Share

9. Tersenyum Tanpa Sadar

Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.

Sean merasa bersalah.

"Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."

Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan.

"Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di pinggir ranjang, dia memilih mundur beberapa langkah, sengaja membuang pandangannya jauh-jauh dari Rahee.

"Kau terus memainkan jarimu setiap kali gugup. Dan jangan lupakan, aku sudah mengenalmu dari kau mulai belajar berjalan," memang, dokter Sharon merupakan dokter keluarga Sean. Usianya yang sudah memasuki kepala 5, membuatnya menganggap Sean sebagai anaknya sendiri. "Sebenarnya apa yang kau lakukan pada kekasihmu ini? Apa kalian bertengkar? Jangan lampiaskan kemarahanmu pada hubungan seks yang tidak sehat, Sean."

"Tidak, dia bahkan bukan kekasihku," Sharon menggelengkan kepala. Tak paham lagi dengan pergaulan anak muda sekarang. Berpacaran dan melakukan seks saja sudah menyimpang, ini bahkan tidak memiliki status sama sekali. "Kau masih mengingat sumpah dokter, bukan?"

"Tentu, aku tidak akan bicarakan ini dengan ayahmu," balas Dokter Sharon. "Berhubung kita bertemu, aku ingin bilang bahwa kesehatan ayahmu sedang buruk. Berkunjunglah sesekali. Beliau pasti akan senang melihat putra satu-satunya semakin tampan dan sukses."

Sean meremas kedua tangannya, benci setiap kali sesorang membahas mengenai ayahnya. Jadilah Sean berpura-pura tak dengar, kemudian segera mengalihkan pembicaraan, "Berikan resep obat itu kepada Aditya. Biar dia yang akan menebusnya ke apotek."

Usai Dokter Sharon memberikan secarik resep pada manajer Sean dan pergi, Sean mengusap wajahnya berulang kali. Fokusnya kembali pada gadis yang terkulai lemas di atas ranjang. Sean tadi memakaikan Rahee pakaian, dan tersadar ada luka lebam di tubuh indah itu. Tentu, semua adalah karena ulah Sean.

Ah, Sean segera menggelengkan kepalanya, berpikir bahwa ini bukan salahnya. Andai Rahee tidak arogan seperti tadi pagi, mungkin Sean pun tidak akan mengikat Rahee di ranjang maupun menyumpal mulut kecil itu. Mungkin juga Sean tak akan melakukan seks kasar. Bagi Sean, ini adalah salah Rahee atas semua sikap kurangajarnya.

Ya, Sean tidak salah apa pun.

"Agensi belum tahu mengenai ini. Sebaiknya kau pikirkan ulang lagi sebelum terlambat," ucap Aditya, memecah keheningan.

"Jika maksudmu adalah kontrak antara aku dan Rahee, maka itu tidak akan terjadi. Dia sudah menjadi milikku, dan aku tak melepaskannya. Tidak sekarang."

"Karir bermusikmu bisa hancur. Hancur."

"Justru kontrak itulah penyelamatku. Bukankah akan lebih mudah menutup mulut satu gadis dibandingkan aku meniduri gadis berbeda setiap malam?"

Benar.

Aditya memang awalnya setuju dengan ide gila Sean. Aditya mendapatkan kelonggaran karena tak perlu menutup mulut dari gadis-gadis yang ditiduri Sean. Pada tur Asia mendatang dia juga tak akan kesulitan mencari teman tidur Sean, karena ada Rahee yang akan siap melayani. Namun sisi baik Aditya tergoncang. Rahee baru tiga hari berada di rumah ini, tapi lihatlah gadis tersebut sudah pingsan akibat nafsu iblis Sean.

"Jika mustahil untuk membatalkan, setidaknya kau jangan terlalu kasar pada Rahee. Aku kasihan pada gadis itu, Sean."

"Aku tidak butuh pendapat, karena aku memiliki aturan mainku sendiri."

Pun Sean mengakhiri kalimatnya, lalu memasang earphone dengan acuh. Sekali lagi, Sean melirik Rahee sebelum berjalan keluar kamar.

---

Pukul 11 malam, saat rumah mewah Sean sunyi senyap, Rahee terbangun. Dia mengeluh nyeri. Entah kepala maupun kewanitaannya terasa sakit. Perlahan Rahee menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur. Netranya melihat sekeliling, dan tersadar bahwa dirinya belum mati. Tidak, ini bahkan lebih buruk dari kematian. Rahee masih berada di neraka milik Sean.

Ponsel Rahee yang berada di atas nakas bergetar. Nama Jeno muncul di layar.

"Kau ada di mana? Kenapa akhir-akhir ini sangat sulit dihubungi?" tanya Jeno, khawatir.

"Aku... menginap di rumah teman."

"Siapa namanya?"

"Teman kerjaku di cafe. Kau tidak akan tahu sekalipun aku sebutkan namanya."

Jeno menghela nafas lega, "Syukurlah. Ku pikir aku akan gila jika kau terus-menerus tidak mengangkat ponselmu."

