Share

Bab 3 (Ikan Besar Berbulu Ijuk)

Tim Bang Ron

____________

____________

Danau Segara Anak Rinjani.

Sekitar lima kilometer dari Pelawangan Jalur Selatan. Tim ekspedisi terdiri dari delapan orang pendaki, yaitu Bang Ron, Diah, Zahra, Jeko, Opik, Ibnu, Alit, dan Fadly.

Waktu menunjukkan pukul 05.55 WITA. Udara lembap, dingin, dan berkabut. Langit kian lengang manakala cahaya ribuan bintang yang tadinya berserakan, tersapu sinar mentari yang angkuh.

Barisan pohon cemara, tak pernah bosan mendengar bisikan angin yang membasah. Rantingnya menari-nari mengikuti arah angin.

Di atas batu hitam yang dingin, Diah duduk sambil melihat para pendaki yang sedang asik memancing di pagi buta. Di hadapannya, ada danau membentang seluas mata memandang bernama Danau Segara Anak. Danau ini memiliki luas sekitar 11.3 kilometer persegi dan berbatasan langsung dengan tebing kawah Rinjani. Danau berair jernih ini, berada di dalam cekungan kaldera yang terbentuk sejak letusan Rinjani Purba atau Samalas pada tahun 1257 Masehi.

Di sisi timur, persis di bawah pohon cemara, terlihat bocah sedang memancing. Sementara itu, ayahnya asyik memungut ikan yang menepi karena kadar belerang yang tinggi. Di hadapannya, ikan-ikan karper dan mujair seolah berlindung pada rerumputan yang terendam. Saat pagi, banyak ikan menepi menghindari racun belerang yang larut dari arah Gunung Baru Jari.

Ikan-ikan di Danau Segara Anak, telah beranak pinak sejak tahun 1996. Saat itu, Presiden Soeharto beserta rombongan melakukan pelepasan puluhan ribu bibit ikan ke danau tersebut. Ikan-ikan itu beradaptasi dan menolak untuk punah hingga kini.

Di atas permukaan air danau, uap air serupa awan tipis menari-nari bersama angin, mengangkasa, lalu hilang.

Di seberang sana, sesekali suara gemuruh terdengar dari longsoran batu di dalam kawah Gunung Baru Jari. Suara-suara mengerikan itu seakan memberi pertanda.

Sedikit ke arah tenggara, pucuk Rinjani mulai tampak menguning terpapar cahaya matahari. Puncak yang mungkin saja masih membeku kedinginan.

"Mari ngopi, Mbak Diah." Tiba-tiba, Bang Ron menawarkan sambil tangannya lincah mengaduk cairan hitam itu di dalam gelas plastik bermotif polka dot.

Tentu saja Diah menerima tawaran itu dengan senyum terindahnya.

Selalu saja, hangatnya kopi mampu melebur kebekuan.

"Kita start pukul sembilan teng, ya, Mbak. Sesuai kesepakatan kita bersama tim semalam. Jadi, nanti kita akan lewati jalur ini, melipir lewat tebing di atas danau," kata Bang Ron membuka obrolan sambil menunjukkan jalur pulang melalui jalur selatan. Sebagai anggota tim yang paling berpengalaman, ia ditunjuk sebagai leader.

"Kira-kira, butuh berapa lama dari camping ground ke kaki Gunung Baru Jari?" Diah bertanya dengan penuh penasaran sambil menyeruput kopi hitam buatan Bang Ron.

"Kalau lancar, kita bisa tiba di sana sekitar dua jam," jawab Bang Ron dengan pasti.

"Siplah, Bang." Diah menimpali, walaupun sebenarnya ada keraguan dalam hatinya.

"Untuk sekedar info aja, jadi jalur selatan ini sangat ekstrim. Jalurnya bukan nanjak lagi, tapi ini tebing yang berdiri tegak!" kata Bang Ron. Ia kembali menunjuk jalur serupa tembok raksasa yang tegak berdiri menjulang itu. "Jalur ini bukan jalur resmi, tapi dapat memangkas waktu tempuh kita agar lebih cepat sampai di Lombok Timur," lanjut Bang Ron.

Dari kejauhan, seolah tak ada jalur. Hanya ada tebing menjulang puluhan bahkan ratusan meter tingginya. Tampak mengerikan.

Melihat itu, ada rasa ngilu yang Diah rasakan pada kakinya saat membayangkan trek yang sangat ekstrem untuk dilalui.

