Share

Chapter I - Penculikan

Noah merasakan dirinya sedang diikuti segerombolan orang. Dan benar saja, sekelompok pria berjas yang mengenakan topeng putih tanpa mimik wajah terlihat sedang menuju ke arah Noah.

“Apa – apaan orang itu! Apakah mereka sedang ikut lomba Cosplay dan kalah? Lalu kenapa aku yang mereka kejar?”

Noah sempat menggerutu sembari menjauh dari gerombolan pria tersebut. Namun, tiba-tiba percobaan melarikan diri Noah terhenti karena dia kini didekap oleh pria bertopeng lain yang mengejar dari arah lain.

“Hei. Kenapa kalian melakukan ini? Apalagi salahku, sialan?”

Kemudian, Noah dilempar masuk ke dalam bagasi belakang mobil dengan keadaan tangan serta kaki diikat erat, dan dibawa entah kemana. Setelah sejam lamanya berada di dalam mobil, Noah mencoba melihat keadaan sekitar. Sekilas Noah melihat sebuah papan nama toko yang bertuliskan Papratno, sebuah Desa yang masih terletak di Kota Madya Kakanj. Noah masih merasa kebingungan sekaligus sedikit lega mengetahui Dia tidak dibawa terlalu jauh.

“Hei. Kau pikir anak ini akan mampu menahan obat dari profesor? Bukankah beliau menyuruh kita untuk mencari tikus percobaan yang lebih baik kali ini?”

Dua orang pria berjas sedang berbincang-bincang mengenai hal yang tidak lazim seperti obat dan tikus percobaan. Noah semakin bingung dengan perbincangan tersebut dan lebih memilih untuk menyimak lebih jauh.

“Tenanglah, anak ini sudah diincar oleh bos pengawas. Jadi tidak mungkin kita salah memilih, apa kau meragukan bos kita hah?”

“Bukan begitu bangsat. Aku hanya tidak ingin kita dihajar lagi oleh bos. Kau pikir sudah berapa kali kita gagal mencari tikus percobaan profesor selama ini?”

Tidak lama berselang, perdebatan mereka berhenti serentak berkurangnya kecepatan mobil yang mereka kendarai. Akhirnya mereka berhenti di sebuah pabrik kumuh antah berantah.

Noah pun diangkut oleh salah satu dari mereka dan dibawa ke dalam pabrik tersebut. Tikus berlarian kesana kemari seolah mewaspadai kedatangan gerombolan pria bertopeng bersama dengan Noah. Air menetes keluar dari pipa yang sudah usang dan berlumut. Suara yang paling nyaring terdengar di telinga Noah hanyalah suara derap langkah pria bertopeng yang serentak berirama dan tidak berantakan bagaikan pasukan baris berbaris.

Mereka pun tiba di sebuah ruangan seperti laboratorium yang tidak layak pakai namun masih berfungsi, dengan nyala lampu yang hampir padam seolah mereka sedang berada di pesta topeng remang-remang. Kedatangan mereka disambut oleh seorang pria tua bungkuk yang mengenakan jas laboratorium yang sama usangnya dengan laboratorium itu.

“Sepertinya tidak perlu berjam-jam untuk membawa anak ini. Apa yang kalian lakukan?”

“Maaf atas kelalaian kami Profesor.”

Suara mereka bergema di seluruh penjuru ruangan. Hanya Noah yang masih terdiam kaku dan ketakutan di pundak salah seorang pria bertopeng tersebut. Pria tua yang disebut Profesor itupun langsung menghampiri Noah dan tersenyum.

“Akhirnya kita menemukannya. Tidak sia-sia aku meminta Tuan Chris untuk mengurus hal ini.”

Pria berjas yang membawa Noah tadi langsung meletakkan Noah diatas sebuah ranjang dan melepas ikatan di tangan, kaki, dan mulutnya.

“Apa yang mau kalian lakukan padaku? Apa salahku? Kenapa tidak pernah sama sekali hariku berjalan tanpa masalah?”

Air mata mengalir di pelupuk matanya sambil meracau dan memohon kepada profesor itu agar segera dilepaskan. Dia hanya berpikir ingin hidup dan hidupnya berjalan dengan tenang. Beberapa detik kemudian, profesor itu langsung mengelus rambut Noah dan memberikan senyuman kecil yang tampak tulus.

“Aku akan membebaskanmu dari penderitaan ini, Noah. Aku telah berjanji kepada seseorang dan janji itu akan kutepati saat ini juga karena kupikir waktuku sudah tidak akan lama lagi. Jadi kumohon tenanglah untuk sesaat.”

TSSIP!

Seketika pandangan Noah mulai kabur dan tenaganya seakan lenyap. Dia sempat melihat sekilas seorang pria bertopeng memberikan suntikan penenang di leher Noah. Kalau dihitung sudah dua kali Noah dibuat tidak sadarkan diri hari ini.

***

Noah terbaring di sebuah padang rumput yang sangat luas dan datar seolah tidak memiliki gunung dan lembah. Sambil menatap langit, Noah dikagetkan dengan suara pria yang sangat familiar di telinganya.

“Hei. Apa kau tidak rindu padaku, Nak?”

“Ayah?”

Air mata Noah mengalir, tak kuasa menahan rindu yang selama 9 tahun Dia rasakan sejak kepergian Ayahnya. Sejenak suasana menjadi haru walaupun saat itu hanya mereka berdua yang berada disana. Noah yang selama 9 tahun kehilangan senyuman di bibirnya, kini menampakkan cengiran lebar kepada Ayahnya. Dia sadar bahwa ini tidak nyata, namun siapapun takkan melewatkan kesempatan sebahagia ini dalam hidupnya.

