Hari itu beberapa keanehan muncul sejak Lock membuka mata.
Ia bangun di apartemen kecilnya yang lusuh dan gelap, mendapati seekor burung masuk ke dalam kamarnya dan mengacak-ngacak pakaiannya yang sedang dijemur. Dia mengamati burung itu membuang kotoran di bajunya sembari bersandar di ambang pintu. Si burung mengamatinya balik tanpa rasa takut, seolah mengejeknya.
“Haah,” Lock mendesah dan mengusap rambut coklatnya yang berantakan. “Aku berharap kau bisa berkunjung baik-baik dan tidak membuang kotoran di bajuku.”
Si burung putih bercuit ribut sambil mengepakan sayap seolah tidak setuju. Detik berikutnya, dia mengotori pakaian Lock yang lain. Lock hanya menunduk sedikit melihat itu dan menghela nafas panjang. Burung putih itu sepertinya memiliki hobi untuk selalu mengacaukan tempat tinggalnya yang sudah berantakan.
Lock beranjak dan membuka jendela lebar-lebar. “Kenapa kau tidak membuang kotoranmu di baju bibi sebelah saja?” gumamnya. “Aku akan memberimu makan jika kau melakukan itu.”
Burung putih itu terbang keluar setelah berkicau lebih ribut lagi. Dia meninggalkan apartemen Lock yang suram dan terbang dengan bebas di udara. Lock memandangi burung itu selama beberapa saat sebelum berbalik menghadapi kekacauan di depannya. Tanpa bersuara, dia membereskan pakaian kotornya, menumpuknya di bak cuci, dan pergi mandi.
Ia menyadari keanehan pertama saat ia selesai mandi.
Lock keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di perutnya saat matanya sekelebat melihat sesosok tubuh yang putih, kurus, dan bersih, pada cermin yang tergantung di sebelah pintu kamar mandi.
Dia kemudian mematung selama beberapa detik.
‘…Apa yang kulihat barusan?’
Lock berjalan mundur secara perlahan dan berhenti di depan cermin. Beberapa saat kemudian, mulutnya terbuka dengan syok. Tangannya meraba lengan kanannya, setiap inci tubuhnya, sementara matanya terkunci pada cermin.
Ada alasan mengapa Lock selalu mengenakan baju lengan panjang, bahkan saat berenang. Dia memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuhnya, terutama di bagian lengan dan punggung. Bekas itu tumpang tindih satu sama lain; dan kebanyakan membentuk daging bewarna merah muda. Selain bekas itu terlihat menjijikan, luka itu menjadi pra-lambang kehidupan Lock di masa lampau yang tidak ingin dibahasnya sama sekali.
Namun, dalam pantulan cermin tersebut, hampir sebagian besar bekas luka itu menghilang. Hanya ada beberapa bekas luka samar-samar di bagian punggung dan kakinya, tetapi selain itu…
“Apa-apaan…” Lock memaki tanpa sadar, rahangnya masih terbuka lebar.
Benak Lock berputar, tetapi setelah beberapa saat seperti orang tolol memelototi cermin, ia memutuskan untuk menyimpan keanehan itu untuk dipikirkan nanti. Dia tidak memiliki siapapun untuk diajak berdiskusi, dan Lock tahu bukan ide bagus untuk menceritakan hal ini ke dokter kecuali dokter jiwa.
Pagi itu, Lock menghabiskan banyak waktu untuk memandangi tubuhnya sehingga dia harus berlari mengejar bus ke tempatnya bekerja sambilan selama liburan musim panas. Selama perjalanan, dia terus memikirkan keanehan yang terjadi pada dirinya, tetapi Lock tidak punya jawaban atas apa yang mungkin terjadi.
Dia tidak setiap hari memperhatikan tubuhnya secara detail, tetapi Lock cukup yakin bekas-bekas luka mengerikan itu tetap ada hingga kemarin. Kebanyakan bekas luka itu merupakan bekas yang sangat lama – sudah sekitar 5 hingga 6 tahun, tetapi terkadang Lock masih merasakan samar-samar rasa sakit, terutama pada malam hari.
Bekas itu menyakitkan, bahkan ketika dilihat begitu saja, tetapi luka-luka itulah yang menjadikan Lock seperti sekarang. Dia senang bekas itu menghilang, tentu saja, karena itu artinya ia tidak perlu lagi menutupi tubuhnya sedemikian rupa. Ia sangat senang hingga ingin menari berputar-putar di dalam bis dengan telanjang. Tetapi..
