__________________________"Siapa di sana?!" Suara Fadly bertanya dengan lantang. Ia mengira itu adalah ulah pendaki lain yang usil. Sepi. Tak ada jawaban. Alit menarik bahu Fadly agar tidak mendekati tempat yang dikencingi Opik. "Nah, ini, makanya jangan pisah dari tim! Nggak mungkin saya bisa awasi kalian semua!" tegas Bang Ron dengan nada sedikit kesal.Diah dan Zahra segera membereskan peralatan memasak dan alat makan tanpa mencucinya terlebih dulu. Semua dimasukkan ke dalam carrier secara asal. Mereka bergegas untuk meninggalkan tempat itu."Ayo, kita jalan! Mata harus tetap awas dan kita harus saling jaga satu sama lain," tegas Bang Ron. Dalam perjalanan menuju jalur tebing, Bang Ron menasihati tim agar tidak meremehkan prosedur standar keamanan saat berada di alam bebas. "Ingat, kalianlah yang ingin agar kita cepat sampai. Jadi, tolong ikuti arahan. Ingat, pulang ke rumah masing-masing adalah tujuan kita sesungguhnya, bukan puncak Rinjani yang kemarin kalian taklukkan!""
Pertemuan Tim Bang Ron dan Tim Bang Ochi____________________________Bang Ron terjatuh.Teriakan tim ekspedisi memenuhi kawah Rinjani. Tak hanya suara riuh kepanikan yang terdengar magrib itu, tetapi ada suara lain yang ikut melengking keras. Seketika, mereka saling menatap kebingungan. Riuh suara misterius yang terdengar magrib itu, seakan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain mengikuti mereka. Sandikala, waktu untuk makhluk dimensi lain berkeliaran."Apa itu?" tanya diah pada Zahra.Mata Zahra membeliak, lalu tiba-tiba lemas tak sadarkan diri. Nasib baik, tubuh Zahra dapat muat pada jalur berukuran tiga jengkal berbatas jurang. Badannya tertahan oleh tas carrier yang melekat di punggungnya.Refleks, tangan Diah meraih ujung carrier dan menahan tubuh Zahra yang mulai bergeser agar tak jatuh menyusul Bang Ron."Tahan, jangan sampai lepas!" teriak Alit melihat Diah menahan tubuh Zahra hampir menggantung di tebing.Sekuat tenaga Diah menahan tubuh itu, lalu menariknya hingga tak be
____________________________Hujan reda. Unyil bersedia menemani Jeko dan Opik turun ke pintu hutan."Udah siap, Bang?" tanya Unyil kepada Jeko sambil memeriksa cahaya headlamp yang akan ia pakai."Iya, Bang. Kami udah siap," jawab Jeko yakin. Setelah berdoa bersama, Unyil pun menuntun Jeko dan Opik turun ke pintu hutan. "Terus, kita harus bagaimana, Bang?" tanya Rendy pada Bang Ochi."Kita tetap di sini, tenaga kita pasti dibutuhkan saat evakuasi nanti," balas Bang Ochi.***Dalam perjalanan turun, Unyil memimpin dengan yakin. Suara burung hantu dan ayam hutan menemani perjalanan mereka. Padang rumput yang luas, dengan sabar mereka lewati walau serasa tak berujung."Sebenarnya, ini kali pertama juga saya mendaki lewat jalur selatan, Bang Jek, tapi jalurnya sudah diberi stringline sama tim kami," kata Unyil "Tapi, Abang ingat dan tahu, 'kan?" tanya Opik memastikan."Innsyaallah tahu." Unyil terus menuntun mereka melewati padang edelweiss hingga sampai di Pos 3 Cemara Rompes pada
Unyil terbangun karena gigitan semut api pada kelopak matanya. Segera ia mengusap bagian wajah yang tergigit sambil sedikit meringis. Perlahan, gigitan itu tampak meninggalkan bekas berbentuk bulat dan tebal. Waktu menunjukkan pukul 07.14 WITA. Sinar mentari pagi menembus celah hutan tua dengan pepohonan tinggi menjulang. Warna kekuningan mulai meninggi membawa hangat menghidupkan.Di kejauhan, di bawah gunung sana, embun mulai terhangatkan, lalu menguap dan menjadikan bentangan alam terselimuti warna putih tipis. Di hadapan Unyil, abu sisa pembakaran kayu semalam masih terasa sedikit hangat. Asap tipis masih sedikit terlihat mengudara. "Ah, mungkin masih ada baranya, ni." Unyil mengangkat sebatang kayu yang masih sedikit berasap, lalu meniup ujung kayu yang tampak tertutup abu itu dengan napas panjang dan pelan. Ia harus segera membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. "Pik, Bang Jek, udah jam tujuh lewat, nih. Bangun, biar cepet kita bisa sarapan, terus turun.""Mmh, eh, Bang
