Share

Chapter 7. The Empty Room

Di malam hari yang cerah, beberapa orang warga berkerumun di salah satu lapangan yang dikenal sebagai markas Red Carnaval. Polisi menjaga agar tidak ada orang yang bisa mendekat, sementara gosip berhembus diantara para kerumunan warga.

“Mereka menjual obat-obatan, para pemain sirkus itu.”

“Aku dengar mereka juga memperjualbelikan manusia.”

“Ck, sudah kuduga orang-orang sirkus itu tidak baik. Binatang yang mereka gunakan sebagai bagian dari atraksi itu terlihat tersiksa.”

“Kau menyukai atraksi mereka.”

“Ah, tidak. Aku selalu tahu kalau mereka orang-orang jahat. Hei, lihat! Itu rombongannya! Mana ketua mereka – si Joe?”

“Dia ditembak mati oleh Detektif gila itu.”

Mereka menatap para petugas yang sibuk menggiring beberapa orang ke dalam mobil polisi atau menyusup masuk ke dalam mobil-mobil karavan untuk mencari bukti. Para warga semakin asyik berdiskusi apalagi setelah melihat beberapa tim medis keluar membawa kantong-kantong jenazah.

Di luar hiruk pikuk tersebut, seorang petugas polisi berjalan mendekat ke seorang detektif yang sedang merokok di ujung terjauh bangunan.

“Detektif Easton,” panggil petugas tersebut. “Terima kasih, kerja bagus!”

Detektif Cora Easton mengangguk. Ia menawarkan rokok yang ditolak dengan halus. “Apa kau menemukannya?”

Petugas polisi itu memahami pertanyaan Cora Easton, dan menjawab. “Sayangnya belum. Petugas kami sedang mendata identitas anak-anak yang dipekerjakan, tetapi nihil.” ia mendesah. “Kondisi anak-anak itu sangat mengkhawatirkan, baik dari segi mental maupun kesehatan. Bajingan ini benar-benar…”

Sebelum ucapannya selesai, seorang petugas polisi lain berlari menghampirinya. “Kapten, sepertinya kami menemukan yang Detektif Easton cari.”

Cora Easton berdiri lebih tegak dan mematikan rokoknya. Petugas polisi yang bersamanya tadi berkata kepada bawahannya setelah bertukar pandangan sekilas dengan Cora Easton.

“Tunjukan dimana dia.”

Petugas tersebut mengangguk dan berjalan mendahului sembari menjelaskan kondisinya. “Dia masih berada di kandang…”

“Tunggu, kandang?” nada suara kaptennya meninggi beberapa oktaf dengan tidak percaya.

Petugas polisi itu mengangguk. “Kondisinya lebih mengerikan dibandingkan anak-anak lain. Kandangnya diletakan bersama dengan hewan-hewan – di sebuah gudang yang digunakan sebagai tempat latihan. Awalnya, petugas lapangan mengira dia adalah monyet,” jelasnya terburu-buru. “Kami berusaha mengeluarkannya sejak tadi karena dia tampak terluka, tapi..”

Keraguan petugas itu membuat sang kapten dan Detektif Cora Easaton menoleh kepadanya secara bersamaan. Langkah mereka melambat.

Tapi?”

“...Dia menggigit.”

Mereka sampai di sebuah gudang luas yang gelap. Sinar senter si petugas polisi menyoroti panggung, tali, bola, semua hal yang digunakan oleh para pemain sirkus untuk berlatih. Di sudut yang lain, beberapa kandang dan tali yang digunakan untuk mengikat para binatang terlihat. Bau pesing dan keringat asam menyerang indra penciuman mereka.

“Kami sudah mengevakuasi binatang yang lain.” jelas si petugas.

Cora Easton tidak mempedulikan penjelasannya. Matanya yang gelap mengamati kerumunan petugas polisi dan medis di salah satu kandang kecil di bagian timur bangunan. Ia bisa mendengar suara petugas medis yang terdengar membujuk.

“Kapten!”

Semua petugas berdiri bersiaga saat melihat kapten mereka muncul bersama Detektif yang memegang kunci penting terhadap kasus ini.

