Share

Ariana's voice

"Mbak, jangan mendekat, anda tidak melihat bahwa orang itu gila, orang itu bisa saja membunuh mbak, mas yang di dalam saja tidak bisa berpindah dari tempatnya barang sesenti pun" jelas seorang pengunjung rumah sakit yang ikut memenuhi bagian luar ruang B391 dimana Ariana terduduk dengan penampilannya yang sangat kacau.

"Orang gila itu adalah pasien saya, bahkan jika saya harus mati karenanya, saya tidak akan pernah menyesal" jawab Merita dengan penuh keyakinan, membuat pengunjung itu kehabisan kata-kata untuk menghentikan pendekatan Merita terhadap Ariana. "Dokter Mike, jika anda bilang saya bisa, maka itu artinya saya benar-benar bisa, bukan ?" Tanya Merita dalam hati, wanita itu tengah mencoba untuk menghilangkan rasa takut dalam dirinya.

"Ariana.. tidakkah anda mengingat saya, Merita, partner dokter Mike yang selama ini merawat anda ?"

Mendengar nama Mike, Ariana berhenti menarik rambutnya, wajah mungil gadis itu terangkat, mencari sosok orang yang telah menyebutkan nama Mike di hadapannya.

"Mike ?" Ucap Ariana dengan pelan dan lemah, namun suara itu cukup jelas di telinga Merita yang sejak tadi mendekatinya secara diam-diam.

"Iya, dokter Mike, beliau meminta saya untuk membawa anda kembali"

Ariana menjadi geram mendengarnya, ia tahu bahwa Merita sedang berbohong, gadis itu sangat membenci seorang pembohong. Tangan Ariana kembali mengepal seprai rumah sakit dengan sangat kuat, gigi atas dan bawah gadis itu saling beradu hingga menimbulkan bunyi gemelutuk.

"Pembohong !!!!!! Pergi kau pembohong !!! Dasar sampah bajingan !!! Pergi kau dari sini !!!!!!!! Aaaaaaa" 

Ariana berteriak dengan sangat keras, ia benar-benar kesal, suaranya sangat nyaring hingga rasanya seluruh kaca rumah sakit itu akan pecah seketika.

*****

Dokter Mike menyalakan pemutar suara, dan suara Ariana muncul dari sana

*Pagi itu, aku berada di sebuah taman dengan rumputnya yang hijau, langit biru dengan awan putih yang indah, taman itu sangat sejuk karena di sekelilingnya terdapat pohon pinus yang berjajar dengan sangat rapih layaknya pasukan baris berbaris para bala tentara. Ibuku sedang mengeluarkan makanan dari keranjang yang telah kami bekal, ada roti gandum, selai strawberry, selai coklat, dan kesukaanku selai kiwi, ada juga coklat, cookies, ginger cake, dan beraneka ragam biscuit dengan bentuk menarik. Ibu terlihat sangat cantik dengan gaun biru dan rambut yang disanggul ke belakang. Dan ayah terlihat gagah dengan setelan serba putihnya. Mereka berdua sudah seperti raja dan ratu yang sedang memadu kasih. Aku bermain dengan Wingka, boneka beruang coklat pemberian ayah di ulang tahunku yang ke tiga. Kami bermain rumah teh, aku sudah menyiapkan beberapa cangkir dan teko mini pemberian bibi Angela yang tinggal di paris. Dan beberapa pisin cangkir tersebut aku isi dengan ginger cake buatan ibu. Aku suka ginger cake, karena saat aku memakannya aku bisa merasakan kasih sayang ibu yang begitu hangat tertuang ke dalam komposisi kue tersebut, apalagi jika ginger cake itu dicelupkan ke dalam sakura white tea milik paman Kineki, rasanya sangat hangat, enak, dan menenangkan. Aku asik bermain dengan wingka hingga aku tidak sadar bahwa ibu memanggilku untuk datang kepangkuannya. Namun ibu tidak marah padaku, saat itu ibu malah datang dan memelukku dari belakang, menggelitikku hingga aku tak bisa berhenti tertawa. Ayah juga begitu, ayah mengelus rambutku dan berkata bahwa aku adalah putri tercantik di dunia. Aku sangat senang mendengarnya.

Hari itu, aku merasa telah menjadi seseorang yang paling berbahagia. Hingga akhirnya kebahagian itu terenggut begitu saja sejak ayah menerima telepon dari seseorang yang suaranya terdengar serak, mendengar suaranya saja aku sudah bisa menebak bahwa orang itu bukanlah orang yang baik. Ayah hanya berkata bahwa ayah akan segera kembali tanpa mengatakan kemana ia akan pergi. Aku menggenggam tangan ayah, menahannya untuk tidak pergi. Tapi ibu malah menarikku ke dalam pelukkannya, menepuk punggungku dengan lembut beberapa kali sambil menggumamkan "ayah akan segera kembali, kita harus percaya pada ayahmu"

Aku pun menurut.

