Share

Trapped By The Devil
Trapped By The Devil
Penulis: Diandra

1. Awal yang Keliru

Angelia Rahee dibuat terkejut sesaat kembali ke kamar inap Bimo. Bimo yang tak lain adalah adik satu-satunya, tengah mengacaukan wajahnya sendiri menggunakan kuas eyeshadow. Koper makeup milik Rahee digeledah oleh Bimo untuk dia aplikasikan sendiri. Alhasil kini Bimo terlihat persis seperti badut. Oh astaga, tawa gadis berparas cantik itu nyaris meledak.

"Apa hari ini ada yang istimewa?" tanya Rahee.

Bimo menyodorkan ponselnya yang sedang memutarkan video musik sebuah band. Band tersebut mengenakan riasan yang menyerupai konsep monster. Kenapa menyeramkan sekali?

"Band ini hebat, kan?"

"Mereka siapa?" mata Rahee menyipit pada layar ponsel, penasaran.

"Mereka adalah HEXID! Band paling populer di Indonesia! Oh, tidak, tidak. Aku yakin mereka juga terkenal di luar negeri."

Bimo sekarang menjelaskan satu per satu nama dari personel HEXID. Jujur Rahee pening, sebab Bimo turut menggerakan kedua tangannya seperti memainkan drum khayalan. Dan ya, pria panutan adiknya adalah seorang drumer berkulit putih pucat yang lumayan tampan. Garis bawahi, jika bagi Rahee lumayan tampan maka artinya wajah pria itu berada di atas rata-rata. Rahee terlalu kaku dengan pria, sehingga mengakui ketampanan seseorang saja dia enggan.

"Kau ingin jadi drumer?"

Bimo menjerit antusias, "Iya! Tapi... apakah bisa?"

"Tentu, kau itu pintar seperti aku," puji Rahee sekaligus memuji dirinya sendiri. "Maka dari itu kau harus cepat sembuh. Nanti aku akan carikan tempat kursus musik terbaik. Kau mau?"

"Mau! Terima kasih, kak!" pekiknya senang. Panggilan 'kak' dari Bimo sangatlah jarang terdengar. Terucap jika Bimo sedang menginginkan sesuatu atau permintaannya dituruti, misalnya saja barusan.

Pun Rahee mendengarkan Bimo berceloteh seraya membersikan wajah itu dari coretan eyeshadow. Hari ini Rahee memang sengaja membawa koper makeup, karena dia akan mendandani temannya yang akan bertunangan. Pekerjaan Rahee bukan satu dua, mengingat dia perlu uang ekstra guna biaya berobat Bimo, jadilah dia memiliki segudang pekerjaan. Beruntung lelahnya terbayarkan melihat Bimo mulai bersemangat.

"Kau tahu tidak?" tanya Bimo, membuyarkan lamunan Rahee.

"Tentu saja tidak. Aku bukan peramal jika kau lupa."

"Huh, menyebalkan."

"Aku bercanda. Ada apa memangnya? Ayo, ceritakan padaku."

Bimo tersenyum kecil, "Hmmm aku rasa berhenti sekolah adalah ide yang tepat. Maksudku, akibat penyakitku aku bisa menemukan cita-citaku. Bukankah di jaman sekarang sulit menemukan passion di umur 10 tahun?"

Koreksi. Bukan berhenti sekolah, lebih tepatnya Bimo dikeluarkan. Pihak sekolah kewalahan karena Bimo terlalu sering absen lantaran penyakit kanker darahnya. Dua bulan ini adalah absen terpanjang Bimo. Dan Rahee sama sekali tidak bisa protes atas keputusan dari pihak sekolah.

"Aku bahkan baru menemukan cita-citaku ketika lulus SMA. Kau luar biasa, Bimo kecilku yang manis," Rahee menepuk-nepuk bokong itu usil. Tebakannya pun terjadi, yaitu Bimo berteriak kesal. Bimo paling tidak suka jika dirinya dianggap anak kecil.

