Share

Bab 5 (Dua Perempuan Yang Terancam)

Pertemuan Tim Bang Ron dan Tim Bang Ochi

______________

______________

Bang Ron terjatuh.

Teriakan tim ekspedisi memenuhi kawah Rinjani. Tak hanya suara riuh kepanikan yang terdengar magrib itu, tetapi ada suara lain yang ikut melengking keras.

Seketika, mereka saling menatap kebingungan. Riuh suara misterius yang terdengar magrib itu, seakan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang lain mengikuti mereka. Sandikala, waktu untuk makhluk dimensi lain berkeliaran.

"Apa itu?" tanya diah pada Zahra.

Mata Zahra membeliak, lalu tiba-tiba lemas tak sadarkan diri. Nasib baik, tubuh Zahra dapat muat pada jalur berukuran tiga jengkal berbatas jurang. Badannya tertahan oleh tas carrier yang melekat di punggungnya.

Refleks, tangan Diah meraih ujung carrier dan menahan tubuh Zahra yang mulai bergeser agar tak jatuh menyusul Bang Ron.

"Tahan, jangan sampai lepas!" teriak Alit melihat Diah menahan tubuh Zahra hampir menggantung di tebing.

Sekuat tenaga Diah menahan tubuh itu, lalu menariknya hingga tak bergeser lagi. Melihat posisi Zahra aman, sontak ia memeluk sahabatnya.

Diah benar-benar terkejut, napasnya tertahan sejenak, lalu menangis karena syok hebat. Ia tak mampu bersuara dan hanya terduduk, bersandar pada tebing dengan tangan terus mendekap Zahra.

Dari ketinggian, setelah awan hilang, samar-samar, hanya terlihat carrier berwarna cerah di bawah sana dan cahaya headlamp yang masih menyala.

Jeko dan Opik tak mampu menemukan suara dari kata-kata yang ada di dalam otaknya. Mereka juga syok hebat, terdiam dengan tubuh bergetar. Keringat mengucur deras dari kening dan pelipis.

Tanpa pertimbangan matang, Alit, Ibnu, dan Fadly yang berada pada posisi belakang segera mencoba menuruni tebing. Mereka bermaksud untuk memastikan keadaan Bang Ron di bawah sana.

Kondisi di luar dugaan, memaksa mereka untuk berpikir keras, memutar otak bagaimana mencari pertolongan dan bagaimana agar dapat survive tanpa leader yang menguasai medan.

"Pik, kamu ikut! Kita harus naik ke pelawangan. Kita harus cari bantuan!" Jeko mencoba bertindak cepat karena berharap Bang Ron masih bisa tertolong.

Opik masih terdiam seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Matanya menatap hampa ke depan.

"Ayo, Pik. Cuma kita yang bisa diharapkan tim sekarang." Jeko berusaha menguatkan.

Opik menoleh ke arah Jeko. Bibirnya bergetar. Ia masih tampak tak mengerti apa yang dikatakan Jeko.

"Bang Ron jatuh, Jek! Jatuuh." Suara Opik lemah tak percaya. Jarinya menunjuk ke arah jurang.

Jeko berusaha menyadarkan Opik dengan tamparan pada pipi dan meneriakinya. "Opik! Ayo, cari bantuan!"

Opik pun berusaha bangkit, menyeka keringat, lalu melepas carrier yang ia pakai. "A-ayo, Jek," balasnya.

"Diah, kamu tetap di situ. Amankan posisimu dan jangan kemana-mana!" tegas Jeko demi keamanan dua perempuan itu. "Saya sama Opik mau coba naik ke pelawangan, mudah-mudahan bisa turun ke pintu hutan untuk cari bantuan," lanjut Jeko.

Diah hanya diam. Wajahnya begitu pucat.

Jeko menyandarkan tas carrier-nya di bawah tebing. Ia berusaha untuk tidak panik, tetapi tetap tak mampu berpikir jernih. Untuk naik ke pelawangan, hanya sebuah headlamp yang mereka bawa untuk penerangan berdua. Mereka tak ingat harus membawa air dan makanan sebagai bekal untuk turun.