"Selamat pagi, Rinjani yang cantik," ucap Jeko saat baru saja terbangun. Ia mengusap wajah sejenak, lalu tangan kanannya segera meluncur menuju kopi.

"Stop! Tolong ... tolong banget, cuci muka, wudhu, dan sholat subuh, baru ngopi!" ucap Diah ketus menyingkirkan tangan Jeko.

"Hee, kesiangan aku." Jeko cengengesan.

Pukul 07.00 WITA, semua anggota tim sudah terbangun. Kemudian, mereka membagi tugas.

Diah dan Zahra bertugas memasak dan menyiapkan sarapan untuk tim. Mereka mengolah ikan hasil memancing semalam dan tak lupa ikan asin yang mereka beli di Pasar Aikmel.

Aroma ikan asin yang digoreng menyatu dengan aroma tajam sambal terasi yang diberi perasan jeruk limau. Baunya menguar memenuhi danau dan merangsek masuk ke dalam tenda para pendaki.

Jeko, Alit, Ibnu, dan Fadly bertugas mengambil air ke sumber mata air di dekat Aiq Kalak --tempat permandian air panas-- yang berjarak sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Opik dan anggota tim yang tersisa, membereskan tenda agar segera bisa start setelah sarapan.

Setelah menu sarapan siap, semua anggota tim ekspedisi duduk melingkar di depan menu sarapan yang tersedia.

Ikan karper, ikan asin, telur dadar, mie rebus, dan sambal terasi benar-benar menggugah selera. Para atlit makan pun beraksi.

Tiap bulir nasi dieksekusi hingga ke sudut-sudut terjauh dari jangkauan, bahkan ke balik sendok.

Pendakian itu benar-benar mengajarkan mereka arti persahabatan, kebersamaan, dan keterbatasan di saat makanan sedikit, tetapi harus cukup untuk semua orang.

Setelah sarapan selesai, waktu masih menunjukkan pukul 8.15 WITA. Lagi, kopi tak ingin ketinggalan untuk dinikmati sebelum berangkat menjajal jalur selatan.

Sembari menyeruput kopi, Bang Ron memimpin briefing untuk mengatur skenario pendakian pulang melalui jalur selatan.

"Jadi, mohon perhatikan baik-baik, air sangat berharga karena beberapa jam ke depan, kita tidak punya sumber air bersih sebelum sampai di bawah kaki Baru Jari. Jadi, tolong manajemen air diperhatikan karena jarak cukup jauh," saran dari Bang Ron kepada tim.

Tim ekspedisi khusyuk mendengar.

"Kita akan berjalan melipir dari pinggir danau hingga kaki Gunung Baru Jari. Kemudian, kita istirahat di sana untuk makan siang. Selesai makan siang, baru kita lanjutkan lagi perjalanan, dan mohon agar mata tetap awas karena trek ini berupa tebing. Kita akan berjalan menyamping, berpegangan pada tebing dengan waktu tempuh sekitar dua setengah jam sebelum sampai di Pelawangan Jalur Selatan. Dengan catatan tidak ada kendala," tutup Bang Ron.

***

Diah memasang sepatu trekking dengan penuh ragu. Diamankannya satu botol besar air minum di sisi carriernya untuk persediaan di jalan.

Setelah pukul 09.07 WITA, tim siap berangkat. Mereka berjalan melintasi padang ilalang ditemani suara burung dan suara katak yang sedang bercinta. Dikelilingi tebing serupa dinding raksasa yang terkelupas, pendakian itu sangat menantang dan berkesan.

Tiba-tiba, mendung menyandera langit yang tadinya biru. Hujan kini menderu.

"Wah, Bang, tebingnya agak licin. Apa kita masih harus lanjut?" Suara Opik yang berada di posisi paling belakang.

"Nggak apa-apa, terus aja!" jawab Bang Ron mantap.

Perlahan, mereka meniti jalur tebing yang berjarak satu meter di atas permukaan air danau yang dalam dan berwarna kecokelatan. Keruh pekat akibat belerang yang larut.

Jari-jari tangan mereka berpegangan pada rekahan tebing yang terbentuk pada abad ke-13 lalu.

Saat berpegangan pada sebuah celah berlubang seukuran bola kasti, tangan Diah tak sengaja menyentuh tangan yang lain. Terasa dingin dan kurus seperti ranting, tetapi bergerak. Sontak ia terkejut dan melepaskan pegangan hingga tercebur ke danau beserta tas carrier-nya.