"Almarhum kakakku bahkan tidak pernah sekhawatir kau."

"Maka dari itu dia menitipkan kau padaku. Aku akan selalu menjagamu, Rahee," jawaban Jeno berada di luar kepala Rahee. Jeno memang senantiasa ada untuk dirinya dan Bimo. "Besok kau akan ke rumah sakit, kan?"

"Iya, mungkin sekitar siang. Kenapa memangnya?"

"Baik, kita akan bertemu di sana."

"Untuk apa kau menemuiku?"

"Aku ingin bertemu adik iparku, bukan kau. Bimo terus menanyakan kapan aku menjenguknya lagi."

"Sepertinya aku harus memblokir nomormu lagi," cibir Rahee yang membuat Jeno tertawa terbahak-bahak.

Usai perbincangan singkat dengan Jeno, Rahee beranjak turun dari kasur. Astaga, kewanitaannya ngilu sekali. Jika dia tidak haus, mungkin Rahee akan memilih untuk kembali tidur. Dengan langkah pelan, Rahee melangkah dan akhirnya berhasil membuka pintu kamar. Akan tetapi dia terkejut begitu mendapati Sean ternyata sudah berdiri tepat di depannya.

Apa sejak tadi Sean mengawasinya?

"Kau begitu lemah, hingga jatuh pingsan hanya karena berhubungan seks. Mulai dari sekarang kau harus banyak berolahraga," Kata Sean sambil mengikis jarak. Kontan gadis tersebut bergerak mundur secara teratur. "Siapa yang menghubungimu barusan? Apakah dokter sialan yang kita temui kemarin?"

"Dokter sialan?" heran Rahee. Lalu teringat kemarin dia dan Sean berciuman di depan bayu. Sungguh memalukan. "Nama dokter itu adalah Bayu, bukan dokter sialan."

Sean tertawa mengejek, "Aku tidak peduli dengan namanya. Ayo, jawab pertanyaanku terlebih dahulu, Angelia Rahee."

Sejujurnya Rahee tak suka dengan fakta bahwa Sean menguping pembicaraannya, tapi pria di hadapannya mengerikan. Rahee tak mau pingsan untuk kedua kalinya. "Yang menghubungiku tadi adalah teman almarhum kakakku."

"Pria atau wanita?"

Dalam hati, Rahee bertanya-tanya. Apa Sean harus tahu juga? Dengan enggan Rahee menjawab, "Pria."

"Memang kau wanita rendahan. Banyak sekali pria di sekitarmu," umpatan kasar Sean merupakan makanan sehari-hari bagi Rahee, jadi dia hanya bisa diam. Saat Sean memajukan langkahnya, Rahee pikir dirinya akan dipukul. Tapi tiba-tiba Sean menarik tangan kurus itu untuk digenggam. "Ikuti aku."

Pikiran Rahee kembali berasumsi ngeri. Selama ini Sean memang tidak pernah menampar atau memukul dirinya, padahal Rahee sudah berkali-kali menampar pipi pria itu. Namun jangan lupakan seks kasar yang sering Sean lampiaskan. Itu sama buruknya dengan kekerasan secara fisik.

Rumah Sean berlantai 2 dengan desain futuristik minimalis. Kamar Rahee ada di lantai 2, tepat berhadapan dengan kamar Sean. Dan kini Sean tengah menariknya untuk menuruni anak tangga.

"Kita akan kemana?" tanya Rahee memberanikan diri.

"Tutup mulutmu dan jangan banyak bertanya."

Langkah mereka berakhir di dapur. Rahee menurut ketika Sean menyuruhnya untuk duduk di kursi meja makan. Pria bertubuh tinggi itu mulai menyalakan kompor dan memasak. Sesaat Rahee memerhatikan punggung kokoh Sean yang nampak cekatan dalam urusan dapur. Cukup lama keduanya saling diam, hanya terdengar dentingan alat masak yang sesekali beradu.

10 menit kemudian di depan Rahee sudah tersaji sepiring pasta bolognese. Sejujurnya cacing di perut Rahee tengah berdemo, tapi dia tak mau ambil resiko. Bagaimana jika Sean meracuninya?

"A-aku tidak lapar," tolak Rahee.

Sean yang duduk di depan Rahee memajukan wajahnya, "Jika kau tidak menyentuh piringmu, maka aku akan menyentuhmu sekarang juga."

Rahee menelan ludah.

Perlahan Rahee mau tidak mau meraih garpu dan mulai makan. Netranya sempat membelak lantaran pasta buatan Sean enak. Pun gadis itu lama-kelamaan menikmati, hingga gurat tertekannya hilang entah kemana. Sepiring pasta berhasil membuat Rahee lupa bahwa Sean masih di sini, memerhatikannya lekat dengan senyum tipis. Benar-benar tipis. Bahkan Sean juga tidak sadar bahwa dirinya dapat tersenyum kepada gadis selain Heredith Hera, kekasihnya.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status