"Jek, gimana kita bisa tahu yang mana jalur pijakan untuk sampai ke sana?" tanya Opik sambil mendongak menerangi jalur tebing itu.

"Kita harus coba perlahan, kita pasti temukan trek-nya. Saya yakin, jalurnya cuma satu dan pasti ada bekas-bekas pernah dilewati," jawab Jeko optimis.

Jeko sebenarnya tidak yakin dengan apa yang akan mereka lakukan. Namun, karena tekad yang kuat dan harapan tim ada padanya, ia pun berusaha sebisa mungkin.

Saat berusaha menyusuri tebing, desau angin berembus membawa suhu dingin yang membelai tengkuk dan seolah membisiki mereka tentang kematian. Gemuruh terdengar menderu di kejauhan, lalu perlahan suaranya terdengar kian dekat. Hujan kembali turun disertai angin cukup kencang. Alam seolah melempar mereka dengan badai bertubi-tubi. Jalur yang harus mereka pijak pun menjadi basah dan sangat licin.

Melihat kondisi jalur, Jeko melepas sepatu agar dapat merasakan batu tebing yang tidak licin sebagai pijakan. Perlahan, kakinya mulai meraba. Ia ingat betul arahan Bang Ron sesaat sebelum terjatuh, letter Z adalah jalur zig-zag.

"Oke, Pik. Trek ini kita mendaki ke kanan dulu kemudian ke kiri sesuai arahan Bang Ron," terang Jeko mengingatkan Opik.

Mereka mulai memanjat tebing tanpa mengenakan sepatu ataupun sandal gunung. Kondisi medan yang licin karena air hujan, ditambah suhu dingin, dan gelap akan sangat berbahaya, bahkan bagi pendaki profesional sekali pun. Namun, Jeko dan Opik mengambil resiko itu demi Bang Ron agar dapat segera dievakuasi.

Keadaan darurat memaksa mereka untuk menuruni gunung walaupun dalam situasi berbahaya. Hal ini terlarang dalam dunia jelajah alam bebas. Safety first merupakan prinsip dasar dalam kegiatan alam bebas. Di samping itu, melakukan perjalanan di saat gelap pada medan asing sangat tidak direkomendasikan, bahkan terlarang. Tak ada yang tahu, bahaya apa yang menanti di depan.

Setelah melewati tebing menanjak ke kanan, mereka berhenti sejenak, kemudian mencoba mempelajari cara melewati jalur ke arah kiri yang sangat berbahaya. Jalur itu hanya dapat dilalui dengan cara menyamping dan menempelkan tubuh pada tebing karena hanya cukup untuk ukuran setapak kaki.

Jeko mencoba merayap ke arah kiri dengan sangat hati-hati. Air mengalir pada pijakkan kakinya. Ia pun memastikan pegangan dan pijakannya mantap.

Trek ini ditumbuhi lumut karena jarang dilalui. Sudah pasti sangat licin.

"Hati-hati, Jek." Opik mengingatkan.

Pelan, tangan Jeko mencoba meraih rekahan tebing yang agak jauh dari jangkauannya. Lalu, ia mencoba menjulurkan kaki untuk menjangkau pijakan batu yang ada di depannya. Namun, hanya ujung jempol kaki yang menyentuh pijakan itu.

Jeko meyakinkan diri untuk melintas. "Bismillah!"

Ssrrt!

"Aah!" pekik Jeko.

"Jekoo!" teriak Opik melihat rekannya menggantung.

Kaki kiri Jeko terpleset, kedua kakinya menggantung pada tebing. Beruntung, kedua tangannya berpegang erat pada rekahan tebing. Nyaris ia menyusul Bang Ron. Hanya kuku jempol kakinya yang terangkat dan menganga. Namun, adrenalin dalam otaknya mengalir deras hingga luka tak ia rasakan.

Jeko kembali menaiki pijakan itu dan terus mencoba melewati rintangan. Nasib baik, ia berhasil, begitu juga dengan Opik. Langkah demi langkah mereka pijakkan kaki pada pada jalur sepi itu.