Pukul 06.00 WITA, mereka bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pintu hutan setelah sebelumnya sarapan hanya dengan seduhan air gula aren.Karena penasaran, Unyil mencoba kembali ke gubuk tempat mereka bertemu orang asing semalam. Namun, apa yang ia lihat pagi itu benar-benar di luar nalar.Dipan tempat mereka duduk semalam lenyap tak berbekas dan tungku tempat Opik memasak juga sepertinya telah cukup lama tidak digunakan sebagai tempat perapian. Tak ada tanda-tanda pernah dipakai semalam."Loh, kok ... bukannya kita di sini semalam, Bang Nyil?" Opik keheranan sambil melihat sekeliling."Ayo, kita pergi, Pik. Kita pergi dari sini!"Mereka kembali memapah Jeko yang semakin tampak pucat. Kakinya mulai mengering, tetapi area sekitar luka semakin membengkak.Langkah demi langkah kecil, mereka susuri medan menurun dengan rintangan akar pepohonan menyulitkan langkah. Sesekali, kaki yang lemas dan menggantung itu terantuk, membuat Jeko meringis berkali-kali. Dengan sabar, mereka be
Tubuh Bang Ron beberapa kali menghantam tebing cadas. Tubuh tak berdaya itu meluncur deras di atas tanah miring, lalu jatuh kembali dan hilang tertelan jurang jalur selatan yang mulai tersamar remang magrib berselimut kabut. Semua terjadi begitu cepat.Alit segera melepas carrier yang menempel di punggungnya, lalu mencoba menuruni tebing dengan hati-hati. Di belakangnya, Ibnu dan Fadly membuntuti."Hati-hati, awas kalian terpeleset!" kata Alit mengingatkan sambil mencari pijakan yang aman dari batuan lepas."Lit, kalau kita turun, Diah sama Zahra, gimana? Mereka masih di atas sana." Fadly tampak khawatir dengan kondisi dua teman perempuannya itu."Sepertinya, mereka aman di atas. Udah, biarin aja mereka nunggu di sana sementara, daripada bahaya kalau ikut. Diah sama Zahra kayaknya tau harus ngapain," jawab Ibnu mengira-ngira.Gelap semakin mengambil alih situasi. Perjalanan menuju dasar jurang bisa memakan waktu hingga dua jam. Namun, dalam kondisi gelap dan medan yang belum dikuasai,
Ilalang dan rumput liar masih merunduk, di ujungnya tampak bulir air menggantung memantulkan cahaya matahari. Tebing cadas yang tadinya terasa dingin saat tersentuh, kini mulai terhangatkan, lalu tampak berasap karena basah semalam mulai menguap."Teman-teman, kita tunggu matahari meninggi dulu, baru kita turun. Sekarang tebing dan jalur pasti masih licin karena hujan semalam. Kita jangan ambil resiko." Alit sebagai orang yang lebih tua mengambil alih posisi tim leader. Kini, ia bertanggung jawab atas teman-temannya.Sesaat sebelum beranjak menuruni tebing, tiba-tiba Zahra terdiam. Ia merasakan pusing saat pandangannya menghadap langsung ke arah kedalaman kawah gunung. Ia tertunduk dengan kedua tangan memegang lutut."Ra, kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Diah memastikan keadaan Zahra yang masih tampak pucat."Saya pusing, Mbak!" Zahra duduk dan menyandarkan tubuhnya pada tebing. Wajahnya memerah karena hendak muntah."Pegangin, pegangin! Mungkin dia kena AMS. Kita harus cepat turun!"
Perlahan, warna senja tumpah pada awan yang menggantung di bawah kolong langit yang masih biru, seolah mengumandangkan matahari akan segera berpamitan. Menyisakan lelah dan hati yang gundah serta semangat yang hampir patah.Pada permukaan danau, anak-anak belibis mengiringi induknya berenang ke kiri, ke kanan, dan sesekali menyelam memburu ikan-ikan kecil di danau yang mulai tersamar kabut. Perlahan gelap mulai melingkupi kawah Rinjani, menyembunyikan pucuk-pucuk cemara yang lentik, bersamaan dengan itu, bau anyir jenazah yang tampak melebam mulai tercium. Jenazah Bang Ron sudah sehari terkapar di atas batu dengan separuh badan tak tersangga. Wajahnya menghadap ke arah alit dan Fadly. Hanya selembar jas hujan yang menutupi tubuhnya. Alit dan Fadly tak berani memindahkan jenazah itu ke tempat yang datar. Tubuhnya yang besar agak terhimpit di antara batu besar dan pangkal pohon. Tak bisa berbuat apa-apa, mereka kembali ke tempat Ibnu dibaringkan."Teman-teman, kita harus camp dekat je