‘Apa yang terjadi?’
Lock melirik dirinya di pantulan cermin, menangkap sorot matanya yang masih terlihat tenang meski benaknya jauh dari kata ‘tenang’. Jauh dari lubuk hatinya, kengerian merayap di perutnya. Mustahil bekas luka seperti itu bisa menghilang dalam sekejap mata. Hanya ada kata ‘keajaiban’ yang bisa menjelaskan semuanya saat ini. Namun, Lock tidak percaya keajaiban muncul begitu saja sekarang.
Jantungnya berdegup kencang selama perjalanan, dan tanpa terasa, ia sudah berada di salah satu Café di Taman bermain Finn. Sebisa mungkin, Lock mengunci segala peristiwa yang berkecamuk di benaknya dalam salah satu sudut pikirannya, dan berusaha mulai fokus bekerja seperti biasanya.
Keanehan kedua muncul di pertengahan hari. Saat itu, suhu udara mencapai 38.40C dan banyak orang datang ke café untuk berlindung dari sinar matahari yang membakar kulit dan kewarasan mereka.
Lock sedang sibuk membersihkan sebuah meja saat mendadak jantungnya berdegup kencang hingga terasa sangat sakit seperti hendak meledak. Ia menggapai pinggiran meja dan berusaha menopang tubuhnya yang masih terkejut karena rasa sakit yang datang secara tiba-tiba tersebut.
[Lock…]
Kesadarannya mulai menghilang saat ia mendengar suara bisikan tersebut. Lock tidak tahu itu suara perempuan atau laki-laki, tetapi entah mengapa, Lock merasa itu adalah suara yang tidak asing.
[Lock, Lock..]
Suara itu memanggilnya lagi, dan lagi, sementara irama jantungnya masih berdetak tidak stabil. Bulu kuduk Lock meremang ketika ia merasa ada ‘sesuatu’ yang terbangun dari tubuhnya.
“Lock? Kau baik-baik saja?”
Suara seorang wanita, yang merupakan rekan kerja Lock, memanggilnya sambil menggoyang-goyangkan lengannya.
Lock tersentak terkejut ketika suara dan rasa sakit itu mendadak lenyap begitu saja. Dia menunduk dan melihat tangannya mencengkram lap basah hingga buku-buku jarinya memutih.
“Eh, iya. Aku tidak apa-apa.” entah bagaimana, Lock berhasil menggumamkan tanggapan.
Kening Lock basah oleh keringat, tangannya masih gemetar, dan benaknya masih kacau. Lock menutup mata sejenak untuk menenangkan dirinya saat ia menyadari sebuah tangan masih memegangi lengannya. Lock melirik rekannya – seorang gadis berponi yang selalu berpenampilan seksi.
“Um, aku tidak apa-apa,” gumam Lock, menyingkirkan tangan gadis itu dengan hati-hati. Dia bingung melihat ekspresi gadis itu.
Gadis itu menatapnya tanpa berkedip. Ekspresinya mengingatkan Lock pada bagaimana ekspresi gadis itu saat melihat seorang atlet renang yang terkenal, datang berkunjung ke café dan membeli jus tomat beberapa hari yang lalu. Tetapi, Lock tidak terlalu yakin karena kali ini raut wajah gadis itu terlihat seperti orang yang menahan buang air.
‘Ada apa dengannya?’ Lock tidak bisa mengenyahkan perasaan tidak enak saat melihat cara gadis itu menatapnya.
“Kau.. baik-baik saja?”
Gadis itu tidak segera menjawab. Dia membutuhkan beberapa detik sebelum akhirnya sorot matanya kembali normal. Dia mengerjap-ngerjapkan mata dengan kebingungan. “Yeah,” gumamnya lemah. “Aku tidak apa-apa.”
Gadis itu berlalu dengan limbung. Lock mengerutkan kening melihatnya, tetapi memutuskan untuk melupakannya. Berkat interupsi gadis itu, Lock berhasil mengumpulkan ketenangannya dan kembali bekerja.
“Hei, apa-apaan!? Aku pesan bir!”
Beberapa saat kemudian, suara seorang pelanggan membuat Lock menoleh ke arah kasir. Matanya bersirobok dengan rekannya dan gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangan.
“Selain itu, bukankah kau mengambil air itu dari akuarium disana!? Apa kau pikir aku ini ikan?”
