Share

2. Harus Memiliki

Menggunakan nama Bimo sebagai sebagai alasan, Rahee pun diberikan ijin pulang cepat pada keesokan harinya. Sekarang dia sudah menginjakan kaki di tempat yang Lia sebutkan, Yayasan Black Diamond. Black Diamond merupakan salah satu yayasan ternama di Jakarta. Para pejabat hingga penggiat dunia hiburan, sering memberikan dana yang ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus di sini.

Mobil-mobil mewah berjajar di halaman yayasan, dan ada beberapa pula yang baru tiba. Tunggu, bukankah itu Menteri Kesehatan? Jujur, Rahee payah apabila berkaitan dengan pengetahuan umum, hanya saja menteri tersebut pernah melakukan kunjungan ke rumah sakit tempat Bimo dirawat. Isunya kedatangannya sebatas mencari suara untuk pemilihan presiden tahun depan. Kampanye hitam, mungkin? Ah, entahlah itu bukan urusannya.

"Rahee! Kenapa kau baru datang sekarang?!" pekik Lia yang muncul dengan muka ditekuk. Jelas terlihat temannya ini sudah menunggu di luar gedung sejak tadi. "Kau kemana saja, hah? Bukankah kita janji bertemu dari tiga puluh menit yang lalu?!"

"Maaf, tadi kafe ramai sekali. Aku tidak mungkin membiarkan Mina dan Johnny kerepotan."

"Kau tetap sama, terlalu baik terhadap semua orang," Lia memutarkan matanya sebal. Sementara Rahee masih kikuk, mendapati tampilan Lia jauh berbeda dari yang dia temui tahun lalu. Bibir, payudara, bokong. Semua. "Kita dikejar waktu. Sekarang kau ikut denganku untuk berganti pakaian."

"Mengapa aku harus berganti pakaian?"

"Apa kau berharap akan mendapatkan pekerjaan dengan tampilan semengerikan ini? Mataku bahkan sakit melihatnya."

Menurunkan pandangannya pada diri sendiri, Rahee merasa dirinya rapih. Oke, apabila dibandingkan dengan Lia yang mengenakan dress ketat dan riasan makeup, Rahee memang terlihat kumal. Padahal jika saja dia mau sedikit berdandan, semua orang akan setuju bahwa seorang Rahee layak disandingkan dengan model papan atas.

"Ini... cukup baik," jawab Rahee. Kemeja putih+rok hitam di bawah lutut. Di mana letak kesalahan yang sampai membuat Lia sampai sakit mata?

"Jika kau masuk tanpa aku. Kau akan langsung ditendang oleh security."

Ya, separah itu penilaian Lia.

Rahee pun diseret paksa. Setelah melewati tiga kali pemeriksaan, mereka berjalan terburu-buru di lorong gedung. Rahee terheran. Apa semua yayasan semewah ini? Boleh dibilang dari luar Black Diamond tampak biasa, namun begitu masuk siapa pun akan bertaruh kalau mereka sedang ada di lobby hotel bintang lima.

"Buka bajumu," perintah Lia sesampainya mereka di toilet. Dia mengeluarkan isi paper bag diikuti teriakan hiteris. "Untuk apa kau masuk ke situ?! Buka bajumu di sini!"

Rahee yang hendak melangkahkan kaki ke salah satu bilik toilet, seketika membulatkan matanya, "Apa kau bercanda?"

"Kenapa? Kau ingin mengeluhkan privasimu padahal kau yang membuat kita terlambat? Begitu?"

Pun Rahee setuju. Dia sadar dirinya memang datang melewati waktu yang dijanjikan.

Dress berwarna merah kini sudah menempel sempurna di tubuh rampingnya. Rahee terus menggumamkan kata malu. Tentu, dress yang dipakainya memiliki belahan dada rendah dan potongan tinggi pada bagian kaki. Payudara dan bokongnya tercetak jelas. Seumur hidup belum pernah Rahee mempertontonkan lekuk tubuhnya seekstrem ini.

"Lia, apa kau tidak memiliki pakaian lain? Yang agak... tertutup misalnya?"

Lia yang tengah merias wajah Rahee mengalihkan pandangannya sebentar. Ada suatu perasaan bersalah yang sulit dijelaskan. Mereka sudah saling mengenal sejak SMA, dan di saat itu Rahee telah mati-matian mengobati biaya pengobatan Bimo. Kerja keras tujuh tahun Rahee membuat Lia muak. Sehingga Lia akan bantu Rahee sekalipun caranya keliru.

"Kalau kau menginginkan uang untuk biaya rumah sakit Bimo, sebaiknya kau menurut."

"Tapi,"

Lia memotong ucapannya, "Seperti aku dan ibuku, kau dan Bimo pun hanya tinggal memiliki satu sama lain. Jadi, cukup ingat kesembuhan adikmu. Kau bisa?"

"Iya, aku bisa," sejujurnya barusan Rahee hendak melontarkan jenis pekerjaan apa yang Lia tawarkan. Namun pernyataan Lia menjadikan hatinya tiba-tiba berkecamuk luar biasa. Benar, Rahee memang bisa melakukan pekerjaan apapun demi kesembuhan Bimo.

"Saat kita masih SMA kau cukup populer karena keahlian makeup-mu. Mengapa kau tidak mencobanya pada wajahmu sendiri?"

"Harga makeup semakin mahal," Rahee berujar polos, ikut tertawa pelan. "Lebih baik aku gunakan untuk klienku yang jelas-jelas menghasilkan uang."