Hari demi hari berlalu, namun aku tidak tahu bahwa kata segera itu berarti sangat lama. Ayah belum juga kembali pada kami, aku terus menanti, namun penantian ini terasa sangat menyiksa. Apalagi ketika aku melihat senyuman ibu perlahan memudar, ia tidak pernah lagi memelukku, mengelusku, bahkan hanya sekedar memanggilku untuk datang ke pangkuannya pun tidak. Rumah besar yang aku tinggali menjadi sangat sepi, berbeda saat ayah masih ada di sini. Ayah adalah nyawa di rumah kami, dan saat nyawa itu menghilang, kami merasa seperti orang yang mati.

Ibu terlihat sering murung, beliau hanya terduduk lemas di bangku dekat jendela, memandangi jalan di luar rumah kami dengan tatapan kosongnya, namun air mata terus saja mengalir di wajah cantik keturunan Inggris itu. Saat itu aku mencoba untuk mendatangi ibu, aku meminta dibuatkan secangkir teh dengan manja. Biasanya ibu akan tersenyum dan langsung pergi ke dapur untuk membuatkan secangkir teh tersebut, namun sekarang permintaanku itu hanya bisa menjadi santapan angin lalu.

Sore itu langit sangat gelap, hujan deras mengguyur kota dimana kami tinggal. Ibu mengenakan jas hujan selutut yang berwarna coklat, warna yang sama dengan rambut beliau. Dari ujung kaki hingga lutut tertutupi oleh sepatu bot berwarna hijau tua, ibu berjalan keluar dari dapur sambil memegang payung dengan corak tak beraturan. Setiap ibu berjalan, sepatu bot itu berdecit akibat gesekan antara lantai kayu rumah kami dengan alas dari sepatu bot milik ibu. Mata ibu terlihat sangat rapuh saat itu, aku ketakutan melihatnya, aku takut ibu juga akan pergi meninggalkanku seperti ayah, yang lebih parah aku takut ia akan melakukan hal bodoh seperti mengubur dirinya hidup-hidup. Tetanggaku, nyonya Dorset pernah melakukan hal bodoh seperti itu, ia meminta cucunya, Mili yang baru berusia 4 tahun untuk mengubur dirinya secara hidup-hidup. Mili yang tidak tahu apa-apa hanya menuruti permintaan sang nenek, ia menurunkan tanah ke dalam lubang yang berisikan neneknya, lubang itu pun akhirnya penuh oleh tanah hingga sosok nyonya Dorset tidak terlihat lagi. Hingga ayah dan ibunya mencari sosok nyonya Dorset dengan penuh kecemasan, barulah Mili menceritakan kejadian tersebut. Sampai akhirnya rumah dari tetanggaku itu menggelar acara yang bernama pemakaman, semua orang mengenakan pakaian serba hitam dan tangan mereka menggenggam tisu untuk mengelap air mata di wajah. Saat itu aku bertanya pada ibu, mengapa mereka harus mengadakan acara dimana semua orangnya bersedih, lalu ibu menjawabnya dengan lembut "acara ini diadakan untuk mengenang kematian dari seseorang yang kita kasihi, jadi tidaklah masalah jika semua yang hadir disini bersedih".

Aku tidak mengerti apa itu kematian yang hanya bisa aku ketahui, kematian adalah sesuatu yang menyeramkan hingga membuat banyak orang bersedih. 

Sampai di suatu pagi, aku keluar dari dalam rumah karena sosok ibu tak ada di sekitarku, di depan rumahku itu terdapat pohon maple yang tingginya sekitar 8 meter, daun maple itu berwarna hijau muda, di setiap ujung daunnya terdapat bulir-bulir air yang menggantung bekas hujan kemarin. Di bawah pohon maple itu aku melihat payung yang dibawa oleh ibu, payung dengan corak tak beraturan milik keluarga kami, aku ingat payung itu kami beli saat berada di Canada untuk mengunjungi kakek dan nenek yang sedang sakit.