“Kalian semua mundur.” perintah sang kapten.

Tanpa banyak bicara, semua petugas menyingkir menjauhi kandang setelah meninggalkan satu senter di jeruji. Cora dapat melihat jeruji besi yang membentuk kurungan yang cukup besar untuk seekor binatang berukuran sedang. Namun, dia tidak melihat binatang di dalamnya, melainkan tumpukan jerami, selembar selimut kotor, botol air, dan seorang anak yang meringkuk di ujung kandang. 

Anak itu kecil, kurus, dan kotor. Darah kering terlihat di wajahnya; dan tubuhnya penuh dengan luka baru dan bekas luka lama yang membuatnya terlihat mengerikan sekaligus menyedihkan. Cora Easton menatap mata gelap dimana ketakutan, putus asa, sakit, kebencian berputar di dalamnya… Saat ia berjalan mendekat, Cora bertanya-tanya dalam hati apa yang sudah dialami anak tersebut hingga harus berakhir seperti itu.

Mereka berpandangan selama beberapa saat. Cora kemudian bertanya. “Siapa namamu?”

Terdengar geraman rendah mengancam seperti binatang dari dalam kandang.

“… Apa kau tidak suka aku bertanya siapa namamu?”

Tidak ada jawaban kali ini. Cora melihat tubuh anak itu gemetar seolah menahan amarah atau takut. Mata ambernya terpaku pada Cora seolah pria itu adalah ancaman.

“Kalau kau tidak ingin aku tahu namamu, bagaimana jika aku memberimu nama baru?”

Bocah itu membeku mendengar pertanyaan yang tidak terduga tersebut. Matanya yang besar membulat kebingungan, dan itulah pertama kalinya Cora melihat keluguan di mata anak yang ketakutan tersebut. Anak itu masih sangat kecil dan ia diperlakukan seperti ini… Tangan Cora, yang berada di dalam saku, terkepal erat. Ia sekarang menyesal menembak mati bajingan bernama Joe tadi.

“Lock. Nama yang bagus, kan?”

Tidak ada jawaban yang keluar, tetapi bocah itu mendengar suara Cora yang bertekad dan melihat sorot matanya yang jernih dan perangainya yang lembut.

Di telinga anak tersebut, perkataan Cora terdengar sebagai undangan untuk membuka lembaran baru. Walau ia curiga, telinganya memerah dan tangan kecilnya gemetar.

Cora berjalan lebih dekat dan menyusupkan tubuh bagian atasnya ke dalam kandang. Tangannya terulur ke arah si bocah dan ia tersenyum hangat.

“Lock,” katanya. “Ayo kita pulang.”

**

Lock membuka matanya dan mengerjap pada langit-langit. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, kakinya kram, dan matanya masih gemetar karena syok. Itu mimpi yang sudah lama sekali tidak muncul..

‘Cora..’

Lock menutup matanya dengan punggung tangannya. “Sial.”

Hanya ada keheningan selama beberapa saat. Lock tahu mengapa dia bermimpi soal Cora setelah sekian lama berusaha menghindar untuk memikirkannya. Semalam, sebelum jatuh tertidur, Lock tanpa sadar membayangkan apa jadinya jika Cora masih ada di sisinya. Cora pasti dapat memberitahu Lock apa yang harus dilakukannya saat keanehan demi keanehan bermunculan di sekelilingnya seperti ini.

“Pikirkan dengan tenang – tidak ada gunanya panik karena itu tidak menyelesaikan masalah.”

Namun tidak lama setelah berkata demikian, Cora lari terbirit-birit saat Lock memberitahunya ada asap hitam muncul dari dalam dapur. Alih-alih tenang, ia malah membuat api semakin bertambah besar dan nyaris membuat mereka berdua terpanggang hidup-hidup. Cora menggerutu saat akhirnya Lock menaruh lap basah di atas api saat dirinya belingsatan.

“Kau lihat? Ini akibatnya jika kau tidak mampu bersikap tenang.”

“…Kau orang dewasa yang aneh.”