"Pemikiranmu kuno sekali. Rupanya kau belum menyadari kalau wajah dan tubuhmu dapat mendatangkan banyak keuntungan," dirasa keceplosan, Lia segera mengganti mengganti topik pembicaraannya. "Akhirnya, selesai! Ini nomor urutmu, pakai di bagian dada."

Menurut, Rahee melirik pantulan cermin sekali lagi sembari memakai pin angka sembilan. Matanya mengerjap tak percaya. Apakah itu betulan dirinya? Sungguh, Rahee merasa asing. Seolah-olah ada sisi lain yang baru terbangun dari tidur panjang setelah 22 tahun lamanya.

-------

Sean Ivano, biasa disebut Sean, memiliki visual tak terbantahkan. Banyak yang bilang jika dia merupakan perwujudan dari keturunan Dewa Yunani. Sebagian lagi meyakini Tuhan sedang dalam suasana hati yang baik ketika menciptakan pria tersebut. Pria berpostur 185 cm itu memiliki hidung mancung, kulit putih pucat, dan rahang tegas nan tajam. Kedua alis tebalnya bahkan sudah menukik sempurna tanpa perlu polesan sedikit pun.

Sean merupakan satu dari empat pria yang tergabung dalam grup Band HEXID. Semua orang di Indonesia hingga Asia sibuk membicarakan mereka. Selain karena tampan, mereka juga memiliki segudang talenta. Tak salah jika mereka sangat digilai, termasuk seorang Sean Ivano yang pesonanya mampu memikat hati siapa saja.

Memang sempurnanya seseorang adalah suatu kemustahilan. Para penggemar boleh saja menilai Sean sebagai orang yang ramah, dermawan, dan berkelakuan baik. Sayangnya semua merupakan kepalsuan, dan Sean telah memakai topeng itu selama lima tahun dirinya berkarir. Sean memiliki prinsip bahwa dunia akan selamanya memutarinya. Dan itu jelas prinsip yang keliru.

Saat ini misalnya. Sean sedang menunjukan ketidaksempurnaannya dengan mendatangi sebuah tempat terkutuk.

"Sean, pergi dari sana sekarang! Jika kau ketahuan, aku akan dipecat!"

Terhadap teriakan itu, Sean menjauhi ponselnya dari telinga. Pria yang barusan memekik adalah Aditya Woruntu, manajer dari Sean. Aditya meracau bagaimana dirinya akan digantung oleh perusahaan, lalu dilanjut bicara mengenai anaknya yang baru lahir dan kemungkinan akan memiliki ayah berstatus pengangguran. Sementara Sean tengah memerhatikan para gadis yang berada di ruangan Yayasan Black Diamond dari layar televisi.

"Black Diamond memang masih menjadi rahasia rapat, tapi tidak menutup kemungkinan polisi akan segera tahu," ujar Aditya.

"Pikirkanlah. Jika pejabat berada di sini dengan tenang, itu artinya polisi sudah diberi suap. Kau harus lebih pintar jika berniat membujukku."

"Tetap saja. Pikirkan kemungkinan terburuk. Kau ingin karirmu hancur, Sean Ivano?"

Sean tertawa keras-keras di paviliunnya. Demikianlah transaksi 'lelang amal' di Yayasan Black Diamond. Para 'investor' ditempatkan pada paviliun masing-masing, sehingga mereka dapat bermain aman.

"Bukankah kau selalu membereskan semua masalahku?"

Itu benar. Aditya yang selalu dibuat berurusan dengan polisi, gadis-gadis one night stand-nya Sean, dan haters yang nyaris mengekspos kelakuan asli Sean di sosial media. Beruntung Aditya cepat tanggap. Setiap hari, Aditya dipastikan membawa cek, materai, dan dokumen sebagai pernyataan tutup mulut.

"Ingat, Sean. Kau tidak selamanya berada di atas. Roda akan berputar dan jangan sampai suatu hari kau menyesal."

Sean terkekeh, muak terhadap segala nasehat Aditya, "C'mon, bersantailah sedikit."

Aditya hampir melemparkan ponselnya ke lantai. Bersantai?! Setiap hari dia stres memikirkan kelakuan apalagi yang akan Sean perbuat. Dan malam ini merupakan puncaknya. Bagaimana apabila kedok Yayasan Black Diamond terungkap dan Sean ketahuan berada di sana?

Black Diamond adalah tempat pelacuran khusus bagi para gadis yang memiliki latar belakang di dunia hiburan. Kebanyakan dari mereka berusia 20-an awal dengan paras sangat cantik, namun mereka kalah bersaing dengan pendatang-pendatang baru yang lebih berbakat. Tak mau hidup nelangsa, mereka akhirnya memilih menjual diri pada kaum elite. Secara tidak langsung Black Diamond dapat disebut sebagai tempat pelacuran kelas atas.

"Sialan, aku membuang-buang waktuku! Mereka tidak ada yang menarik," keluh Sean.

Sean merasa ditipu oleh Erza Gerald, rekannya. Seharusnya ekspetasinya tidak terlalu tinggi mengingat selera mereka berbeda jauh. Sean bersumpah ini akan jadi pertama dan terakhir kalinya dia mendatangi Black Diamond. Bagi Sean, Black Diamond gagal membuktikan sebagai tempat pelacuran elite. Semua membosankan!

Begitu Sean berniat beranjak pergi dari paviliun, dua gadis terakhir muncul di layar. Salah satu dari keduanya berhasil menjadikannya berdiam diri di tempat. Dia menyeringai puas, yang mana itu jarang sekali terjadi. Tanpa ragu Sean langsung menekan angka sembilan, memilih gadisnya.

"I found my girl for tonight."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status