Tiba-tiba, di dalam air danau yang keruh dan dingin, betisnya tersenggol sesuatu yang bergerak, besar, dan terasa kasar. Tampak air danau itu bergolak karena sesuatu yang besar bergerak di dalamnya.

Dengan wajah pucat Diah meminta tolong ke rekan-rekannya. "Tolongin, Bang ... ada yang sentuh kaki saya," teriaknya karena panik.

"Pegang ini." Opik menjulurkan tongkatnya sambil menertawai Diah yang masih berusaha keluar dari air.

Akhirnya, Diah dapat menepi dengan selamat.

Setelah mereka tiba di Gunung Baru Jari, langit kembali membiru. Saat tim beristirahat, Bang Ron berpesan agar jangan panik ketika ada masalah apapun.

"Teman-teman, kegiatan alam bebas itu bahaya, rumah sakit jauh." Sambil bercanda, ia menasehati anggota tim yang dibawanya. "Jalur ini sepi, ketika ada sesuatu terjadi dan kita panik, maka keadaan justru akan memburuk. Panik itu sumber segala masalah di alam bebas," lanjut Bang Ron.

Mendengar perkataan Bang Ron, Diah berusaha menenangkan diri.

Setelah mereka selesai mendengar masukan dan nasihat Bang Ron, mereka makan siang di bawah teduhnya cemara gunung hingga pukul 14.00 WITA.

Pemandangan kaki gunung Baru Jari serupa hamparan lautan pasir yang luas dengan bongkahan-bongkahan batu setinggi gedung tiga lantai. Serupa kapal yang berlabuh.

Semua anggota tim menyantap makan siang yang telah disajikan Diah dan Zahra, kecuali Bang Ron.

"Mari bang, kita makan dulu," ajak Zahra kepada Bang Ron yang asik mengisap rokok sambil memandang arah danau.

"Woles aja, Mbak. Masih kenyang, aku cukup ngopi aja, yang penting ada rokok, amaaan." Bang Ron menolak sambil tersenyum.

"Ayolah, Bang, biar samaan."

"Ntar aja sekalian di pelawangan," lanjut Bang Ron.

Setelah selesai istirahat dan makan siang, tim kembali melanjutkan perjalanan.

Tiba-tiba, Opik berjalan ke tepian danau. Ia kencing di belakang batu pipih besar, tempat di mana para penghayat kepercayaan menaruh sesaji sebelum dilarung ke danau. Selain itu, entah apa yang ia lakukan di sana.

Selesai menuntaskan hajatnya, tak sengaja Opik melihat seorang kakek tua yang sedang memancing sambil melirik-lirik ke arahnya. Tampak jelas barisan tulang dada yang kurus dan perut yang sangat ramping dari laki-laki tua itu.

Opik penasaran, lalu mencoba menyapa dengan nada ramah. Kakek itu hanya diam dengan raut wajah datar. Tatapan tajamnya menimbulkan kesan tak suka pada Opik.

Baru saja mendekat beberapa langkah, tak sengaja Opik melihat hasil pancingan si kakek. Seketika ia terperanjat melihat ikan tangkapan yang menggelepar di tepi danau. Tubuh ikan yang ditumbuhi bulu serupa ijuk itu diikat dengan tali tambang.

Sekuat tenaga, Opik berlari menuju teman-temannya. Namun, kakek misterius itu terus saja membuntuti dengan menyeret salah satu kakinya yang kurus kering dan bengkok. Ia benar-benar marah dan memburu Opik.

Opik berlari tunggang langgang, wajahnya memucat. Ia segera meminta tim agar bergegas pergi dari tempat itu.

"Ayo teman-teman ... Bang Ron, ayo." Bibir Opik pucat pasi.

"Elu kenapa, Pik?" tanya Zahra.

"Ayo, cepat kita pergi dari sini. Tu kakek dapat ikan segede gaban, berbulu!" Dengan nafas memburu ia bercerita.

"Jangan becanda gitu, sialan kamu, Pik!" Ibnu tampak kesal.

Seketika, ada aura keganjilan yang mereka rasakan. Alam tiba-tiba menjadi sunyi. Samar-samar, dari arah tempat opik buang air kecil, terdengar suara orang terbatuk dengan suara yang sangat dalam.

"Kurang ajar kamu!" Suara berat terdengar dari balik batu.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status