Saat itu di Canada sedang ada hujan salju, karena ayah tidak membawa mobil pribadinya, maka kami pun harus berjalan dari Bandara menuju tempat penyewaan taksi di sekitar sana. Aku kedingingan meski sudah mengenakan jaket dan syal yang tebal, rambutku sudah penuh oleh butiran salju yang turun dari langit malam Canada, tanpa pikir panjang, ayah meminta kami untuk menunggu, sedangkan ia berlari menuju toko yang ada di seberang jalan. Ia keluar dari toko dengan sebuah payung, ia bentangkan payung tersebut, namun satu payung tidaklah cukup untuk memayungi tiga orang, jadi ibu menggendongku sedangkan ayah memegangkan payung itu untuk kami. Aku bisa merasakan cinta dari mereka, dan payung itu adalah bukti cinta kedua orang tuaku. Namun sekarang, payung tersebut basah, lusuh tergeletak di tanah yang kotor. Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok si pembawa payung, tak ada siapapun di sekitar sana, sampai aku melihat bulir air merah jatuh bersamaan dengan rintik hujan, rintik hujan itu lama kelamaan berubah menjadi hujan yang deras, aku berlarian ke arah pohon maple untuk mengambil payung, tanpa sengaja aku mendongak ke atas, di sana, di atas pohon sana, ibuku tergantung seperti bulir air yang menggantung di ujung daun. Aku bisa melihat jas hujan coklat yang kemarin dikenakannya, sangat tidak cocok dengan warna kulitnya yang telah berubah menjadi biru. Aku memandangi ibu sangat lama, dan selama itu ia tidak bergerak.

Aku mengetuk pintu rumah paman Rum, ketika beliau keluar, aku menarik jaket yang ia kenakan, aku memohon padanya untuk menurunkan ibu dari atas pohon. Ia menurut, tangannya menenteng tangga untuk disandarkan ke pohon maple, kemudian dengan bantuan beberapa orang, paman Rum bisa menurunkan ibu dari atas pohon. Aku ingin berlari ke arah ibu yang sedang di angkat oleh orang-orang, namun bibi Rosie, istri paman Rum menahanku, ia membisikkan sesuatu padaku "Tuhan pastilah sangat menyayangimu"

Keesokan harinya, rumahku menjadi ramai oleh orang-orang yang berpakaian hitam, ini mengingatkanku pada acara pemakaman di rumah Mili, saat itu aku tersadar bahwa di rumahku juga sedang mengadakan acara pemakaman, dan seseorang yang sedang dikenang kematiannya adalah ibuku "Arine Daisy". Aku berumur 5 tahun saat ibu meninggal, di umur lima tahun itu aku mengerti bahwa kematian bukan hanya tentang kesedihan, namun juga tentang kehilangan, kesepian, dan tak dapat melihat orang itu lagi untuk selama-lamanya.

Aku sendirian, ayahku masih belum pulang, aku tidak percaya bahwa ayah adalah seorang pembohong, aku benci ayah. Aku juga benci ibu yang mengatakan untuk mempercayai ayah, namun ia malah menggantung dirinya, meninggalkanku, bukankah itu artinya bahwa ia tidak percaya akan kepulangan ayah ? Lalu kenapa ia memintaku untuk percaya ? Semua orang yang aku cintai membohongiku, setelah itu mereka pergi. Dokter, aku mencintai anda, karena anda sudah seperti kakekku yang ada di Canada, apa dokter juga akan membohongiku untuk kemudian meninggalkanku ? Kau tahu dokter Mike, jika anda meninggalkanku sama seperti kedua orang tuaku, aku akan benar-benar hancur, aku bersumpah akan hal itu*

Pintu ruangan itu terbuka, seseorang muncul dari baliknya dengan beberapa berkas yang ada di tangan. Dokter Mike mematikan rekaman Ariana 4 tahun yang lalu.

"Ini berkas yang anda inginkan dokter"

Dokter Mike mengangguk, matanya dengan serius mengamati isi berkas-berkas tersebut "terimakasih, anda sudah bekerja keras sepertinya, saya akan mengirimkan hadiah untuk anda" sokter Mike tersenyum.

"Saya sangat senang bekerja dengan anda. Namun, apakah saya boleh bertanya sesuatu ?"

"Ya tentu saja, tuan Pitt"

"Mengenai wanita itu, mengapa anda ingin menyelidiki tentang dia ?"

Ada ketegangan yang menyelimuti kedua laki-laki seumuran itu, dokter Mike terlihat sedang berpikir keras, ia menimbang-nimbang apakah rekannya itu berhak tahu rencananya.

"Saya tidak akan memaksa anda untuk menjawabnya. Saya pamit, dokter"

"Oh iya, berhati-hatilah tuan"

Dokter Mike berdiri dari kursinya untuk memberi hormat pada tuan Pitt.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status