Share

Bab 4 (Leader Hilang Tertelan Jurang Berselimut Awan)

_____________

_____________

"Siapa di sana?!" Suara Fadly bertanya dengan lantang. Ia mengira itu adalah ulah pendaki lain yang usil.

Sepi. Tak ada jawaban.

Alit menarik bahu Fadly agar tidak mendekati tempat yang dikencingi Opik.

"Nah, ini, makanya jangan pisah dari tim! Nggak mungkin saya bisa awasi kalian semua!" tegas Bang Ron dengan nada sedikit kesal.

Diah dan Zahra segera membereskan peralatan memasak dan alat makan tanpa mencucinya terlebih dulu. Semua dimasukkan ke dalam carrier secara asal. Mereka bergegas untuk meninggalkan tempat itu.

"Ayo, kita jalan! Mata harus tetap awas dan kita harus saling jaga satu sama lain," tegas Bang Ron.

Dalam perjalanan menuju jalur tebing, Bang Ron menasihati tim agar tidak meremehkan prosedur standar keamanan saat berada di alam bebas.

"Ingat, kalianlah yang ingin agar kita cepat sampai. Jadi, tolong ikuti arahan. Ingat, pulang ke rumah masing-masing adalah tujuan kita sesungguhnya, bukan puncak Rinjani yang kemarin kalian taklukkan!"

"Baik, Bang, kami ngerti. Maaf, ya." Zahra menimpali.

"Memisahkan diri dari tim saat berada di alam bebas yang masih asing adalah tindakan yang kurang tepat dan ceroboh! Mau buang air kecil pun, harus ada yang menemani. Sudah banyak orang yang hilang karena meremehkan sesuatu yang sederhana. Harusnya itu bisa jadi pelajaran!" tegas Bang Ron.

Satu per satu anggota Tim Bang Ron mulai menapakkan kaki pada tanjakan pertama yang relatif aman. Jalur tebing sudah di depan mata. Mereka menatap takjub melihat tebing serupa tembok raksasa menghadang di depan.

"Wah, ternyata jalurnya nggak sesulit Gunung Semeru, ya. Bahkan, Raung jauh lebih ekstrim, deh, kayaknya dibandingkan jalur selatan ini," kata Jeko meremehkan jalur pendakian yang relatif aman.

Bang Ron tak merespon perkataan Jeko. Ia fokus menjalankan tugasnya sebagai leader, terus berjalan menuntun timnya melintasi jalur dengan pohon cemara tumbuh menempel di atas tebing.

Semakin mendaki, medan yang dilalui semakin menanjak dan curam. Dua jam sudah mereka berjalan menyusuri jalur sempit yang mengikuti kontur tebing dengan kemiringan 80 derajat.

"Ini serius jalurnya begini terus, Bang," tanya Jeko kepada Bang Ron. Ia menyandarkan punggungnya pada tebing karena lelah.

"Iya, lebih ekstrim gunung mana?" tanya Bang Ron menyindir agar mereka tidak lagi meremehkan alam di mana pun dan kapan pun.

Setelah membalas ucapan Jeko, tiba-tiba, raut wajah Bang Ron berubah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan seakan memastikan jalur yang telah dilalui. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Dua jam sudah mereka menyusuri jalur tebing, memanjat batu besar, dan berjalan menyamping, tetapi timnya belum juga tiba di letter Z.

Untuk melepas lelah, mereka beristirahat di tengah jalur yang berbatasan langsung dengan jurang sedalam puluhan meter. Bang Ron terlihat mulai letih, terlebih ia belum makan siang hingga menjelang sore, sedangkan perjalanan itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Keringat membasahi kaos yang dipakainya.

Hari sudah mulai sore, matahari semakin tergelincir di ufuk barat sana. Perkiraan Bang Ron meleset. Tebing yang biasa dilewati paling lama dua setengah jam, kini terasa panjang dan melelahkan. Mereka belum juga sampai di letter Z, jalur tebing zig-zag yang harus dilewati dengan cara memanjat dan tangan harus berpegangan kuat.

"Biskuit, Abang." Zahra menyodorkan dua keping biskuit kepada Bang Ron sebelum melanjutkan perjalanan.

***

Pukul 18.05 WITA, Bang Ron dan timnya tiba di tebing letter Z. Kini, mereka harus memanjat satu persatu di bawah remang magrib yang dingin dan berkabut. Letter Z merupakan satu-satunya jalur yang harus dilewati pendaki untuk bisa sampai di Pelawangan Jalur Selatan.

"Ayo, semua siapkan headlamp," perintah Bang Ron karena hari mulai redup dan angin dingin berembus cukup kencang.

Pemandangan dari letter Z ke arah danau sungguh membuat ngilu. Untuk melihat jalur yang ada di bawah pun, pandangan mata serasa berayun. Sedikit saja salah langkah, maka batu-batu tajam siap menyapa dan mengantar para pendaki ke alam baka.

