#PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p
#PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti
Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa
Tim Bang Ochi____________________________Mereka tiba di Dusun Jati, Desa Timbanuh, Lombok Timur sekitar pukul 08.15 WITA. Bang Ochi, Unyil, Rendy, Luris, dan Dini segera mengurus simaksi di Pos Pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani. Hujan turun cukup lebat disertai kabut tipis-tipis semakin menyamarkan suasana desa. Hampir di setiap sudut tampak sepi karena sebagian warga masih meringkuk kedinginan. Suhu udara di desa ini bisa menyentuh angka 15° celcius di pagi hari.Sembari menunggu hujan reda, Unyil mengeluarkan trangia, bermaksud memasak air untuk menghangatkan tubuh dan suasana."Bang Ochi, ayo ngopi dulu sambil nunggu hujan reda." Unyil menawarkan sambil tangannya mengeluarkan gelas dan tumbler penyimpan air dari dalam carrier. Uap napas tampak jelas berembus saat ia berbicara. "Ok, boleh. Saya beli pisang goreng dulu sebentar di sebelah biar lebih pas rasanya kita ngobrol," jawab Bang Ochi menerima tawaran itu.Rasa kopi yang sedikit terasa pahit ditemani pisang goreng y
__________________________________Minggu. Jalur Selatan Rinjani.Waktu menunjukkan pukul 07.00 WITA. Asap api unggun yang menyala dari semalam masih membumbung, memayungipagi. Padang edelweiss memenuhi setiap sudut mata memandang. Kilau sinar matahari pagi tertampung pada bulir embun yang menggantung, terlihat indah pada jaring laba-laba yang terajut memikat. Kupu-kupu beterbangan, ia tak berkata, tetapi mampu memikat hati dan mata. Benar-benar pagi yang sempurna.Setelah semua anggota tim terbangun dan sarapan, mereka fokus mengatur rencana agar sampai di Pelawangan Jalur Selatan sebelum gelap. Tak lupa, mereka mengisi jeriken-jeriken kosong dengan air untuk persediaan selama dalam perjalanan. Pukul 09.00 WITA, mereka berangkat menuju pelawangan. Sesekali, mereka mengayunkan tajamnya pisau tramontina untuk memotong semak yang menghalangi jalan. Sebelum tiba di Pelawangan Jalur Selatan, ada dua pos yang akan mereka lewati yaitu Pos 2 dan Pos 3 Cemara Rompes.Jalur menuju Pos 3 me
Tim Bang Ron________________________ Danau Segara Anak Rinjani.Sekitar lima kilometer dari Pelawangan Jalur Selatan. Tim ekspedisi terdiri dari delapan orang pendaki, yaitu Bang Ron, Diah, Zahra, Jeko, Opik, Ibnu, Alit, dan Fadly.Waktu menunjukkan pukul 05.55 WITA. Udara lembap, dingin, dan berkabut. Langit kian lengang manakala cahaya ribuan bintang yang tadinya berserakan, tersapu sinar mentari yang angkuh. Barisan pohon cemara, tak pernah bosan mendengar bisikan angin yang membasah. Rantingnya menari-nari mengikuti arah angin. Di atas batu hitam yang dingin, Diah duduk sambil melihat para pendaki yang sedang asik memancing di pagi buta. Di hadapannya, ada danau membentang seluas mata memandang bernama Danau Segara Anak. Danau ini memiliki luas sekitar 11.3 kilometer persegi dan berbatasan langsung dengan tebing kawah Rinjani. Danau berair jernih ini, berada di dalam cekungan kaldera yang terbentuk sejak letusan Rinjani Purba atau Samalas pada tahun 1257 Masehi. Di sisi timu
__________________________"Siapa di sana?!" Suara Fadly bertanya dengan lantang. Ia mengira itu adalah ulah pendaki lain yang usil. Sepi. Tak ada jawaban. Alit menarik bahu Fadly agar tidak mendekati tempat yang dikencingi Opik. "Nah, ini, makanya jangan pisah dari tim! Nggak mungkin saya bisa awasi kalian semua!" tegas Bang Ron dengan nada sedikit kesal.Diah dan Zahra segera membereskan peralatan memasak dan alat makan tanpa mencucinya terlebih dulu. Semua dimasukkan ke dalam carrier secara asal. Mereka bergegas untuk meninggalkan tempat itu."Ayo, kita jalan! Mata harus tetap awas dan kita harus saling jaga satu sama lain," tegas Bang Ron. Dalam perjalanan menuju jalur tebing, Bang Ron menasihati tim agar tidak meremehkan prosedur standar keamanan saat berada di alam bebas. "Ingat, kalianlah yang ingin agar kita cepat sampai. Jadi, tolong ikuti arahan. Ingat, pulang ke rumah masing-masing adalah tujuan kita sesungguhnya, bukan puncak Rinjani yang kemarin kalian taklukkan!""
Pertemuan Tim Bang Ron dan Tim Bang Ochi____________________________Bang Ron terjatuh.Teriakan tim ekspedisi memenuhi kawah Rinjani. Tak hanya suara riuh kepanikan yang terdengar magrib itu, tetapi ada suara lain yang ikut melengking keras. Seketika, mereka saling menatap kebingungan. Riuh suara misterius yang terdengar magrib itu, seakan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain mengikuti mereka. Sandikala, waktu untuk makhluk dimensi lain berkeliaran."Apa itu?" tanya diah pada Zahra.Mata Zahra membeliak, lalu tiba-tiba lemas tak sadarkan diri. Nasib baik, tubuh Zahra dapat muat pada jalur berukuran tiga jengkal berbatas jurang. Badannya tertahan oleh tas carrier yang melekat di punggungnya.Refleks, tangan Diah meraih ujung carrier dan menahan tubuh Zahra yang mulai bergeser agar tak jatuh menyusul Bang Ron."Tahan, jangan sampai lepas!" teriak Alit melihat Diah menahan tubuh Zahra hampir menggantung di tebing.Sekuat tenaga Diah menahan tubuh itu, lalu menariknya hingga tak be