tatapannya juga kosong saat itu.

Hingga saat ini, Niar tak pernah membocorkan semua pada Deni. Rahasia kami aman. 

Aku bisa membeli aneka perhiasan dari uang itu, ku beri jatah untuk Ayu juga untuk menutup mulutnya.

Dalam pekerjaan rumah, Niar selalu mengerjakan dengan baik. Tapi ada saat dia menangis sendiri, kadang aku biarkan saja dia menangis. 

Namun, jika dia sudah keterlaluan diam di kamar, aku akan menegurnya. 

Aku tak suka jika di rumah ini terlu boros. Niar suka menyalakan lampu kamarnya saat siang. Itu pemborosan untukku. Makanya aku selalu menegurnya, ia tak pernah melakukannya lagi.

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar mertua zolim
goodnovel comment avatar
Rahmatun Nisa
jadi muak juga baca ceritanya, terlalu disiksa niar sama keluarga suami, jadi sebel juga lihat suaminya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status