"Minggu depan HEXID akan memulai tur Asia. Kau harus ikut bersama kami selama satu bulan penuh."
Perkataan Aditya berhasil membuat Rahee yang sedang minum tersedak. Kerongkongannya kering sejak manajer dari Sean datang menjemput. Dan sekarang mereka sudah tiba disebuah rumah mewah. Rumah mewah milik Sean lebih tepatnya.
"Jika aku ikut, bagaimana dengan adikku?"
Aditya memijat kepalanya, paham. Kemarin saat dia memindahkan Bimo ke kamar VIP, dia tahu bahwa adik dari Rahee memang sedang sakit parah. Namun Aditya harus membuat Rahee bersedia ikut tur Asia. Akan melelahkan jika dia mencari gadis berbeda di setiap negara sebagai teman tidur Sean. Oh, barusan memang terdengar sangat egois, tapi sejak kehadiran Rahee, Aditya bisa sedikit bernafas lantaran Sean hanya terpaku pada gadis ini saja. Sisi baik lainnya adalah untuk sementara waktu karir Sean akan aman dari urusan wanita. Rahee benar-benar telah menyelamatkan banyak nyawa.
"Apa kau mau menggunakan jasa perawat pribadi?" Aditya memberikan saran.
Rahee menggigit bibir bawahnya ragu, "Itu terdengar bagus, tapi aku tetap tidak bisa meninggalkan Bimo selama satu bulan berturut-turut. Aku takut jika terjadi sesuatu yang buruk dengannya."
"Kau terlalu banyak memiliki ketakutan."
Pemilik suara barusan adalah Sean Ivano.
Sean menuruni anak tangga sambil memegang segelas alkohol. Dia memerhatikan tajam Rahee yang tengah duduk resah di sofa. Air putih yang sempat diminum Rahee berhasil membasahi kaus gadis itu. Apa ini taktik Rahee untuk menggoda dirinya?
"Aditya, kau bisa pergi sekarang."
Rahee ikut berdiri meniru Aditya. Gadis ini menolak ditinggal sendirian bersama Sean, walau dia tak dapat mengelak jika tujuannya kemari yaitu sebagai pemuas nafsu pria tersebut. Tapi jangan lupakan fakta bahwa Rahee tak pernah menginginkan ini. Dia terjebak oleh permainan Sean.
"Apa kau bodoh, Angelia Rahee? Kau tetap di sini bersamaku."
"Tenang saja. Sean tidak sejahat itu," ujar Aditya seraya meremas bahu Rahee.
"Don't touch her, Aditya. She is mine."
Aditya terkekeh geli. Padahal Sean tahu kalau Aditya adalah tipe pria yang menyayangi keluarga. Terlebih lagi dia sudah memiliki anak. Tak ada rasa tertarik pada gadis lain, dia hanya menunjukan simpati.
"Ingat, Sean. Besok siang kau ada jadwal latihan dengan anak-anak."
Sean menyilangkan kaki di sofa, mengabaikan ucapan manajernya yang akhirnya pergi. Sean menyesap alkoholnya, lebih tertarik menilik tubuh Rahee yang demi Tuhan sangat menggoda. Padahal Rahee memakai pakaian tertutup, kaus lengan panjang dan celana jeans, namun mata Sean tetap saja jelalatan.
"You have got such a nice ass."
Rahee sontak memundurkan langkah, sebelum melarikan telapak tangannya guna menutupi area bokong. Sean tersenyum tipis atas respon yang dia terima. Padahal mereka sudah pernah tidur bersama, kenapa masih tetap malu-malu?
"Bimo membutuhkanku. Aku tidak bisa ikut tur denganmu."
Sean bangun dari duduknya dan menghampiri Rahee yang terus menunduk. Dia membelai rambut panjang itu, kemudian menariknya kuat-kuat hingga Rahee akhirnya mendongak, "Aku juga membutuhkanmu. Aku membutuhkan tubuhmu."
"Tidak bisakah kau memberikanku kelonggaran? Aku mohon," sekilas Rahee memejamkan matanya menahan sakit. Dia yakin rambutnya sudah tercabut banyak.