“Kau tahu Ayah, apakah seperti ini rasanya mengalami lucid dream?”

“Siapa yang tahu. Karena itu pengalaman masing-masing orang. Hanya kaulah yang dapat menilai itu.”

Perbincangan mereka semakin terasa ramah dan akrab. Noah mencoba sebisa mungkin memanfaatkan waktu yang tidak nyata ini. Dia sadar kalau efek obat itu tidak akan lama. Kalaupun lama, itu berarti dirinya memang sudah mati. Apa boleh buat.

Di padang rumput itu mereka berjalan berdua, mencoba menanyakan mempertanyakan keadaan masing-masing. Sesekali mereka tertawa dengan beberapa cerita yang mereka anggap lucu, karena memang ayah dan anak ini memiliki selera humor yang sama.

“Ayah. Apa nanti Ayah akan meninggalkanku lagi? Apakah aku bisa disini lebih lama lagi?”

“Tidak, nak. Ayah akan selalu bersamamu selamanya. Dimana? Di sini. Kuharap kau selalu kuat dan tegar karena hidup memang penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, Ayah disini akan selalu menemanimu sampai kapanpun.”

Seketika, suasana akrab tadi kembali menjadi haru. Air mata kini mulai membasahi pipi Noah yang melihat jari telunjuk ayahnya yang menyentuh dada kirinya. Saat itu pula, cuaca padang rumput yang semula cerah sekejap berubah menjadi gelap gulita. Begitu Noah berkedip, ayahnya sudah tidak ada di hadapannya lagi.

Terdengar suara petir yang menggelegar di dalam Lucid Dream milik Noah dan disusul dengan suara berdenging yang memekakkan telinga. Noah mulai membuka matanya dan setelah sadar, dia malah dibuat kaget lagi oleh sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.

“Apa yang terjadi di sini? Ada apa dengan orang – orang ini?”

Noah dibuat kaget karena mendapati orang-orang disekitarnya tergeletak tidak bernyawa dan bermandikan darah. Pria bertopeng barusan yang bahkan tampak akan selalu bergeming walaupun dihantam oleh sepeda motor, kini terbaring tidak bernyawa dengan luka tusukan parah di bagian perut.

Noah hanya terdiam dan menggigil ketakutan, seolah tertusuk oleh dingin malam dan kejadian luar biasa yang dialaminya. Noah pun memberanikan diri untuk bergerak dan berjalan keluar pabrik sesegera mungkin.

Namun, tidak lama kemudian terdengar suara rintihan di sudut ruangan dekat dengan sebuah meja kerja. Ternyata itu adalah profesor yang sedang bersimbah darah dan merintih. Noah berhenti karena namanya disebut. Profesor itu menyampaikan sesuatu yang singkat, padat, namun tidak jelas kepada Noah.

“Noah, ingatlah. Kini kau telah dikaruniai sebuah kekuatan. Tapi kekuatan itu belum sepenuhnya sempurna. Jadi, jagalah emosimu yang....“

Pada akhirnya profesor itu menghembuskan nafas terakhirnya saat itu. Noah semakin bingung dan takut. Dia akhirnya mengucap belasungkawa dan secepat mungkin melarikan diri dari tempat aneh tersebut.

Malam itu menunjukkan pukul sepuluh, dan Noah telah sampai dirumah dengan selamat. Bukannya mengkhawatirkan dirinya sendiri, dia justru takut ibunya mengkhawatirkan dirinya.

Namun kekhawatiran itu sirna setelah melihat ibunya kini tertidur lelap di kamar. Noah segera membersihkan diri dan mencoba merahasiakan hal yang menimpanya dari ibunya. Malam hari ini walaupun pelan tapi pasti telah berganti menjadi fajar keesokan harinya. Noah berusaha bersikap biasa saja tanpa menimbulkan kecurigaan bagi ibunya.

“Ibu. Aku berangkat ke kampus dulu.”

“Hei, Noah. Jangan pulang terlalu lama! Ibu akan masak enak nanti.”

“Baiklah.”

Noah berjalan dengan cepat menuju kampus. Baru 5 menit perjalanan, dia sudah dihampiri oleh wanita yang kemarin menolongnya. Noah teringat dia sempat memperkenalkan diri, namun dia tidak kenal siapa wanita itu.

“Hai. Kita bertemu lagi ya. Sepertinya ini takdir yang kurang menguntungkan untukmu.”

Wanita itu tertawa kecil melihat Noah yang hanya memandang ke depan.

“Namamu....“

Wanita itu sedikit kebingungan dengan perkataan Noah yang kurang jelas.

“Siapa namamu? Kemarin aku sudah memperkenalkan diriku, padahal kau kenal aku. Tapi kau sendiri tidak memperkenalkan dirimu.”

Noah sedikit meninggikan suaranya karena kesal. Wanita itupun tersenyum.

“Vilma. Namaku Vilma Hondress.”

Ah. Noah seketika lemas dan mengernyitkan dahi. Di mulai merasakan De Javu kemarin seperti akan terjadi hari ini juga. Vilma adalah wanita yang dinyatakan perasaannya oleh Besim, dan kini wanita itu ada di dekat Noah. Sepertinya kesialan ini akan dialami oleh Noah hingga hari kematiannya.

“Hei, bangs*t!”

Noah menghela nafas dan, perlahan berbalik arah ke sumber suara.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status