Share

BAB 2 : PESTA PERPISAHAN

Naya telah berdiri di depan cermin selama lebih dari satu jam. Berkali-kali dia menghapus riasan diwajahnya dan memoleskannya kembali, setelah berkutat cukup lama dia akhirnya mengoleskan liptint berwarna merah muda di bibir mungilnya sebagai sentuhan akhir.

"Hmm, ini tidak mencolok 'kan? Terlihat menggunakan make up tapi masih natural."

Naya kembali menatap dirinya dalam pantulan cermin.

"Ah, andai saja masih ada Ami di sini, dia pasti akan membantuku hari ini"

Dia lalu memperhatikan kamar Ami yang telah kosong. Ami sudah kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu, namun Naya belum mau mencari teman serumah pengganti Ami. Selain karena Ami teman terdekat Naya, juga karena Naya sebenarnya tidak terlalu suka kehidupan privasinya terganggu oleh orang baru.

Naya menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya mengganti baju yang dikenakannya dengan sebuah dress berwarna biru. Setelah itu dia mengambil sebuah tas slempang berwarna coklat dan tersenyum sekilas saat memandangi isi di dalamnya.

Hari ini merupakan agenda terakhir tim BSL di Rumah sakit universitas tempat Naya magang selama beberapa bulan terakhir. Setelah ini mahasiswa kedokteran akan kembali ke kampus untuk melanjutkan kuliah profesi.

Oleh karena itu, Naya dan teman-temannya berencana mengadakan pesta perpisahan sebagai bentuk terima kasih mereka kepada tim rumah sakit yang sudah membantu mereka selama ini.

Di hari ini pula, Naya telah membulatkan tekadnya untuk menyatakan perasaannya kepada Tomoya, salah satu dokter spesialis dermatology  di Rumah sakit sekaligus koordinator kelompok tim Naya.

***

Acara perpisahan berjalan dengan sangat meriah. Semua orang tampak gembira dan bersenang-senang. Namun tidak bagi Naya, hingga saat ini dia belum bertemu dengan pria yang ditunggunya sejak tadi. Karena rumah sakit tidak boleh kosong, dokter residen dan spesialis hanya bisa menghadiri acara ini secara bergantian. Dan sialnya, Tomoya masih harus berjaga di Rumah sakit.

"Lanaya-san, kamu sudah bekerja keras selama ini! Tidak usah sungkan, ayo diminum!"

Erika, seorang wanita berkacamata yang merupakan salah satu dokter residen datang menghampiri Naya. Dia lalu menuangkan segelas sake dan memberikannya kepada Naya.

"Gomennasai Erika-senpai, saya tidak meminum sake," balas Naya dengan ekspresi bersalah.

"Sstttttttt~ aku tau kamu tidak minum minuman keras. Tapi khusus hari ini tidak boleh! Sudah menjadi tradisi di sini, kalau kamu harus meminum sake yang telah dituangkan pada acara perpisahan!"

Naya menelan ludah, biar bagaimanapun minuman keras adalah hal yang dilarang di negaranya. Dan itu seolah sudah menjadi kebudayaan yang mendarah daging di dalam diri Naya walaupun dia sekarang tidak berada di Indonesia.

"Ayo diminum! Sedikittttt sajaaa, ini sangat enak. Sungguh...,"

Muka Erika memerah, terlihat dengan jelas bahwa dia telah mabuk. Naya tidak ingin membuat keributan. Dia memegang gelas yang telah berisi sake dan berencana untuk berpura-pura meminumnya. Dia yakin Erika tidak akan sadar karena dia sedang mabuk.

"Hei, Erika-san! Meminum sake memang sudah menjadi tradisi di sini, tapi kita juga harus menghormati tradisi negara lain."

Suara familiar yang selama ini membuat jantungnya berdetak dengan cepat, terdengar oleh Naya. Dia segera menoleh dan mendapati Tomoya telah berada dibelakangnya.

Tomoya Watanabe, pria keturunan Jepang dengan lesung pipit dan mata sipitnya telah menarik perhatian Naya sejak pertama kali bertemu. Ditambah sikapnya yang selalu ramah pada Naya, sangat berbeda dengan kebanyakan pria Jepang lainnya.

"Dia sudah mabuk, kamu tidak usah menurutinya."

Naya mengangguk pelan. Tiba-tiba tangan Tomoya melingkari tubuh Naya dan mengambil segelas sake yang sedang dipegangnya. Tanpa aba-aba, pria itu langsung meneguk sake milik Naya.

Naya tersentak, tubuhnya seolah membeku. Dia bisa merasakan irama detak jantungnya yang berdetak lebih cepat.

"Tidak apa-apa 'kan aku minum? Sayang kalau dibuang." lanjut Tomoya santai.

Naya kembali mengangguk. Dia mencoba mengatur napasnya supaya detak jantungnya kembali normal.

"Tugas shift-nya sudah selesai, Tomoya-senpai?"

"Hari ini tidak begitu ramai, jadi aku bisa datang lebih cepat."

"Dan syukurlah kamu belum pulang," lanjut Tomoya.

Rona kemerahan kembali mencuat dipipi Naya. Ah, gagal sudah rencana Naya untuk membuat jantungnya kembali normal. Faktanya irama jantung Naya justru berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Tomoya lalu duduk di sebelah Naya, dia tampak memperhatikan gadis itu hingga membuat Naya cukup salah tingkah.

"Ada apa, senpai?"

"Maaf, aku bukan bermaksut tidak sopan. Hanya saja kamu.. Kamu tampak berbeda hari ini...,"

"Apa ada yang salah?"

Naya memperhatikan dress biru yang sedang dikenakannya. Dia biasanya memang hanya menggunakan pakaian kasual, namun dia pikir tidak salah juga memakai dress di pesta perpisahan.

"Tidak, bukan seperti itu. Kamu.. terlihat sangat cantik hari ini."

Tomoya berdeham pelan, dia lalu menyunggingkan sebuah senyuman kepada Naya.

'Ah, senyum itu lagi.' Naya membatin dalam hatinya.

Senyum yang telah menjadi candu bagi Naya. Naya sudah tidak sanggup menahannya lagi. Naya benar-benar menginginkan senyuman itu menjadi miliknya seutuhnya.

"Tomoya-senpai...,"

"Iya?"

"Apa kita bisa berbicara seben-"

"Tomoya!!!!!!"

Belum selesai berbicara, Hajime -salah satu dokter residen- datang dan merangkul Tomoya. 

"Wah, kamu sudah datang! Apa kamu tau, dokter-dokter residen sedang membicarakan kamu. Ayo kita ke sana!"

"Hajime-kun, saat ini aku sedang berbicara dengan Naya. Kamu pergi saja duluan, nanti aku menyusul."

Tomoya melepaskan tangan Hajime dan mendorongnya pelan.

"Tunggu! Tunggu! Lanaya-san, apa kamu tau gosip terbaru? Tomoya akan bertunangan dengan putri direktur rumah sakit! Wah, kamu pasti tidak menyangka juga bukan?!"

DEG!

Naya tertegun mendengar perkataan Hajime.

Tomoya?! Bertunangan?!!!

Note :

Gomennasai : Maaf.

Senpai : senior.

Sake : minuman keras khas Jepang hasil fermentasi air beras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status