Share

Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani
Teror Pendakian Jalur Selatan Rinjani
Penulis: Rochy Mario Djafis

Bab 1 (Sepasang Kaki Tanpa Badan)

Tim Bang Ochi

______________

______________

Mereka tiba di Dusun Jati, Desa Timbanuh, Lombok Timur sekitar pukul 08.15 WITA. Bang Ochi, Unyil, Rendy, Luris, dan Dini segera mengurus simaksi di Pos Pendakian Taman Nasional Gunung Rinjani.

Hujan turun cukup lebat disertai kabut tipis-tipis semakin menyamarkan suasana desa. Hampir di setiap sudut tampak sepi karena sebagian warga masih meringkuk kedinginan. Suhu udara di desa ini bisa menyentuh angka 15° celcius di pagi hari.

Sembari menunggu hujan reda, Unyil mengeluarkan trangia, bermaksud memasak air untuk menghangatkan tubuh dan suasana.

"Bang Ochi, ayo ngopi dulu sambil nunggu hujan reda." Unyil menawarkan sambil tangannya mengeluarkan gelas dan tumbler penyimpan air dari dalam carrier. Uap napas tampak jelas berembus saat ia berbicara.

"Ok, boleh. Saya beli pisang goreng dulu sebentar di sebelah biar lebih pas rasanya kita ngobrol," jawab Bang Ochi menerima tawaran itu.

Rasa kopi yang sedikit terasa pahit ditemani pisang goreng yang rasanya manis memang pasangan yang pas untuk menghangatkan pagi yang dingin dan berkabut.

Saat sedang asik mengobrol dan menyeruput kopi, deru hujan perlahan mereda, menyisakan sedikit gerimis yang masih membersamai. Mereka pun mulai membereskan semua peralatan dan bersiap untuk memulai pendakian. Berdasarkan kesepakatan, Bang Ochi dipilih menjadi tim leader. Jadi, dialah yang harus berjalan paling depan untuk memimpin pendakian itu.

Rinjani memang terkenal sangat indah, setiap jalur memiliki daya tarik tersendiri dengan pemandangan-pemandangan menakjubkan di banyak titik dan tentu ada banyak hal mistis yang masih melekat menyelimutinya. Ada banyak cerita-cerita, legenda, dan mitos yang berkembang di sebagian masyarakat Lombok tentang gunung ini, tetapi sebenarnya itu tak lebih dari sekedar takhayul yang menjadi bunga-bunga rinjani yang membuat gunung ini tampak semakin indah dan menantang.

Baru dua puluh lima menit berjalan, hujan kembali mengguyur, jalan setapak yang mereka lalui menjadi berlumpur dan licin. Bahkan, sesekali mereka tampak terpeleset menapaki setiap pijakan. Beruntung, mereka tak sampai tersungkur.

“Hati-hati guys, licin,” ucap Bang Ochi mengingatkan.

Terpleset hingga jatuh, bisa saja membuat kaki terkilir atau bahkan lebih parah. Dalam kegiatan alam bebas, tak boleh meremehkan medan.

Suasana Jalur Selatan Rinjani memang agak sepi karena hanya sedikit pendaki yang melewati jalur itu. Hutan Timbanuh yang masih perawan membuat jalur tak begitu jelas terlihat di beberapa titik, bahkan banyak pendaki tersasar karena salah mengambil jalur. Jalur lintasan hewan seringkali menipu para pendaki.

Jalur ini bukanlah jalur pendakian menuju puncak tertinggi Rinjani, melainkan hanya sampai di Pelawangan Timbanuh atau puncak Jalur Selatan. Namun, pemandangan dari jalur ini adalah yang terindah dengan pemandangan Gunung Baru Jari dan Danau Segara Anak di dalam cekungan kawah Gunung Rinjani Purba. Di sebelah kanan, ada pemandangan puncak tertinggi Rinjani dengan jalur memanjang serupa tangga yang akan membawa pendaki menembus langit dibalik gulungan awan.