"Kenapa hari ini kau terlihat lemah? Padahal kemarin kau membentakku dengan mata yang menyalak marah," Rahee bungkam. Mustahil dia akan melawan ketika Bimo berkali-kali bilang kalau dia menyukai kamar barunya. Kamar super mewah yang diberikan oleh Sean bajingan Ivano. Secara mengejutkan Sean mendorong tubuh Rahee hingga gadis tersebut tersungkur jatuh. Sean pun berjongkok, sebelum melemparkan plastik obat tepat ke pangkuan Rahee. "Minum pil ini dengan rutin. Jika kau melewatkannya apalagi sampai hamil, maka kau akan mati."
----
"Perkenalkan, saya adalah Angelia Rahee. Makeup artist untuk Sean Ivano."Rahee berusaha tersenyum ketika memperkenalkan diri di depan anggota HEXID. HEXID terdiri dari empat orang yaitu; Sean, Ezra, Lucas dan Mark.
"Tunggu, apa-apaan ini? Kenapa hanya Sean yang mendapatkan makeup artist terpisah?" kesal Ezra. Ya, sejak dulu HEXID sudah memiliki tim makeup artist bersama, dan perkenalan Rahee tentu mengejutkan.
"Di luar tur, jadwal pribadi Sean sedang penuh. Untuk sementara Rahee akan menangani Sean secara pribadi," jelas Aditya, kemudian dia sibuk membagikan es kopi untuk anggota HEXID dan ketiga manajer lainnya.
"It's okay. Aku tidak masalah," ujar Lucas santai sembari mengulurkan tangan pada Rahee. "Hei, aku adalah Lucas, anggota paling tampan diantara mereka. Senang bertemu denganmu, Rahee."
Dengan ragu Rahee balas menjabat, "Senang bertemu dengan anda."
Kali ini Mark bersuara, "Ku harap kau betah dengan si kulkas Sean."
"Kulkas?"
"Ya, Sean merupakan manusia kutub. Brrrr dingin sekali," balas Mark, berpura-pura menggigil. Jadilah ruangan meeting HEXID agak mencair karena terciptanya tawa jahil dari Lucas dan Mark. Rahee pun ikut tertawa, merasa terhibur.
Sean memutarkan matanya sembari acuh tak acuh bermain ponsel. Ah, ini semua adalah ide Aditya. Aditya menjadikan Rahee sebagai makeup artist untuk Sean. Akan jadi masalah jika teman-teman satu grup Sean tahu siapa Rahee sebenarnya.
Lucas melipatkan kedua tangannya di dada, bertanya, "Berapa umurmu? Kau terlihat muda dan cantik sekali."
"Usia saya 22 tahun."
"Jangan terlalu kaku, Rahee sayang. Santai, usia kita tidak berbeda jauh."
Sean melirik pada Lucas. Lucas memang seorang ekstrovert yang loyal dan senang berteman dengan siapa saja. Semua wanita bahkan tak segan dia panggil sayang. Namun Sean tak suka Lucas menyebut Rahee-nya dengan sebutan demikian. Rahee hanya miliknya.
"Apa kau fresh graduate?" Ezra kali ini penasaran. "Setahuku kau harus memiliki koneksi untuk bisa jadi staf di agensi kami, atau pengalaman setidaknya dua tahun. Kau memangnya lulusan kampus mana?"
Kampus? Tidak, Rahee belum pernah berkuliah. Itu selalu menjadi cita-cita terpendamnya yang sampai saat ini belum terealisasikan. Setelah Bimo sembuh, mungkin Rahee akan mulai menata ulang masa depannya.
"Aku tidak---"
"Angelia Rahee lulusan UI. Dia mendapat predikat cumlaude dengan IPK 3.90. Banyak perusahaan yang menginginkannya, tetapi dia memilih bekerja padaku. Sayangnya di sini dia harus meladeni basa-basi kalian semua," Sean memotong kalimat Rahee. Itu terdengar seperti fakta, padahal hanyalah karangan bebas.
"Wow, kau hari ini banyak bicara, Sean," Mark tertawa geli.
Sean pun menarik paksa tangan Rahee menuju pintu darurat. Tempat ini jarang dilalui oleh pekerja dimana agensi band Sean bernaung. Sean pun langsung mendorong tubuh Rahee ke dinding dan mencumbu bibir itu keras.