"Aku sudah 10 tahun. Jangan memperlakukanku seperti itu."

Tigkah Bimo mengundang tawa para pasien lain. Ya, Bimo menempati kamar kelas III di Rumah Sakit Permata Kasih. Kamar ini baru terisi empat dari enam pasien yang kesemuanya begitu akrab.

"Makanlah ini, anakku yang dewasa. Makan yang banyak."

"Terima kasih, Bibi Miran," Bimo tersenyum lebar ketika Bibi Miran menyuapinya potongan apel.

"Paman Dio, memangnya ada orang dewasa yang masih disuapi? Bukankah hanya anak berumur 10 tahun saja?" Rahee kini bertanya pada pasien lain yang sedang menonton televisi. Dia adalah seorang pasien gagal ginjal.

"Iya, hanya anak berumur 10 tahun. Namanya Bimo kecilku yang manis," Paman Dio ikut menggoda.

"Bibi Miran... Lihatlah itu," rajuk Bimo.

"Sudah, sudah. Nanti kita tidak usah ajak mereka makan seafood."

"Di sini ada yang suka seafood juga loh," dukungan Paman Dio beralih.

Rahee menggerakan tangannya ke depan leher, seolah memberi ancaman, "Kita sudah berakhir, Paman. Tak ada lagi main catur di hari minggu bersamaku."

"Ah, cucuku!" teriak Paman Dio.

Semula Rahee berencara berpura-pura marah, namun gagal. Kualitas akting Paman Dio sungguh berlebihan. Akibatnya Rahee tertawa puas, lalu diikuti yang lainnya. Mereka memang sudah selayaknya keluarga walaupun terhitung baru saling kenal.

"Sungguh, aku akan merindukan pemandangan ini. Andai saja aku bisa sakit lebih lama," seorang pegawai pabrik yang mengalami kecelakaan kerja sudah diperbolehkan pulang besok justru bersedih.

"Hei, Mela! Kami semua di sini mati-matian ingin sehat, kau malah berbicara demikian. Jangan berani-berani kau datang ke sini lagi."

Bibi Miran tiba-tiba marah. Dari berita yang beredar Bibi Miran sudah dirawat hampir satu tahun. Jantungnya mengalami pembengkakan dan bertahan di rumah sakit adalah pilihan satu-satunya.

"Aku tidak boleh kemari lagi?" tanyanya kecewa.

"Maksudku kau jangan sampai sakit lagi. Kau harus lebih berhati-hati. Dan kau wajib mengunjungi kami tentu saja. Jangan lupakan kami."

Bibi Miran memeluk Mela, disusul Paman Dio dan Rahee. Mereka kompak terisak bersama. Lain halnya dengan Bimo yang melayangkan tatapan aneh.

Dasar, anak kecil! Batin Bimo.

Bibi Miran melambaikan tangannya ke arah Bimo, tanda yang diajak harus bergabung, "Sini Bimo kecil yang manis. Ayo, berikan kami pelukan."

"Ih, Bibi! Aku kan sudah dewasa!"

-----

Pukul 11 malam Rahee mengakhiri hari panjangnya. Jika diurutkan, pagi-pagi sekali Rahee sudah disibukan membuat donat untuk dititipkan ke warung dekat rumah, lalu dilanjut bekerja sebagai kasir mini market. Dan dari sore sampai malam dia menjadi pramusaji disebuah kafe. Sesekali dia juga mencari uang ekstra sebagai makeup artist persis seperti siang tadi.

Di tengah kesibukannya, Rahee selalu mengunjungi Bimo di rumah sakit. Sejujurnya dia ingin mempekerjakan lagi tetangganya untuk menjaga Bimo. Sayangnya keuangannya tidak memungkinkan. Dia perlu menghemat pengeluarannya sebisa mungkin.