Perlahan tapi pasti, mereka berhasil tiba di Pelawangan Jalur Selatan pada pukul 22.30 WITA. Jeko dan Opik disambut lima orang pendaki lain yang berkemah di atas pelawangan.

"Abang-abang, tolong ... tolong kami, hah-hah ...." Dengan nafas terengah dan wajah pucat, Jeko dan Opik meminta pertolongan kepada tim yang mereka temui.

"Pelan-pelan, Bang. Tenangin diri dulu." Seorang pendaki bertubuh pendek membantu Jeko yang tampak lelah.

Seorang perempuan yang duduk di depan tenda segera menuang air hangat ke dalam gelas saat melihat Jeko dan Opik datang dengan pakaian yang basah dan kedinginan.

"Saya Jeko ... ini Opik," ucap Jeko memperkenalkan diri. Dadanya masih kembang kempis memburu oksigen.

"Saya Unyil dan ini Bang Ochi, senior kami." Unyil membalas sambil mempersilakan mereka untuk duduk, lalu menyodorkan sleeping bag untuk Jeko dan Opik.

Dua penyintas itu terduduk lemas dan menggigil. Setelah agak tenang dan bisa mengatur napas, Jeko menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Gimana ceritanya, kok, bisa sampai kejadian?" tanya Dini.

"Jadi, tim kami sepakat untuk menyingkat waktu tempuh karena beberapa orang harus segera balik ke kota. Karena waktu hapenya dapat sinyal, ada pesan sangat penting yang masuk. Jadi, kami sepakat lewat sini," jawab Opik.

"Bang Ron kayaknya tadi kecapean, Bang. Gak fokus sama jalur. Targetnya, sebelum magrib kami harus sudah tiba di sini sebenarnya." Jeko melanjutkan.

"Bang Ron? Yang jatuh itu Bang Ron?" tanya Bang Ochi, ia tampak tak percaya dengan apa yang didengar.

"Innalillahiwainnailaihiroji'un," sambung Rendy mendengar kabar itu.

"Jadi, kami mau lapor ke petugas balai untuk evakuasi, Bang. Tapi ini kali pertama kami ke Rinjani. Kami nggak tahu jalur turun," jelas Jeko.

"Nyil, kamu temenin mereka turun, ya," suruh Bang Ochi.

"Apa nggak kita turun kesana aja, Bang, untuk bantu evakuasi sekarang?" tanya Unyil.

"Nggak bisa, Nyil, perlengkapan kita nggak memadai! Untuk turun bisa-bisa saja, tapi setelah itu apa, kita mau ngapain? Kita nggak bisa apa-apa. Jangan merasa mampu, sedangkan kamu terancam karena tidak bawa perlengkapan rescue. Ingat, safety first! Pastikan diri kamu aman dulu, baru berikan pertolongan untuk orang lain agar kita tidak menjadi korban berikutnya. Jangan sampai kita yang menjadi beban tambahan bagi orang lain!" jelas Bang Ochi yang dipercaya sebagai leader itu.

"Oh, yadah, Bang. Saya ngerti," balas Unyil.

"Bang, ini silahkan dimakan dulu mie rebusnya supaya ada tenaga, udah udah ada telornya." Luris menawarkan Jeko dan Opik yang masih menyembunyikan kedua telapak tangannya di bawah ketiak karena dingin.

Jeko dan Opik menerima tawaran itu, lalu mereka makan dengan lahap karena sangat lapar. Kuah mie yang masih panas pun diseruput hingga tak bersisa.

***

Di bawah letter Z, Diah masih mendekap Zahra yang masih belum tersadar dari pingsannya. Berdua, mereka menggigil kedinginan, sedangkan teman-temannya yang lain tak di sana.

Jika Diah dan Zahra tak berlindung dari hujan dan suhu dingin di malam hari, maka gunung dapat dengan sangat mudah merenggut nyawa mereka.

Dua perempuan itu terancam!

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status