Nafas Rahee tercekat, sebab Sean juga meremas bokongnya. Dia mendorong paksa dada Sean. Ini gila! Dia sekarang benar-benar mirip gadis murahan. Sudah cukup Rahee membenci kondisinya, dan sekarang kenapa Sean harus menciumnya di tempat umum? Rahee semakin jijik pada dirinya sendiri.
"Apa semalam tidurmu nyenyak?" tanya Sean, lalu menggigit bibir bawah Rahee.
"Ya," jawabnya singkat. Sean menempatkannya pada kamar terpisah dan pria itu tak menyentuhnya usai memberi pil pencegah kehamilan. Rahee merasa bersyukur.
Suara ponsel Rahee memecah keintiman mereka. Bibi Miran? Kenapa Bibi Miran menghubunginya?
"Halo, Bibi Miran. Ada apa?"
"Rahee! Kau ada di mana? Bisa ke rumah sakit sekarang?" suara Bibi Miran terdengar panik. Ada apa ini?
"A-aku," nafas Rahee tertahan diakibatkan Sean yang mulai menjamah bagian lehernya.
"Pihak rumah sakit sejak tadi sulit menghubungimu. Jadi, bibi ikut membantu. Rahee, kau bisa dengar bibi?"
"Bagaimana, bi?"
"Kondisi Bimo tiba-tiba saja kritis. Bisa kau secepatnya kemari?"
Apa?! Bagaimana bisa? Padahal kemarin Bimo masih baik-baik saja. Dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri dari sentuhan Sean.
"Apalagi sekarang, Angelia Rahee?! Atas alasan apalagi kau ingin membangkangku?!'
"Aku harus pergi. Bimo tiba-tiba kritis," cepat-cepat Rahee merapihkan pakaiannya. Pikirannya kosong dan yang dia harap hanyalah keselamatan adiknya.
"Tidak ku izinkan," tolak Sean.
"Aku akan tetap pergi dengan atau tanpa seizinmu."
Pergelangan tangan Rahee ditarik membuat mereka saling bertatapan, "Kau jelas tahu risiko jika kau memaksa pergi. Aku akan menghukummu dan aku tidak akan memberikanmu sepeser pun uang."
"Aku tidak peduli."
"Dasar, wanita murahan!"
"Aku memang wanita murahan, kau tidak perlu terlalu sering memperingatkanku," Rahee tertawa getir. Dia mulai terbiasa dengan berbagai istilah kasar yang Sean sematkan padanya. Dan dia tak akan mengelak lagi. "Jadi, bisakah kau membiarkan wanita murahan ini pergi untuk menemui adiknya di rumah sakit?"
Mata Sean masih membelak tanda kesal, namun genggamannya pada tangan Rahee perlahan terlepas.
Rahee pun menyenggol pundak kokoh Sean. Dia membuka pintu darurat dan berlari secepat mungkin. Masa bodoh dengan si brengsek Sean ataupun hukuman yang akan dia terima nanti. Untuk sekarang Rahee hanya memikirkan keselamatan Bimo. Jangan sampai ada sesuatu yang buruk menimpa Bimo. Rahee tidak akan biarkan itu terjadi.
Dengan langkah panik Rahee berlari menuju lantai kamar inap Bimo. Pikirannya benar-benar berantakan. Bahkan dia hanya menangis selama perjalanan dari gedung agensi Sean hingga tiba di rumah sakit. Sementara Sean masih coba terus menghubunginya, namun Rahee lebih memilih mematikan ponselnya. Dia tak punya cukup tenaga untuk meladeni amarah pria itu.Pun di depan kamar Bimo, Rahee menemukan Bibi Miran dan Paman Dio. Keduanya terduduk di kursi sambil terlihat berdoa."Bibi Miran, bagaimana kondisi Bimo?""Perawat bilang Bimo sempat kejang. Kita harus menunggu di sini karena dokter masih berada di dalam," jawaban Bibi Miran membuat Rahee kembali terisak. Dadanya sesak memikirkan bahwa Bimo harus mengalami rasa sakit yang seakan tak pernah berakhir. Adiknya masih terlalu kecil. Kenapa bukan
"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee.Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga."Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.Diremaslah kertas te
Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.Sean merasa bersalah."Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan."Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di p
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi