Share

8. Heredith Hera

"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee. 

Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.

Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga.

"Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.

Diremaslah kertas tersebut sebelum dilemparkan pada wajah cantik itu, "Kau wanita sialan!"

Rahee yang masih mengenakan selimut guna menutupi tubuh polosnya, langsung mengepalkan tangan kesal. Sementara Sean pagi ini sudah rapih entah akan pergi kemana. Rahee tidak tahu dan tidak mau tahu. 

"Dan wanita sialan ini mempunyai kehidupannya sendiri. Aku tidak mau mati sia-sia karena kau."

"Kau semakin kurang ajar. Padahal aku sudah melakukan banyak hal untukmu," Sean menyentak rambut Rahee, membuat gadis itu mendongak lebih atas. "Asal kau tahu jika bukan karenaku, kau pasti sekarang sedang menangisi kematian adikmu."

Plak!

Rahee dengan segenap tenaga yang dia miliki langsung menampar pipi kanan Sean, sangat keras, sampai-sampai telapak tangannya panas dan sakit. Dari semua kalimat tajam yang pernah Sean lontarkan, barusan adalah sesuatu yang tidak bisa dia ditolerir lagi. Siapa Sean hingga berhak membahas kematian Bimo?!

"Sialan kau, Angelia Rahee!" pekik Sean marah.

"Kau yang akan terlebih dulu mati, bajingan! Kau!"

Histeris teriakan Rahee semakin menjadi saat Sean menyeret rambutnya dengan paksa. Wajah Rahee terbenam di atas ranjang, sementara kakinya berada di lantai. Seolah tidak ada puasnya, Sean pun meloloskan celananya dan kembali bermain bersama Rahee. Demi Tuhan, seluruh tubuh Rahee masih sakit, tapi Sean kian kuat menekan punggungnya, hingga tak ada yang dapat dia lakukan selain menjerit.

"B-bimo akan tetap hidup," lirih Rahee dengan pandangan kosong. "Bimo tidak boleh mati."

Seks mereka berlangsung cepat. Sean sebatas melampiaskan kekesalannya sebab Rahee dirasa semakin kurang ajar. Setelahnya Sean pun menggendong Rahee ke atas ranjang, kemudian mengikat kedua tangan kurus itu pada sisi ranjang. Tak berhenti di sana, Sean juga menyumpal mulut Rahee dengan sebuah celana dalam.

Rahee benar-benar membenci hidupnya.

"Saat aku pulang, sebaiknya kau sudah menyadari apa kesalahanmu."

----

Sean adalah musisi terkenal. Topi dan masker merupakan dua benda penting ketika dirinya pergi agar identitasnya selalu aman, termasuk saat dia mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Ada rasa bersalah ketika Sean menginjakan kaki di tempat ini. Beberapa waktu terakhir dia lupa dengan sosok Heredith Hera, kekasihnya. Semenjak kehadiran gadis bernama Angelia Rahee, pikiran Sean benar-benar tertuju pada gadis itu saja.

"Hera menolak makan sejak kemarin. Maafkan aku sampai harus memintamu datang."

Dokter Willy, 50 tahun, berbicara demikian sebelum meninggalkan Sean di taman belakang rumah sakit. Ya, tepat ketika Sean sedang memandangi wajah pulas Rahee, Dokter Willy menghubunginya. Kini Sean menatap lurus pada punggung familiar dari wanita yang dicintainya. Heredith Hera sedang duduk membelakanginya disebuah kursi taman.

"Kau kemari?" sapa Hera saat sadar seseorang mengambil tempat di sisinya.

"Iya, aku merindukanmu," balas Sean, tersenyum. Senyum Sean selama satu tahun tak pernah berbalas sebab wajah Hera selalu datar tanpa ekspresi. Padahal dulu gadis ini adalah gadis penuh semangat dan periang. Menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Hera, Sean kembali berucap, "Kenapa kau tidak mau makan sejak kemarin? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Penuh kasih dan kelembutan adalah sikap yang Sean tunjukan pada Hera seorang. Berbanding terbalik dengan perlakuan Sean kepada Hera.

"Aku sedang sedih," tutur Hera terisak.

"Kenapa? Ceritakan padaku."