Jalur di bagian selatan gunung ini memiliki hutan yang sangat rapat, tak jarang pendaki tersesat di jalur ini. Ada banyak cerita bahwa mereka menemukan hal-hal aneh semacam di hutan Aokigahara yang misterius di Jepang.

Saat melewati hutan, ada banyak suara pekikan khas diiringi suara gonggongan anjing pemburu di kejauhan. Suara itu berasal dari sekelompok warga yang sedang melakukan perburuan babi hutan atau rusa.

Setelah tiba di Pos I, gerimis perlahan menghilang, tetapi angin dari arah selatan berembus cukup kencang membawa kabut dingin menusuk tulang. Angin benar-benar membuat kuku dan bibir mereka membiru.

Tiba-tiba, Dini, salah satu perempuan dalam tim itu mengalami kedinginan hebat, bibirnya membiru, tangannya mengepal kuat, dan kaku.

Mengingat keadaan Dini yang tidak mungkin untuk terus berjalan, sebagai tim leader, Bang Ochi memutuskan agar tim menghentikan perjalanan dan mendirikan tenda di Pos 1.

"Unyil, tolong ambil air dan masak ya,” suruh Bang Ochi agar dapat segera diminumkan ke Dini.

“Iya, Bang,” jawab Unyil. Segera ia menuju sumber mata air yang tak jauh dari posisi mereka berada.

“Ren, tolong bangun tenda dan Luris tolong baluri tangan dan kakinya dengan minyak kayu putih, ya,” lanjut Bang Ochi agar Dini segera mendapat pertolongan pertama.

Bang Ochi segera mencari ranting-ranting dan dahan pohon untuk membuat perapian, tetapi semua tampak basah. Hujan disertai angin yang kencang membuat tubuh mereka terpapar suhu dingin cukup lama dan membuat tubuh Dini tak bisa memproduksi panas dengan maksimal.

“Bang, kira-kira Dini kenapa, ni?" tanya Rendy kepada Bang Ochi.

Kondisi Dini cukup membuat mereka khawatir karena bibir dan kukunya membiru.

“Kayanya gejala hipotermia,” jawab Bang Ochi.

“Hipotermia? Apa tu, Bang? Tumben denger,” sela Unyil.

“Hipotermia itu, kondisi saat mekanisme tubuhmu nggak mampu mengatasi tekanan suhu dingin,” jelas Bang Ochi.

Dalam kondisi terparah penderita hipotermia akan cenderung melakukan hal-hal yang tidak rasional seperti melihat sesuatu, berbicara sendiri, hingga melepas pakaiannya karena seakan merasa kepanasan. Padahal, suhu tubuh penderita jauh turun drastis hingga ke titik fatal. Kasus semacam itu disebut paradoxical undressing. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1996, di mana enam orang pendaki ditemukan tak bernyawa dengan kondisi tidak mengenakan pakaian di sekitar Batu Ceper Rinjani.

Bang Ochi mencoba membuat perapian dengan ranting dan dahan yang didapat, walau semua tampak dalam keadaan basah setelah diguyur hujan. Berkali-kali mencoba, ranting dan dahan tak kunjung menyala. Akhirnya, ia mencoba mencari bambu yang sudah menguning, lalu dikuliti dan diserut dengan pisau lipat sehingga menjadi serat-serat tipis yang mudah terbakar. Api pun siap.

Tak lama, angin semakin membawa awan kelabu ke atas kepala mereka. Gerimis kembali turun. Untuk mencegah keadaan bertambah buruk, mereka mengamankan Dini ke dalam tenda dan memasang flysheet untuk mengatapi perapian agar tetap menyala.

"Ris, kamu buka bajumu, ya, dan peluk Dini supaya panas tubuhmu ngalir ke dia, ni pakai sleeping bag punyaku!" perintah Bang Ochi dari luar tenda.

"Baik, Bang," sahut Luris.

Suhu di luar sangat dingin. Situasi saat itu memaksa mereka untuk sepakat agar berkemah di Pos I.

