Share

The leaf has fallen down

"Dokter Mike telah berbohong padaku, dan sekarang kau juga berbohong, kenapa semua orang sangat suka membohongiku ?"

Intonasinya sangat rendah, emosinya telah menurun, Merita dapat melihat kerapuhan yang jarang ditunjukannya di luar rumah sakit Haesung.

"Saya tidak berbohong pada anda, dokter Mike sungguh meminta saya untuk membawa anda kembali, percayalah"

Mendengar kata percaya itu membuat Ariana menjadi panas, ada rasa sakit yang menyesakkan dadanya.

"Kau tahu suster, ketika seseorang memintaku untuk mempercayainya, sebenarnya ia sedang berbohong padaku. Ayah, ibu, Mike, semuanya memintaku untuk mempercayai mereka, namun tak ada yang bisa aku percaya. Dan sekarang, kau pun begitu. kenapa ? kenapa kalian terus membohongiku ? Apa karena aku adalah orang yang mudah kalian tipu ?" 

Tiba-tiba emosi Ariana menjadi tidak terkendali, emosinya mengalami kenaikan yang sangat cepat, gadis itu terlihat ingin menagis namun tak ada air mata di wajahnya, rasa sedihnya itu ia rubah menjadi sebuah amarah yang tak bisa ia tahan lagi dalam dirinya sendiri.

Vas bunga yang berdiri di atas meja di samping Ariana melayang begitu saja, dan meluncur tepat di depan kaki Merita, hancur berkeping-keping. 

Jeritan dari luar ruangan terdengar dan orang-orang yang semenjak tadi menonton pun berhamburan begitu saja karena merasa keselamatan dirinya terancam.

Merita menjadi sangat gugup, ia takut kalau-kalau ucapan yang ia keluarkan malah akan membuat suasana hati Ariana menjadi tambah buruk.

"Ari.. aku tidak pernah membohongimu, kau ingat dulu aku berjanji untuk tetap bersamamu, dan sekarang aku masih bersamamu" Antonio berdiri setelah sekian lama hanya diam di sudut ruangan, tangannya menjulur ke depan berusaha untuk menggapai Ariana. Sedangkan gadis itu, merasa tak kenal pada lelaki yang ada di ruangan, ia ketakutan setengah mati, sekujur tubuhnya bergetar dan berkeringat dingin, lalu semenit kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Merita kebingungan, begitu pun dengan Antonio. "Ya Tuhan, apa yang terjadi pada gadis itu ?" Tanya Antonio sambil menepuk keningnya, tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Kau, mintalah obat bius pada pihak rumah sakit" bisik Merita pada Antonio, tanpa pikir panjang lagi Antonio segera berlari dari tempatnya berdiri.

*****

"Pak dokter, makanlah ini" Livia memberikan sekotak melon yang sudah dipotong-potong pada Edward

"Terimakasih, saya tidak menduga akan diperlakukan seperti ini" balas Edward dengan canggung. 

"Benarkah ? Apa anda tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya ?" Tanya Livia dengan suara seperti anak-anak, Edward tersenyum manis mendengarnya.

"Benar, anda adalah orang pertama yang bersikap seperti ini pada saya. Dan rasanya saya menyukai anda" jawab Edward dengan nada yang menggoda, ia mendekati Livia hingga pundak mereka saling bersentuhan, Livia melompat-lompat kecil, dan mencubit tangan Edward pelan. "Saya juga sangat menyukai anda" balas Livia malu-malu kucing. Lagi-lagi Edward tersenyum, kepalanya mengangguk kecil dan dengan ragu-ragu ia bertanya "berapa usia anda, nona ?"

Livia tertegun mendengarnya, ia berpikir sejenak, mengingat usianya yang sudah lama tidak ia perhatikan lagi, ia membuat gerakkan berhitung dengan jari-jarinya

"Hmmm 29 tahun ?" Kepala Livia diangkat, dan wajahnya terlihat polos, Edward melebarkan matanya, dan mulutnya terbuka. Livia segera meralat jawabannya "aaah tidak.. tidak... usiaku 27 tahun, iya, 27 tahun haha" Livia tertawa canggung, dalam dirinya bertanya-tanya apa ia masih terlihat seperti wanita berusia 27 tahun ?