Lock mengeluarkan tawa kecil saat mengingat hari-hari tersebut. Setelah ingatan itu reda, perasaan hampa menyerangnya. Lock berusaha mengalihkan perhatiannya pada hal lain.

“Bibi sebelah pasti masih bertengkar.” gumam Lock, menyadari dia tidak mendengar apapun dari kamar sebelah. Tetangganya biasanya akan memulai aktivitas dengan sangat berisik pada jam tersebut, membuat Lock tidak pernah terlambat bangun ke sekolah.

Lock mendesah dan bangkit berdiri setelah dia mulai bisa tenang kembali.

Beberapa saat kemudian, Lock keluar dari apartemennya untuk berangkat ke sekolah. Tepat saat itu, seseorang juga keluar dari apartemen sebelahnya. Lock mengerutkan kening heran karena wanita itu bukanlah Bibi tetangganya yang biasa ataupun Orim. Wanita paruh baya itu adalah induk semangnya.

“Selamat pagi,” sapa wanita tersebut. “Apakah kau akan berangkat ke sekolah?”

Lock mengangguk samar sementara wanita itu mengeluarkan beberapa kantong sampah dari dalam kamar. Sadar Lock menatapnya, wanita tersebut menjelaskan.

“Ah, kau pasti penasaran. Aku sedang mengamati kondisi kamar kosong ini karena ada penyewa yang tiba-tiba berminat. Nanti siang aku akan memanggil petugas kebersihan dan beberapa tukang untuk merenovasi kamar ini sedikit,” ujarnya sembari mengikat kantong sampah yang ditumpuk di dekat sebuah pot bunga layu. Wanita itu melempar senyum kepada Lock. “Kau pasti senang karena akhirnya mempunyai tetangga, kan? Sudah lama sekali sejak kamar ini dihuni dan…”

Lock tidak lagi mendengarkan ucapan induk semangnya. Pikirannya mendadak kosong dan ia mengerjap bingung. “Kosong..?” akhirnya ia mampu bersuara. “Bagaimana dengan Bibi yang menempati kamar itu?”

Induk semangnya berhenti berbicara dan menatap Lock dengan pandangan aneh. “Apa maksudmu? Kamar ini tidak pernah dihuni oleh siapapun.”

“Bibi tidak mengenal… Orim?” tanya Lock. Dia tidak tahu nama wanita yang menjadi tetangganya selama beberapa tahun belakangan, dan hanya mengetahui nama anak perempuannya.

“…Tidak pernah dengar nama itu sebelumnya.”

Wanita itu menatap Lock seakan ia gila. Tatapan itu begitu nyata hingga Lock yakin ini bukan lelucon. Lock memaksa dirinya yang membeku untuk bergerak ke apartemen tetangganya; ia tidak pernah masuk atau mengintip kamar itu sebelumnya, tapi…

Kamar itu jelas tidak bisa dihuni. Dindingnya memiliki bercak-bercak jamur dan sarang laba-laba. Lantainya kotor dan berdebu, langit-langit di sudut dapur hancur dan kayunya terjatuh membentur bak cucian. Bau lembab dan jamur menyerang indra penciuman Lock – menyodorkan bukti bahwa kamar tersebut tidak pernah dibuka selama beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun.

Jantung Lock berdegup kencang dan keringat dingin muncul di dahinya. ‘Ini… tidak mungkin.’ batinnya. ‘Ini tidak nyata.’

Pada saat ia berbalik untuk menghindari tatapan induk semangnya, mata Lock tanpa sengaja tertumbuk pada pot bunga layu di birai. Beberapa bulan yang lalu, bibi penghuni kamar itu berkata padanya:

“Bunga-bungaku selalu layu di tempat ini! Tidak ada hawa kehidupan sama sekali yang bisa membuatnya mekar dengan indah!”

Lock berjalan mendekat dan menarik secarik kertas yang berada di balik pot bunga itu.

Itu tulisan asing dan hanya ada satu kalimat disana yang tidak Lock mengerti. Meskipun demikian, Lock yakin itu adalah tulisan ‘mantan tetangga’ nya.

[Temukan ‘Iophel’.]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status