Menjelang pukul enam sore hujan mereda dan awan kelabu yang sedari tadi menaungi mulai bergeser ke arah tenggara.

Langit di ufuk barat pun menjingga. Gradasi warna putih, kelabu, dan jingga terang terlukis indah di jauh sana. Lalu, seiring detik terus merangkak, perlahan warna senja berubah remang, kemudian gelap.

Kabut tipis perlahan mulai turun menyelimuti, lalu semakin menebal, bahkan cahaya headlamp mereka hanya mampu menembus kabut sejauh sekitar sepuluh meter saja.

Magrib, kondisi Dini membaik dan sudah dapat diajak bicara. Bang Ochi menawarkan ia teh manis dan dua keping biskuit untuk memulihkan fisiknya.

"Ren, Nyil, kita masak, ya," ajak Bang Ochi.

Saat asyik memasak, tiba-tiba dari kejauhan, persis dari dalam semak-semak, terdengar suara seekor anak kucing mengeong. Awalnya, mereka tak menaruh curiga pada suara itu. Namun, semakin lama, suara itu terdengar kian dekat, lalu suaranya terdengar sangat jelas berada di balik pohon besar yang sudah setengah terbakar akibat kebakaran hutan sebulan sebelumnya.

"Kok, ada suara anak kucing ya, Bang?" tanya Unyil.

"Namanya juga alam bebas, Nyil. Kucing juga bebas, dong, maen kemana aja. Kan, ibu bapaknya juga pergi cari makan," jawab Bang Ochi dengan nada bercanda.

"Eh, mana ada kucing di ketinggian lebih dari seribu meter gini ... di hutan lagi. Lagian, kucing hutan, kan, bukan hewan endemik sini, Bang," Rendy menyela dengan nada serius.

Semakin lama, suara anak kucing itu terdengar semakin nyaring dan jumlahnya pun semakin banyak. Awalnya, ada satu suara anak kucing, kemudian dua, lalu seketika terdengar suara mengeong dari banyak arah.

Begitu banyak suara anak kucing yang tak lazim, membuat mereka bergidik ngeri. Tak hanya itu, suaranya pun berpindah-pindah dengan cepat.

Karena penasaran, Bang Ochi melangkah ke arah pohon besar yang tampak berlubang karena terbakar. Ia bermaksud memeriksa suara anak kucing itu. Dengan sedikit ragu, ia mencoba menengok ke belakang pohon, tetapi tak ditemukan apa-apa selain lubang kosong yang menghitam pada bagian banir.

Suara anak kucing itu berpindah ke balik semak yang ada di seberang pohon. Sontak, hal itu membuat Bang Ochi tampak bingung. Saat ia mencoba memeriksa kembali ke balik semak-semak, suara itu berpindah lagi ke titik yang lain. Ia pun terdiam sambil mencoba mengarahkan cahaya senter ke arah gelapnya hutan. Saat cahaya itu mengarah kembali ke arah pohon yang terbakar, seketika ia terperanjat tanpa alasan yang jelas.

Bang Ochi mundur beberapa langkah, lalu menoleh ke arah teman-temannya. Napasnya begitu cepat dan dadanya tampak kembang kempis.

"Kenapa, Bang, kok, kaget gitu? Ini nggak apa-apa, kan?" tanya Luris kepada Bang Ochi. Raut wajahnya tampak cemas.

"Nggak apa-apa, kok. Kan, cuma suara anak kucing, masa takut? Kecil, tinggal lempar,

ya, ilang, he-he," jawab Bang Ochi sambil terkekeh. Ia berusaha menyembunyikan apa yang Ia lihat agar suasana tidak berubah panik dan mencekam.

Setelah menjawab pertanyaan Luris, beberapa kali Bang Ochi merapal kalimat istigfar.

Di seberang, Unyil memperhatikan, lalu bertanya, "Abang kenapa?"