“Apa? Oh!” gadis itu kebingungan. Sejurus kemudian, ia bertanya dengan terheran-heran. “Bukankah kau memang memesan air akuarium?”
“…Gadis sinting.”
Lock mengamati peristiwa itu dari jauh, kemudian mendongak untuk mengamati pendingin udara.
‘Sepertinya hawa panas ini membuat banyak orang menjadi aneh.’ pikirnya.
Dengan lega, Lock kemudian berpikir bahwa keanehan kedua tadi terjadi karena hawa panas. Itu tidak mengherankan karena rekannya pun jadi semakin aneh.
Namun, teori itu terpatahkan beberapa jam kemudian saat Lock berjalan untuk mengambil pesanan. Awalnya, Lock merasakan getaran ringan yang dia kira gempa. Sensasi aneh kemudian merayap di perutnya, membuatnya terpaku.
‘Hm? Apa ini?’
Tatapan beberapa orang tertuju kepada Lock. Mereka semua tidak berbicara, tidak berpaling, hanya menatapnya dengan berbagai ekspresi dan beraneka ragam gaya.
Gaya paling ‘normal’ adalah terbelalak dengan anggun dan rahang sedikit terbuka. Namun, beberapa orang membuat Lock merinding; seperti seorang wanita yang jatuh berlutut seperti melihat malaikat turun, seorang pria tampan yang menutup mulutnya dengan mata berkaca-kaca, atau seorang pria parlente yang menatapnya dengan air liur mengalir deras.
Ngeri melihat itu semua, Lock kabur ke balik kasir. Beberapa saat kemudian, orang-orang tersebut kembali beraktivitas dengan lambat seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Potongan percakapan mereka dapat didengar oleh Lock yang masih bersembunyi di balik meja.
“… Kenapa kau berlutut, Mom?”
“Sayang, kau menangis?”
“Apa? Sejak kapan aku bisa menangis? Kau mengejekku?”
“Jack, ada air liur di dagumu.”
Itu bahkan belum seberapa. Satu jam kemudian, dia bertemu dengan seseorang yang mengenalnya, dan sedang mengantarkan pesanan saat salah seorang dari gerombolan itu pingsan begitu melihatnya. Lock hanya terbelalak melihat kejadian itu dan segera kabur. Dia tidak menyelesaikan kerja paruh waktunya dan bergegas pulang.
Situasi semakin parah seiring jalannya waktu.
Di bus, semua orang berputar menatapnya dengan pandangan mengerikan. Bahkan dia hampir menyebabkan kecelakaan besar karena sopir bus terus memandanginya dari kaca spion.
Keberadaannya menyebabkan kemacetan, membuat seorang yang sedang berolahraga lari menabrak tiang listrik, membuat seorang pesepeda hampir masuk selokan, dan berpuluh-puluh orang yang dijumpainya di jalan, ternganga. Lock harus terus menunduk dan menghindari melihat orang lain selama perjalanan pulang.
Saat ia berada di teras apartemen, pintu sebelah apartemennya terbuka. Lock buru-buru masuk; dia tidak ingin melihat wanita gemuk yang menjadi tetangganya selama ini, melongo menatapnya. Monster itu adalah orang terakhir dalam daftarnya yang ingin dilihatnya terpesona kepadanya. Membayangkannya saja membuat bulu kuduk di punggung Lock keriting.
Setelah pintu apartemennya tertutup, dia bisa mendengar omelan tetangganya yang selalu mencari kesalahan dalam setiap perilakunya.
“Ck, dasar anak tidak sopan. Tidak pernah menyapa, tidak pernah bersih-bersih. Hei, Kamar 12! Tolong bersihkan kamarmu – bau busuk kamarmu masuk hingga kamarku!”
Lock mengabaikannya dan jatuh terduduk di depan pintu. Dia belum makan sejak pagi, badannya terasa lengket, dan wanita di sebelah rumahnya tidak berhenti mengomel. Lock sangat capek. Kejadian hari ini terbayang dalam pikirannya, dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia memejamkan mata dengan punggung bersandar pada dinginnya pintu.