Gadis berusia 24 tahun itu menunduk pada benda yang ada di pangkuannya. Boneka usang berbentuk bayi perempuan. Dibelailah lembut boneka itu seolah-olah itu adalah makhluk hidup. Memang, sudah satu tahun terakhir Hera sengaja diberikan sebuah benda sebagai penyalur rasa sedih akibat keguguran. Kehilangan mendalam membuat Hera stres berat.

"Clara demam tinggi. Bagaimana bisa aku sebagai ibunya memiliki nafsu makan ketika anakku sedang sakit?"

"Clara akan sembuh jika kau bersedia makan," ujar Sean.

Ah, Clara adalah nama yang diberikan Hera untuk boneka tersebut.

"Begitukah? Clara akan sembuh jika aku makan?"

Anggukan kepala diberikan Sean, "Aku akan menghubungi Dokter Willy untuk mempersiapkan sarapanmu."

Begitu Sean akan mengeluarkan ponselnya, tangan Hera terlebih dahulu bergerak guna menahan, "Kenapa? Kenapa kau selalu peduli? Bukankah aku sudah bilang agar kau belajar melepaskanku?"

Sean terdiam cukup lama. Berkali-kali sudah Hera meminta hal yang sama. Hera ingin Sean melepaskannya, tapi Sean tak pernah mau, "Apa maksudmu, sayang?"

"Jangan panggil aku demikian, Sean. Aku adalah perempuan iblis. Aku jahat," kata Hera dengan pandangan lurus ke depan. "Bagaimana jika kau melewatkan perempuan baik hanya karena kau bertahan di sisiku?"

"Hanya kau yang ku ingingkan, Hera. Berapa kali lagi harus ku katakan supaya kau percaya?" Sean pun menggenggam tangan Hera erat 

"Sebenarnya apa yang kau harapkan dariku? Aku... sudah mengkhianatimu," kata Hera, membuat Sean kembali teringat bagaimana hatinya sempat terluka. Padahal Sean sudah lupakan semua. Pengkhianatan Hera. Rasa kecewanya. Namun Hera seperti sengaja membahas kembali masalah yang sama. "Dosaku begitu besar..."

Hera dulu berselingkuh hingga hamil oleh pria lain, dan berakhir dengan keguguran. Bahkan setelah perselingkuhan itu, Sean masih mau menerima kembali Hera. Hera bukan sekedar sosok cinta pertama bagi Sean. Mereka sudah mengenal sejak usia 10 tahun. Mereka dulu sempat berada di posisi yang sama, hingga secara tidak sadar mereka terikat hingga dewasa. Sebesar itulah arti Heredith Hera bagi hidup Sean Ivano.

Lalu, bagaimana dengan Rahee?

Sean tak mau membahayakan karirnya apabila bermain dengan banyak wanita. Rahee dia pakai untuk menyalurkan kelainan hiperseksnya. Sean harus akui, biasanya dia mudah bosan, namun dengan Rahee dia selalu ingin lagi dan lagi. Jadi, mereka sebatas partner seks saja, tidak lebih. Cintanya tetap utuh untuk Hera seorang.

"Kau harus kembali ke dalam. Udara semakin dingin, dan itu tidak bagus untukmu." ujar Sean, mengalihkan topik pembicaraan.

"Tak apa, Sean. Clara suka di sini. Di kamar begitu pengap."

Hera memandangi lurus kolam air mancur di depan mereka. Sementara Sean dibuat betah menatap wajah cantik sang kekasih. Sekalipun Hera hanya mengenakan piyama rumah sakit, Sean selalu terpesona. Dia berjanji akan membuat Hera sembuh agar mereka bisa kembali bersama seperti dulu.

Di lain tempat Rahee berusaha melepaskan ikatan tangannya. Rahee merasa dia lebih rendah daripada pelacur. Fisik dan batinnya sengaja dibuat hancur, seolah-olah Sean ingin dirinya mati secara perlahan. Gerakan Rahee melemah seiring kepalanya berputar pening. Matanya semakin lama semakin berat. Tidak lama kemudian, dia berhenti mencoba membuka ikatan karena kesadarannya yang semakin menipis.

Ya, Rahee pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status