"Nyil, tolong jangan ributin. Ini magrib ... sebenarnya, ada sesuatu yang aku lihat!"

"Apa?"

Mata sang leader itu menyapu ke beberapa sudut hutan seakan sedang memastikan sesuatu, lalu dengan nada pelan ia memberitahu Unyil, "Nyil, ada sepasang kaki ... kakinya cuma sebetis ... putus! Dia jalan jinjit ke tengah hutan sana."

"Astagfirullah." Unyil segera kembali ke kumpulan timnya.

***

Saat mereka makan malam, perlahan embusan angin membawa aroma busuk dari balik batu besar yang biasa dijadikan sebagai tempat peletakan sesaji oleh orang-orang yang mencari ilmu hitam.

"Kok bau bangke, Bang?" tanya Dini. Wajahnya memerah karena hendak memuntahkan apa yang ada dalam mulutnya.

Bau itu membuat mereka mual, busuknya sangat menusuk rongga hidung. Tak kuat dengan bau itu, akhirnya, mereka memutuskan untuk masuk ke dalam tenda masing-masing. Mereka pun hanya makan malam dengan roti tawar yang diolesi selai strawberry.

Pukul 23.15 WITA, Unyil membangunkan Bang Ochi yang meringkuk di sampingnya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh seniornya itu karena ketakutan.

"Ada apa sih, Nyil?" tanya Bang Ochi dengan nada sedikit kesal.

"Bang, takut aku, ni. Abang dengar ndak? Ada suara perempuan nyanyi sambil main air tu di luar." Unyil mengadu.

Bang Ochi duduk, mencoba menangkap suara itu.

"Eh, iya, Nyil." Bang Ochi pun membangunkan Rendy dan langsung mencoba merekam nanyian itu.

Aku bukak lalo nyawe

Turun roh nyawe …

Silaq dateng seraq nyawe …

Turun gunung nangis sedekaq nyawe.

Lirik demi lirik berbahasa Sasak didendangkan oleh suara perempuan itu sambil memainkan gemericik air yang jatuh dari pancuran tempat pendaki biasa mengambil air.

Lirik tersebut memiliki arti,

Saya buka pergi nyawa

Turun roh nyawa …

Silahkan datang serahkan nyawa …

Turun gunung menangis sedekah nyawa.

Setiap lirik nyanyian aneh itu sungguh membuat mereka bergidik ngeri. Tak ada satu pun dari mereka yang pernah mendengar itu sebelumnya.

Ssrrk! Ssrrk! Ssrrkk!

Tiba-tiba, terdengar suara langkah mendekat ke arah tenda mereka. Seperti suara ranting patah terinjak dan anak kucing kembali terdengar mengeong.

"Bang, kayak ada yang nyakarin tenda kami dari luar. Ih, takut, Bang." Suara Luris terdengar khawatir dari tenda sebelah.

Bang Ochi segera mengambil pisau lipat yang terselip di kantung carrier, ia memutuskan keluar bersama Unyil dan Rendy untuk memastikan keadaan agar tetap baik-baik saja.

Baru saja keluar, tiba-tiba Unyil terperanjat. Tampak seekor monyet hitam besar duduk di atas tenda yang di dalamnya ada Dini dan Luris. Ukuran monyet itu sangat tak wajar, sehingga membuat tenda menjadi miring, tak kuat menahan beban. Ia menggeram ke arah Bang Ochi dan kawan-kawan dengan menampakkan barisan giginya yang tajam. Makhluk itu menggertak, lalu kabur ke arah rerimbunan semak.

Akhirnya, demi keamanan dari binatang-binatang liar, mereka sepakat untuk berjaga dan membuat api unggun yang lebih besar. Tak ada di antara mereka yang kembali tidur, kecuali Dini yang memang harus memulihkan kondisi. Hingga pukul lima pagi, mereka hanya sibuk menjaga api agar tidak padam sambil memasak air.

Api adalah kehidupan saat gelap menyelimuti di alam bebas. Tak ada api, maka nyawa terancam!

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status