Share

Bagian 4

"Bang, jangan suka sok pahlawan!" teriak Niar.

Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. Tapi dia berontak, tak mau ku sentuh.

"Dek, Sayang, istighfar. Kamu kalau ada masalah, ceritakan padaku. Aku siap menampungnya, Dek!"

Niar terus saja menangis. Tak lama dia bangkit, berusaha menghindar dariku.

"Dek, kamu bicara sama aku sekarang juga!"

Tiba-tiba Ibu datang mengatakan kalau Icha terjatuh dari tangga.

"Deni, tolong. Icha jatuh, Den!"

Aku berhambur ke luar. Kepala Icha berdarah, sepertinya lukanya dalam. Aku harus membawa Icha ke klinik terdekat.

"Siapa yang mau ikut?"

"Ibu saja!"

Tanpa pikir panjang, aku dan Ibu menuju ke klinik terdekat. Icha terus menangis. 

"Sabar ya, Cha. Insya Allah sebentar lagi sehat lagi kok!" hiburku pada Icha yang baru berusia tiga tahun.

Tibalah kami di klinik. Dokter segera mengambil tindakan. 

"Harus kami jahit, Pak. Lukanya lumayan dalam," katanya seperti yang diperkirakan. "Bapak atau Ibu pegangi ya, mungkin akan sakit buat anak Bapak!" kata Dokter memberi tahukan.

"Baik, Pak."

Kami memegangi Icha. Icha kesakitan saat dilakukan tindakan Dokter. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Icha segera sehat dan bisa tersenyum kembali.

"Sudah, Pak."

"Alhamdulillah." 

Aku membereskan administrasi dulu, sementara Icha dengan Ibu. Setelah selesai, kami dibolehkan pulang dengan beberapa resep obat.

Ketika di jalan, aku bertanya pada Ibu tentang kejadian jatuhnya Icha. Sementara Icha sudah tidur.

"Bu, bagaimana kejadiannya sampai bisa Icha jatuh di tangga gitu?"

Ibu terdiam sejenak untuk berpikir. Lalu ia pun menjawab pertanyaanku.

"Iya, Deni. Ceritanya tadi Ibu sedang bersama Icha, tiba-tiba aja dia jatuh di tangga."

"Ibu nggak perhatiin Icha sih?" bentakku.

"Deni! Kamu jangan bentak Ibu, dosa! Ibu nggak salah, yang salah Istrimu, tak mau mengasuh Icha. Mentang-mentang punya Farhan, jadi Icha dilupakan?" cecar Ibu.

"Ibu, selalu saja nyalahin Niar. Ibu harusnya paham kalau Istriku harus dibantu Ibu," kataku.

"Maksud kamu? Ibu jadi babunya Niar gitu?"

"Bukan gitu Bu, bantuin, bukan pembantu! Aku selama ini udah kasih Ibu tiga juta sebulan. Seenggaknya Ibu bantuin istriku, Bu!" Aku memohon dan mengiba pada Ibu.

"Kamu bahas uang yang kamu kasih. Memangnya kamu nggak ikhlas ngasih uang tiap bulan ke Ibu?" Ibu membulatkan matanya.

"Bukan begitu, Bu. Aku ikhlas kok. Aku cuma minta pengertian Ibu aja untuk membantu Istriku. Lagipula Niar juga mengerjakan pekerjaan di rumah kita seorang diri. Apa benar Ibu sering membantunya?" cecarku.

"Kamu tuh kenapa, Deni! Tega-teganya menghakimi Ibumu sendiri. Huhuhu." Ibu menangis tersedu. 

Aku jadi iba. Aku tak bermaksud membuatnya terluka, tapi, ah, sudahlah. Mungkin besok lagi aku bicara dengannya.

Kami tiba di rumah, aku menggendong putriku dengan kedua tangan ini menuju kamarnya. Di rumah ini ada banyak kamar. Jadi, Icha menempati kamar sendiri. Kalau kedua anak kakakku menempati satu kamar saja.

Setelah membaringkan Icha, aku kembali ke kamar. Badan ini rasanya remuk, capek tak tertahankan.

Niar sudah tidur, Farhan pun tidur di dalam box bayi. Walau sudah setahun, Farhan masih bisa ditidurkan dalam box.

Aku pun tertidur di sofa kamar kami karena itu lebih nyaman untuk saat ini.

***

Pagi ini semua sudah rapi, ku lihat Ibu yang sedang melakukan tugasnya hari ini. Ternyata aku salah. Benar kata ibu, mereka membuat jadwal bergantian setiap hari.

Ibu memberikan sebuah kertas padaku.

"Coba kamu perhatian2 jadwalnya? Apa ada nama Istrimu mengerjakan tugas-tugas ini semua setiap hari?"

Aku mengamati kertas ini. Kertasnya lusuh dan ada bekas tempelan juga. Terlihat kertas yang sudah lama. Tapi, aku tak pernah melihatnya di tempel di rumah ini.

"Ibu tempel dimana kertas ini? Istriku tak punya ini, kok!" kataku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun yang lalu itu.

"Ya wajar. Nggak Ibu kasih. Ibu menempelnya di kamar," jawab Ibu.

"Baiklah, Bu. Terima kasih penjelasannya."

Aku kembali ke kamar, Istriku kembali tidur setelah shalat subuh. Aku penasaran membangunkannya. 

"Dek, bangun. Jangan tidur lagi habis subuh!" kataku. "Kamu nggak langsung ke dapur hari ini?"

Niar menatapku dalam. Aku jadi grogi kalau ditatap seperti ini.

"Kenapa Sayang?"

"Aku libur kerjaan hari ini," katanya singkat.

"Berarti kamu bisa ikut jalan-jalan sama aku, Niar?" tanyaku.

Niar tak menjawab, ia kembali merebahkan dirinya di samping Farhan.

"Bagaimana, Dek?"

"Iya." Ia menjawab juga.

Aku sangat senang. Berarti Ibu benar. Sekarang aku percaya sama Ibu kalau ada jadwal tersendiri. Aku tak usah curiga lagi dengannya sekarang kalau Niar diperlakukan tak baik oleh mereka.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ibumu licik kamu yang gampang dibodohi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status