"Perhatikan baik-baik, ya, ini jalurnya zig-zag. Tangan wajib berpegangan pada tebing dan jangan melihat ke bawah, nanti pusing." Bang Ron memberi arahan. Ia tampak terburu-buru karena hari semakin merangkak menuju gelap. "Miringkan badan agak menempel ke arah tebing untuk mengurangi beban tas carrier kalian. Kalau kalian tidak yakin, lepas aja carrier-nya dan estafetkan ke atas," lanjut Bang Ron.

Setelah semua mengerti apa yang diarahkan, Bang Ron memanjat terlebih dulu untuk memberi contoh.

Kondisi Bang Ron sudah benar-benar letih, perutnya kosong cukup lama. Keringat dingin mengucur deras dan kedua telapak tangannya juga mulai basah. Ia mencoba berjalan menyamping ke arah kanan menanjak sekitar tujuh meter, kemudian ia harus menyeberang ke arah kiri lima meter.

Diah dan Zahra membuntuti Bang Ron, lalu diikuti Opik serta Jeko. Paling akhir, ada Alit, Fadly, dan Ibnu. Mereka mulai memanjat sesuai arahan Bang Ron.

Awalnya, semua berjalan lancar, tetapi karena perut yang tak terisi, lelah, letih, dan ditambah terpaan angin dingin cukup lama membelai tubuh, Bang Ron mulai tak fokus. Ia berhalusinasi dan tampak berbicara dengan sesuatu yang tak dilihat oleh anggota tim lainnya.

Bang Ron berbicara seakan ada seseorang yang mengarahkannya untuk terus memanjat tebing ke arah kanan.

"Oh, ini pijakannya ... oh, iya," ucap Bang Ron berbicara, seakan-akan lawan bicaranya ada di hadapannya.

Suasana semakin remang. Tiba-tiba, terlihat cahaya lampu yang cukup terang menyorot ke arah tim Bang Ron dari arah Pelawangan Jalur Selatan. Cahaya dari atas itu seperti memberi bantuan penerangan.

Bang Ron terus memanjat agak jauh ke kanan melewati jalur. Diah terdiam, mencoba mengingat-ingat arahan sebelum memanjat.

"Bang, bukannya kata Abang kita harus ke kiri?" teriak Diah. Ia merasa Bang Ron hilang fokus.

Langkah Bang Ron terhenti setelah tersadar oleh teriakan Diah yang mengingatkannya. Ia pun diam tak bergerak setelah menyadari pijakannya terlampau jauh keluar dari jalur yang semestinya. Karena sangat curam dan berbahaya, sang leader tak yakin untuk kembali dan berharap seseorang mempunyai ide untuk membantunya.

"Bantuin, pake apa saja yang ada. Tangan saya licin!" ucap Bang Ron panik.

Kaki Bang Ron hanya berpijak pada batu tebing seujung sepatu gunung. Jemarinya semakin basah oleh keringat dan tak kuat memegang rekahan tebing dengan dua ujung jari.

"Gimana caranya, Bang?!" Alit tak kalah panik.

"Cepat, carrier-nya narik badan saya!"

"Ya Allah, Bang, kita harus gimana?" Fadly sangat bingung dan tak mampu berpikir jernih karena berkejaran dengan waktu.

"Cepat! Jari saya nggak kuat. Licin ... mulai geser!" Bang Ron tak mampu berbuat apa-apa. Carrier di punggungnya semakin membebani tubuhnya yang berusaha menempel pada tebing.

Bang Ron mencoba membuang tas carrier dari punggungnya, tetapi karena lekukan batu pegangan menjadi sangat licin oleh keringat, nahas sang leader ikut terjatuh bersama carrier-nya.

"Ya Allah!"

Panggilan nama Tuhan itu mengiringi tubuh Bang Ron yang terjatuh.

Sontak semua orang yang melihat kejadian itu berteriak histeris, panik, dan terkejut bukan kepalang. Bang Ron yang paling berpengalaman dalam pendakian itu terjatuh. Tubuhnya menghantam batu besar yang berada tak jauh di bawah. Timnya dapat melihat sesuatu membersit dari kepalanya yang terbentur. Carrier berat yang masih menempel di punggungnya kembali menyeret tubuh tak berdaya itu di atas tanah miring. Gravitasi menariknya untuk terus terjun. Bang Ron kembali terjatuh dan hilang tertelan jurang yang tertutup awan tebal. Ia terjatuh dari ketinggian lebih dari seratus meter ke dasar kawah Rinjani.

Pendakian itu seolah menjadi bukti bahwa standar keamanan wajiblah dipatuhi. Bahkan, seorang yang berpengalaman pun dapat menjadi mangsa alam liar jika tak memperhatikan kondisi fisik dan asupan. Otak tak akan mampu berpikir logis tanpa perut terisi logistik.

Bahaya dari dalam diri dan faktor eksternal tak lelah mengintai jiwa-jiwa yang lengah!

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status