Berpuluh-puluh kilometer dari apartemen kecil Lock, seorang gadis sedang berbaring diatas sebuah tempat tidur mewah di sebuah kondomonium elit. Gadis kecil itu mengerang dengan wajah pucat. Badannya melengkung dan mengejang menahan sakit. Di sampingnya, sepasang suami istri menatapnya dengan pose stres. “… Melisa, telepon dokter Ken lagi.” Melisa, seorang wanita cantik yang menginjak usia 40 tahun, melirik suaminnya dengan pandangan kesal. “Telepon sendiri.” “Apa?” Melisa tidak gentar di bawah tatapan marah suaminya “Kau dengar kataku,” kata Melisa ketus. “Aku sudah menelpon dokter Ken sepuluh menit yang lalu. Kalau kau tidak sabar, telepon sendiri.” Wajah Baram merah padam karena marah. Dia mendengus, kemudian bangkit berdiri, dan mengambil telepon dengan kasar. Suara Baram yang marah dan tidak sabar terdengar, tetapi Melisa tidak peduli. Ia menatap gadis kecil yang terbaring di depannya dengan pandangan kosong. Geraman terdengar; dan wajah p
Setahun kemudian.Ponsel Avery berdering nyaring di atas sebuah meja. Avery melirik nama si penelpon dan langsung mengacuhkannya. Beberapa orang, termasuk penjaga, meliriknya tajam dan kesal, tetapi Avery tidak peduli.Jelas saja para murid dan penjaga kesal karena Avery sedang berada di perpustakaan yang menjunjung tinggi keheningan. Namun, tidak ada yang berani menegurnya. Alasannya sederhana; itu karena ia adalah salah satu anak terkaya di SMA Culfox. Ayahnya donatur utama yang membuat penjaga perpustakaan segan padanya, dan kakaknya, Jihun, adalah si brengsek yang memiliki reputasi buruk di sekolah.Sebenarnya, para murid tahu bahwa Jihun dan Avery jauh dari kata akrab, tetapi Jihun adalah berandalan yang suka mencari gara-gara. Itu sudah cukup menjadi alasan untuk sebagian murid tidak macam-macam dengan Avery, kecuali mereka siap berhadapan dengan Jihun. Avery membenci Jihun, tetapi dia menyukai keuntungan yang ia dapat karena itu berarti d
Mereka berdua berjalan beriringan tanpa banyak bicara. Setelah berada sedikit jauh dari lingkungan sekolah, Avery berjalan bersisian dengan Lock. Avery tidak ingin sering bertemu Jihun atau pulang bersamanya, jadi dia memilih tinggal bersama dengan beberapa pelayan di rumah lain dan meninggalkan keluarga besarnya yang tinggal di rumah induk. Rumah tempatnya ia tinggal sekarang sangat dekat dengan sekolah sehingga ia hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit. Lock, pelayan tidak resmi Avery, selalu ‘menjemputnya’ dan mereka selalu berjalan bersama berangkat dan pulang sekolah. Namun, Lock jarang bicara dan tidak pernah bertanya apa pun padanya, apalagi membicarakan dirinya sendiri. “Hei,” panggil Avery. Ia berhenti berjalan. “Ayo kita makan es krim.” Hari itu tiba-tiba saja berbeda. “… Apa kau sakit?” Jawaban dan ekspresi Lock membuat Avery geram. “Berhenti menjadi orang brengsek dan pergi beli es krim.” Beberapa menit kemudian, mereka
Lamunannya terinterupsi ketika bus berhenti di halte tujuannya. Hujan kembali turun saat ia turun dari bus, membuat Lock harus berlari menembus hujan hingga ke gedung apartemennya.Saat dalam perjalanan naik tangga menuju kamarnya yang ada di lantai 3, Lock menyadari bahwa ia basah kuyup dan jejak kakinya mengotori lantai. Mau tidak mau, bayangan tetangganya yang akan menghujaninya dengan 1001 sumpah serapah, terbayang di benak Lock. Bibi sebelah kamarnya selalu mencari hal untuk memarahi Lock, bahkan hingga ke hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini:“Bunga-bungaku selalu layu di tempat ini! Tidak ada hawa kehidupan sama sekali yang bisa membuatnya mekar dengan indah!”Dia melotot seolah-olah Lock adalah sumber tragedi yang membuat bunganya layu. Saat itu, Lock menjawab dengan wajah serius.“Itu karena Bibi terlalu banyak tersenyum pada bunga itu.”Sebelum wanita itu memproses makna jawabannya, Lock meny
