Share

10. Ingin Diandalkan

Tiga hari berlalu.

Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk.

Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan.

"Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil.

Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee.

"Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah.

"Aku sudah memberikan perawat profesional untuk adikmu. Apa masih kurang?"

"Itu tidak sama. Bimo tetap butuh kehadiranku. Maksudku, aku adalah keluarganya."

Sean tergelak, mengejek, "Kalian bahkan bukan saudara kandung."

"K-kau tahu?" tanya Rahee dengan netra bergetar. Sebenarnya sudah seberapa dalam Sean mengorek informasi mengenai dirinya?

"Tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku. Tak satupun," jawab Sean sambil mengambil posisi duduk di depan televisi. Kedua kakinya turut naik ke atas meja. Sangat arogan. "Perasaanku sedang bagus hari ini. Mungkin aku bisa berubah pikiran jika kau memberikan tawaran yang sebanding."

Tanpa berpikir dua kali, Rahee berlutut di lantai, "Apapun. Aku bisa melakukan apapun asalakan aku dapat bertemu Bimo."

Seringain muncul pada wajah tampan itu, "Kau yakin?"

Rahee mengangguk. Bimo sore ini akan menjalani kemoterapi. Jadi Rahee merasa sanggup melakukan apa saja, sepanjang dapat menemani adiknya di rumah sakit.

"Nyalakan air pada bathtub. Buat airnya cukup hangat. Ah, dan taruh lilin aromaterapi beraroma citrus."

Secepat kilat Rahee kerjakan permintaan Sean. Sesudahnya dari kamar mandi, dia kembali dengan berlari kecil, "Sudah semua. Sekarang aku akan pergi ke---"

Hentakan tangan Sean yang hanya sepersekian detik membuat Rahee terkejut. Badannya limbung, dan jatuh tepat dalam pelukan Sean. Segera Rahee menarik diri, namun pria ini tak mengizinkan, justru rangkulannya kian erat, "Siapa yang menyuruhmu pergi?"

"A-aku sudah melakukan yang kau minta. Airnya sudah cukup hangat, dan kau bisa mandi," jawab Rahee tanpa berani menatap mata Sean.

Ibu jari menyentuh bibir Rahee, lalu menekannya, "Bukan aku, tapi kita."

"S-sean, aku," Rahee kehilangan kata-kata. Seharusnya dia dapat berpikir cepat kalau permintaan Sean pasti selalu berhubungan dengan tubuhnya. Sungguhlah Rahee bodoh.

"Buka pakaianmu dan tunggu aku di kamar mandi. Kita akan mandi bersama."

---

"Apa ada yang ingin kau makan? Atau kau ingin dibelikan sesuatu?"

Bimo menarik selimut, menutupi seluruh tubuh mungilnya dari ujung kepala hingga kaki. Ternyata rayuan Rahee gagal total. Jelas Bimo kesal karena sang kakak datang terlambat dan tidak menemaninya kemoterapi. Mari salahkan Sean di sini. Selain mandi, pria tersebut menuntut kegiatan lain yang membuat Rahee rasanya ingin mati.

"Perawat Wendy, terima kasih sudah menjaga Bimo untukku. Kau bisa pulang sekarang," Rahee beralih pada perawat yang berada di sampingnya, perawat pribadi yang Sean pekerjakan untuknya.

"Tapi saya diberikan pesan agar menjaga Bimo 24 jam penuh," jawab Perawat Wendy dengan mimik takut.

"Kau nampak lelah, beristirahatlah. Biar aku yang tidur di rumah sakit malam ini."

"Baiklah, saya akan kembali besok pagi. Kalau begitu saya pamit, Nona Rahee."

"Jangan panggil nona, cukup Rahee. Sepertinya kita juga seusia."

Perawat Wendy mengangguk setelah berpikir sebentar, lalu tersenyum hangat. Setelah perawat tersebut pergi, Rahee duduk dipinggiran kasur dan memeluk adiknya yang masih marah.

"Maafkan aku, Bimo kecilku. Pekerjaanku tadi sangat banyak dan tidak bisa ditunda," Jelas Rahee getir, lantaran konteks pekerjaannya adalah melayani si bajingan Sean.

"Pergi. Aku tidak mau bertemu denganmu."

"Tapi aku ingin bertemu dan melihat wajah tampan adikku ini," rayu Rahee.

"Kau sudah ingkar janji. Aku benci pembohong."

Rahee membelai kepala sang adik yang masih tertutupi selimut tentunya, "Jika yang kau maksud adalah aku tidak menemanimu hari ini, aku minta maaf."

"Kakak juga bohong mengenai hal lain. Katanya akan memindahkanku ke kamar sebelumnya bersama Bibi Miran dan Paman Dio. Lalu kenapa aku masih di sini? Kenapa juga sampai menyewa perawat pribadi?"

"Kamar yang bagus akan membuat dirimu nyaman dan cepat sembuh. Bukankah kau mau cepat belajar bermain drum?" bujuk Rahee, ingat Bimo terakhir kali tengah tertarik pada alat musik drum. "Selain itu perawat Wendy adalah orang yang baik. Dia akan menjagamu selagi aku tidak ada."

Hening.

"Apa artinya kakak akan jarang mengunjungiku?"