"Ohh 27 tahun ya, sayang sekali, anda terlalu tua untuk saya. Saya pergi dulu, dan terimakasih banyak atas melonnya"

Jawab Edward dengan dingin, namun ia tertawa, tawa mengejek sebenarnya, setelah memberikan tawa mengejek itu, Edward segera angkat kaki dari sana, takut jika wanita di hadapannya akan mengamuk dan menyerangnya seperti para wanita yang ia temui di waktu-waktu yang lalu. Livia mendesah kesal "terlalu tua ? Memangnya berapa usia dia ?! Saya yakin wajahnya terlihat muda, pastilah karena perawatan yang mahal, hah, panas.... kenapa panas sekali disini ?!!" Livia menggerutu seorang diri, tangannya mengibas-ngibas, ucapan Edward terasa seperti api yang telah membakar hatinya.

"Oy..oy.. jangan asal bicara, dia terlihat muda, karena dia masih sangat muda, kau tidak tahu, dia itu baru berusia 19 tahun" dokter Noh menimpali dengan tiba-tiba, ia tertawa mengejek seperti yang Edward lakukan.

"Benarakah ?" Tanya Livia tak percaya. Ia semakin kesal sekarang karena orang yang menghinanya adalah seorang anak yang jauh lebih muda darinya. Livia menghentakkan kaki dengan keras dan segera hengkang dari sana sambil mengumpat "sialan ! Dasar bocah tengik ! Seharusnya dia bersikap lebih sopan pada seniornya, hah !"

Pintu utama rumah sakit Haesung terbuka, dari sana terlihat Merita yang sedang berjalan cepat beriringan dengan Antonio, Ariana tertidur lelap di atas punggungnya. Livia yang berpapasan dengan Merita pun segera menegurnya, setelah melihat sosok Ariana bersama Merita dan seorang laki-laki asing, Livia menjadi terkejut, matanya membelalak lebar, dengan cepat ia menghampiri Merita dan ikut berjalan searah dengannya "ya ampun, apa itu Ariana ? Jadi anda berhasil membawanya kembali ? Waaaah anda benar-benar suster yang hebat !" Ucap Livia takjub sambil mengacungkan kedua jempolnya, dan tersenyum, kedua mata hitam Livia mengedip beberapa kali dengan cepat, berharap Merita dapat merespon dengan baik pujian yang telah ia lontarkan.

"Livia, cepat ambilkan riklina di lab, suntikan beserta selang infus, dan siapkan juga makanan untuk pasien, Ariana pasti kehilangan banyak tenaga setelah marah-marah selama beberapa jam"

"Apa ?"

"Apa yang saya ucapkan cukup jelas, bukan ?"

"Aaah iya, baiklah" 

Livia segera berjalan menuju lab untuk mengambil riklina, setelah ia meminta suster Meriska mengambil suntikan dan selang infus. 

Camelia melihat Livia yang sedang berbicara pada Meriska, wanita itu mendekati mereka, dan tanpa basa-basi lagi ia meminta Livia untuk merawat pasien di ruang A16.

"Livia, dokter Edward meminta anda untuk merawat pasien di ruang A16"

Livia terkejut melihat kedatangan Camelia yang tiba-tiba itu, tubuhnya melonjak sebelum akhirnya membalas perkataan Camelia "tapi, saya sedang diminta untuk membawa ini ke ruang Ariana"

Mendengar nama Ariana, Camelia menjadi penasaran, ia pun bertanya dengan penuh antusias "apakah Ariana telah kembali ? Bagaimana keadaannya ? Ahh sebaiknya anda melaksanakan perintah dokter Edward, biar saya yang mengantarkan riklina itu"

"tidak perlu suster Camelia, apakah anda lupa bahwa anda tadi berseteru dengan suster Merita, saya rasa keadaan tidak akan baik jika anda yang mengantarkan riklina ini ke sana. Jika anda penasaran mengenai keadaan Ariana, anda bisa datang ketika suster Merita tak ada di sana, dan maaf suster, apakah anda anda bisa menggantikan saya di ruang A16 itu ?"

Camelia terdiam, apa yang dikatakan Livia memang benar, jika ia berada di tempat yang sama dengan Merita mungkin itu hanya akan menciptakan keributan yang tentunya membuat ketenangan Ariana terganggu.

"Baiklah" balas Camelia dengan pasrah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status