Share

Bab 1

Ini adalah cerita tentang diriku. Kisah kebahagiaan dan kesedihanku menutupi perasaanku. Menyembunyikan perasaanku padanya. Dia? Ya ... Dia. Orang yang selama ini membuatku terus berambisi, meski aku tahu itu semua sia-sia. Aku tidak pernah mau mempunyai perasaan seperti ini. Kenapa semuanya datang tiba-tiba? Kenapa dia harus dipilih? Dan beribu teka-teki tidak bisa aku jawab. Mungkin, aku yang sangat gampang untuk jatuh cinta. Ataupun barangkali juga aku yang terperdaya oleh pesonanya. Entah, kalau bisa memilah aku tidak mau rasa ini muncul.

Aku tidak tahu kapan pastinya aku mulai suka diam-diam memandangi dia, kapan aku mulai giat menulis kata-kata puitis yang isinya nama dia, kapan perasaan aneh itu terus mengganjal. Aku benar-benar terperdaya oleh perasaan tidak jelas ini. To be honest, kenyataannya aku tidak bisa bahagia dengan perasaan ini. Diam-diam takjub sama seseorang bukan hal yang menggembirakan. Bahkan kalau sebenarnya aku tahu orang itu sama sekali tidak peduli dengan diriku. Setiap jam aku selalu memikirkan cara buat melupakan dia, menghapus dia dari dalam pandanganku. But always fails. Aku tidak sanggup. Yang terjadi justru kebalikannya, makin hari aku makin memikirkan dia. Aku pedih untuk memikirkan kapan semua perasaan ini selesai. I am tired.

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari dia. Tapi asing, kenapa dia selalu ada di pikiranku? Berulang kali aku menepis perasaan itu, perasaan yang membuat aku semakin merasa tidak waras. Aku selalu berusaha memendam perasaanku. Aku tidak mau kalau orang-orang tahu aku suka sama dia. Aku sebenarnya bukan tipe orang yang jujur. Yang bisa gampang cerita ke siapa saja tentang perasaanku. Lebih baik diriku sendiri saja yang tahu. Mungkin lebih baik. Aku cemas kalau dia sampai tahu perasaanku, aku cemas dia akan benci sama aku. Dan aku tidak bisa lagi dengan bebas suka sama dia. Katakanlah aku bodoh, bilang saja aku pengecut atau umpatan lain yang memang cocok buatku. Biar saja, dengan begini aku sudah bahagia biarpun kadang menyakitkan.

Aku tidak berambisi apa-apa dari dia. Tidak masuk akal rasanya kalau aku berharap dia juga suka sama aku. Mengapa aku tahu, itu hal yang tidak bisa terjadi. Aku cuma ingin bisa pandangi dia, menyebutkan namanya dalam hati, dengar suaranya dan melihat senyumnya. Itu saja sudah sempurna. Aku tahu, semestinya aku berani melakukan apa pun itu karena aku sedang jatuh cinta. Sepatutnya aku tidak segan menunjukkan kalau aku suka dan takjub pada dia. Tapi? Tidak, aku tidak bisa. Lebih baik aku diam dan menyimpannya rapat-rapat.

"Ke kantin yuk!" Aku kaget, semua khayalanku berantakan.

"Belum lapar," ucapku malas. Agatha duduk tepat di depanku sambil mengunyah permen karet.

"Ayolah, bareng sama yang lain," Desak Agatha.

"Ya sudah ayo," ujarku.

Aku dan Agatha menuruni tangga dengan terburu-buru. Entah kenapa Nayla menyuruhku tergesa-gesa. "Kamu lihat deh, pemuda yang pakai kemeja merah. Namanya Ardian Adhlino Gavin, jabatannya jadi sekretaris Direktur Utama. Teman-temannya menjodohkan aku sama dia. Tampan bukan?" Tanya Agatha.

Tiba-tiba itu juga rasanya aku ingin nangis. Aku baru tahu rasanya sakit hati, rasanya cemburu sama sahabat sendiri. Mengapa mesti dia? Kenapa harus Ardian, orang yang semasa ini kusuka. Agatha menarik tanganku untuk mendekati meja Ardian dan teman-temannya. Sorakan menyambut kedatangan aku dan Agatha. Agatha cuma senyum-senyum. Aku tidak berani memandangi wajah Ardian. "Oh ya, kenalin ini Adelle temanku," Aku menjabat tangan mereka satu persatu, beberapa sudah aku kenal karena pernah berpartisipasi kerja bareng. Waktu menjabat tangan Ardian, rasanya semua badanku gemetaran. Aku merentangkan tangan dan disambut Ardian dengan acuh tak acuh, dia sibuk dengan handphonenya.

Selama rasanya aku tidak bisa bernafas. Aku duduk tidak bisa tenang, memandangi orang-orang yang ada di depanku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, pikiran dan hatiku lagi tidak sehati. Ardian duduk sejajar dengan aku, selang tiga kursi. Aku serba salah. "Es teh manis kan?" Tanya Agatha yang duduk di depan aku. Aku mengiyakan pelan. Baru kali ini aku merasa canggung.

Rasanya aku bisa menghitung detik-detik yang berjalan lambat. Aku tidak suka dengan suasana ini. Aku benci dengan teman-teman Ardian yang frontal menjodohkan Ardian dan dia. Aku iri. Aku terus mengaduk-aduk es teh manisku tanpa minat untuk diminum. Di kepalaku sudah dipenuhi bermacam-macam pikiran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status