Di malam hari yang cerah, beberapa orang warga berkerumun di salah satu lapangan yang dikenal sebagai markas Red Carnaval. Polisi menjaga agar tidak ada orang yang bisa mendekat, sementara gosip berhembus diantara para kerumunan warga. “Mereka menjual obat-obatan, para pemain sirkus itu.” “Aku dengar mereka juga memperjualbelikan manusia.” “Ck, sudah kuduga orang-orang sirkus itu tidak baik. Binatang yang mereka gunakan sebagai bagian dari atraksi itu terlihat tersiksa.” “Kau menyukai atraksi mereka.” “Ah, tidak. Aku selalu tahu kalau mereka orang-orang jahat. Hei, lihat! Itu rombongannya! Mana ketua mereka – si Joe?” “Dia ditembak mati oleh Detektif gila itu.” Mereka menatap para petugas yang sibuk menggiring beberapa orang ke dalam mobil polisi atau menyusup masuk ke dalam mobil-mobil karavan untuk mencari bukti. Para warga semakin asyik berdiskusi apalagi setelah melihat beberapa tim medis keluar membawa kantong-kan
Lock memandangi langit biru cerah tidak berawan dengan mata menerawang. Burung-burung terbang bebas di angkasa, berkicau lembut seperti nyanyian indah di siang hari. Suasana terasa indah, tetapi tidak tampak nyata bagi Lock, sama seperti saat ia memikirkan tetangganya yang lenyap tanpa jejak. Semua yang ia alami terasa tidak nyata. Hari itu bergulir dengan sangat cepat. Lock hampir tidak bisa mengingat apapun selama perjalanan ke sekolah, atau saat ia menjemput Avery, dan tidak ingat apa-apa sejak ia masuk kelas hingga saat ini. Ia bahkan tidak menyadari hari sudah siang dan ia sudah berada di atap untuk menghabiskan waktu istirahat sendirian seperti biasanya. Lock tidak heran karena pikirannya penuh dengan semua keanehan yang terjadi di sekelilingnya. Luka lama di tubuhnya hampir lenyap tidak bersisa, ‘pesona’ aneh yang dimilikinya, bisikan mengerikan yang hanya dapat didengar olehnya, mata kanannya yang terkadang mengeluarkan sinar redup bewarna kemerahan; semua te
Hanya suara gemuruh yang terdengar saat Lock selesai. Ia tidak bisa melihat Jihun karena pandangannya ditutup oleh tubuh besar antek Jihun yang berdiri mengelilinginya. Lock menunggu perasaan lega itu datang; dia yakin saat anak-anak di sekelilingnya mengetahui kenyataan bahwa Jihun membohongi mereka, mereka akan pergi meninggalkan pemuda menyedihkan itu. Tapi, tidak ada kelegaan saat Lock membuka kartunya. Ia tersentak mundur saat mengetahui ada sesuatu yang salah. Tepat saat itu, suara tawa Jihun terdengar di tengah-tengah rintikan hujan yang mulai turun. “Puahahahhahahahahaha!” Jihun menyeruak diantara badan kedua temannya. Ia terlihat santai sekali dengan senyum menghiasi wajahnya yang tampan. Air hujan membasahi rambut Jihun dan matanya menatap Lock dengan tatapan mencemooh. “Pegangi dia.” Diluar dugaan Lock, teman-teman Jihun bergerak mengikuti perintah pemuda itu tanpa keraguan sedikitpun. Tangan kanan dan kirinya dipegangi kuat-kuat h
Sherly merenggangkan tubuh mungilnya yang kaku dan keluar dari ‘kapsul’ – yang merupakan tempat kerjanya, dengan perasaan lega. Ia sudah berada di dalam ‘kapsul’ selama 48 jam tanpa beristirahat dan perasaannya tidak baik karena harus menonton banyak hal buruk selama itu. “Sudah selesai, Sherly? Selamat!” Itu adalah salah satu rekannya yang lain, Brahm. Sama seperti Sherly, dia baru saja terbebas dari ‘kapsul’ miliknya setelah hampir 72 jam terkurung. Mata Brahm berkantung, dan tangannya memegang secangkir kopi elixir. Sherly hanya bisa mengangguk, tidak punya tenaga untuk berkata apapun. Ia menyeduh kopi elixir yang tersedia di meja pantri di belakang Brahm dan baru bisa rileks saat kehangatan kopi masuk ke perutnya yang kosong. Bibirnya mengeluarkan desahan lega saat ia menikmati kopi dan memandang kosong ‘kapsul-kapsul’ lain yang berterbangan diatasnya. Empat ‘kapsul’ masih tertutup dan bersinar, menandakan beberapa rekannya bahkan masih belum sele