Rahee merapatkan bibir, dan ulu hatinya terasa sakit. Nalar Bimo kuat, dia begitu pintar menafsirkan keadaan sekitar.

"Aku ada pekerjaan di luar negeri sekitar satu bulan, tapi akan ku usahakan pulang secepatnya," sebenarnya sulit bukan main meninggalkan Bimo. Kondisi Bimo sedang tidak stabil, dan akhir-akhir ini sering sekali drop. Namun bagaimanapun juga Rahee harus menemani Sean tur Asia bersama band HEXID. Oh, kebencian Rahee tak lagi terbendung untuk Sean, tapi dia sungguh butuh uang agar pengobatan adiknya tetap terjamin. Ya, Sean selalu memberikan yang terbaik untuk Bimo, dan Rahee sadar betul fakta tersebut. "Kau paham cara menggunakan video call, kan? Nanti aku juga akan sering mengirimimu pesan. Jadi jangan abaikan pesanku."

Bimo tak merespon.

Di saat kebingungan melanda, pintu kamar terbuka. Pria berjas dokter hadir, Bayu Sasono ada sini dan langsung menyapa si mantan kekasih.

"Rahee, bagaimana kabarmu? Sudah tiga hari kau tidak kemari," sapa Bayu ramah.

"Kabarku baik. Terima kasih sudah mengkemo adikku yang cerewet ini."

"Itu sudah menjadi tugasku," Bayu tertawa hingga matanya menyipit, kemudian pandangannya beralih pada sosok yang masih tertutupi selimut putih polos khas rumah sakit. "Bimo, bagaimana perasaanmu sekarang? Apa ada mual atau pusing?"

"Aku baik, dok," jawab Bimo tanpa berniat menunjukan wajahnya.

"Obatmu sudah diminum semua?"

"Sudah."

"Pintar. Jangan sampai lupa dan pastikan mengkonsumsinya tepat waktu," Bayu pun memutar pandangannya pada Rahee. Dibalik senyum tipis itu, mantan kekasihnya ini nampak lelah dan sedih. Gurat yang sama sejak bertemu lagi dengan Rahee setelah bertahun-tahun lamanya -seperti sedang menyembunyikan beban besar. Padahal dulu Rahee adalah sosok periang. "Bisa kita bicara di luar? Ada yang ingin aku sampaikan."

"Tentu," angguk Rahee. "Bimo, aku akan bicara dengan doktermu. Tunggu sebentar."

Untuk ke dua kalinya Rahee merasa dejavu. Terakhir dia berbincang dengan Bayu di kursi tepat di depan kamar Bimo, lalu Sean entah darimana muncul seperti sosok iblis, dan langsung menciumnya. Memalukan.

"Rahee, aku ingin bertanya. Apa Bimo rutin mengkonsumsi obat?"

Bayu membuka percakapan yang seketika menjadikan Rahee mengerjap heran. Apa maksudnya?

"Bimo selalu meminum obatnya. Bahkan aku juga memasangkan alarm di ponselnya agar dia dapat minum tepat waktu," Rahee yakin Bimo selalu melakukannya. Yakin sekali. Namun kenapa Bayu bertanya demikian? "Apa ada sesuatu?"

"Riwayat kemoterapi Bimo oleh dokter sebelumnya selalu bagus. Namun kali ini dia mengalami mimisan dan muntah. Dan hasil MRI scan pada ginjalnya bersih. Terlalu bersih untuk pasien yang tidak dapat lepas dari ketergantungan obat. Bimo seperti tidak pernah mengkonsumsi obat yang kami berikan." Refleks Rahee bangun dari duduknya. Kemarahan tersirat jelas, dan Bayu langsung menahan bahu tersebut. "Jangan bicara sekarang apalagi sampai memarahi Bimo. Dia masih kelelahan pasca kemoterapi."

"Tidak, aku perlu bertanya langsung. Dan astaga, aku yakin hasil MRI-mu keliru," pekik Rahee emosi. Dadanya begemuruh nyeri, dan air matanya terkumpul di pelupuk mata. "Bimo tahu berapa banyak pekerjaan yang aku ambil demi kesembuhannya. Adikku tidak mungkin melakukan hal tersebut. Dia menyayangiku."

"Walau kecil kemungkinan kekeliruan seperti yang kau sebutkan, tapi ini memang belum 100% benar. Bisa jadi ginjal Bimo kuat, dan aku yang keliru. Berbagai kemungkinan selalu terbuka," Bayu meremas lembut bahu kurus Rahee. Tubuh tersebut terus bergetar. Ketakutan Rahee kentara, dan Bayu dapat memahami seluruhnya. "Tenang, Rahee. Tenang."

"Bayu... tolong katakan jika penilaianmu salah. Pasti salah."

Tanpa sadar, Bayu membawa Rahee lebih dekat pada dadanya, dan memberikan pelukan hangat. Di sisi lain Rahee mulai terisak. Jika perkataan Bayu benar, maka usahanya terasa sia-sia. Dia melakukan apa saja, termasuk menjadi pelacurnya Sean. Namun... kenapa adiknya tega melakukan semua ini?

"Biar aku yang bicara dengan Bimo. Aku akan lebih memerhatikannya, baik sebagai dokter maupun sebagai orang terdekatmu. Kau bisa mengandalkanku, Rahee."

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status