Ketika Rahee keluar dari kafe tempatnya bekerja, dia meraih ponsel dari dalam tas. Bimo telah menerornya dengan banyak pesan.

Adikku:

-Sedang apa?

-Sudah makan belum?

-Aku sebenarnya malas bertanya, tapi kau tidak punya pacar terus. Jadi, aku khawatir kau akan lupa makan karena tidak ada yang memerhatikan.

-IH BALAS! Ψ(▸_ ◂✗)

-Jangan terlalu sibuk bekerja. Carilah pacar agar dia bisa mengajariku cara bermain drum.

Rahee heran. Kenapa Bimo sering menyuruhnya berpacaran? Dia bahkan tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri.

"Kau yakin tidak mau bergabung?"

Mina, karyawan kafe yang akrab dengannya bertanya untuk kesekian kali. Rahee ragu jika masih memiliki energi tersisa. Selain itu, dia lebih merindukan ranjang kecilnya ketimbang mengisi perut.

"Ayolah ikut kami. Ayo! Ayo! Ayo!" timpal Johnny, pria yang cerewetnya mengalahkan Rahee dan Mina. "Pasti membosankan jika hanya Mina. Ayolah."

Mina melotot, "Oh aku membosankan, begitu?"

"Astaga, masukkan lagi bola matamu. Aku bercanda, sayang."

"Menjauh dariku! Berani-beraninya kau memeluk gadis tercantik di Jakarta."

"Seingatku kau lahir dan besar di Bandung," celetuk Johnny.

"Jadi, menurutmu aku tidak cantik? Apa itu maksudmu?"

Rahee sering disuguhi pemandangan semacam ini. Entah mereka sadari atau tidak bahwa mereka berdua kelewat serasi.

"Lain kali saja. Hari ini aku akan langsung pulang," ujar Rahee menengahi perselisihan yang terjadi.

Mina mengangguk, "Kalau begitu beristirahatlah. Jangan terlalu sering melamun, oke?"

Selama perjalanan pulang, Rahee tersenyum miris atas ucapan Mina. Rahee sebenarnya tak mau melamun, namun itu terjadi di luar kendalinya. Banyak yang dia pikirkan, terlebih lagi mengenai tagihan rumah sakit Bimo untuk minggu ini. Angka yang tertera mengerikan. Padahal Rahee sudah melakukan banyak pekerjaan, tapi tetap saja semuanya terasa nol besar.

Dengan ragu, Rahee membaca ulang pesan I*******m dari Lia. Dulu Lia sempat bekerja di kafe bersama dirinya, Mina, dan Johnny. Bisa dibilang keadaan ekonomi dirinya dan Lia sebanding. Namun seusai berhenti bekerja dari kafe, dia menghilang cukup lama dan mendadak muncul dengan kesuksesan luar biasa. Entahlah apa pekerjaan Lia sekarang. Media sosialnya hanya diisi dengan foto liburan diberbagai negara. Ah, betapa menyenangkannya hidup seperti itu.

Lia:

-Bagaimana kabarmu? Apa Bimo masih sakit?

-Jika kau berminat bekerja denganku, hubungi aku di: 02999886511

-Aku akan membantumu dengan senang hati.

Isi pesan Lia terus berputar. Sebelumnya Rahee cukup ceroboh, karena menyukai salah satu foto Lia, lalu berlanjutlah Lia mengirimkannya pesan. Itu memang memalukan, tapi apabila berkaitan dengan uang, rasa malu Rahee selalu berhasil menguap. Perawatan Bimo butuh biaya tidak sedikit. Bimo hanya memiliki Rahee, begitupun sebaliknya. Jika bukan dia, memangnya siapa lagi yang akan turun tangan?

Membulatkan tekad, Rahee akhirnya menghubungi nomor tersebut.

"Lia, ini aku Rahee. Kau sungguh bisa memberikanku pekerjaan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status