Share

Bab 5

Setelah menekan tombol tak lama 2 perawat dan seorang dokter datang dan memeriksa Sintia secara seksama.

Sedangkan Arseno berdiri dengan cemas di samping ranjang pasien.

"Tolong, jangan membuat pasien berpikir terlalu keras karena kondisinya belum stabil, dan saya sudah memberi obat pereda panas,"

Dokter itu memeriksa mata Sintia dan menyuntikan obat di infusnya.

"Terimakasih dok,"

Dokter paruh baya itu tersenyum mengangguk, Arseno pun mengantar dokter keluar ruangan dengan ramah.

Setelah dokter keluar dari kamar rawat Sintia, seraya Arseno berjalan dekat ranjang Sintia dan menyentuh telapak tangannya.

"Ohh iya panas," gumam Arseno yang sekarang hatinya mulai percaya jika wanita yang bernama Sintia itu tidaklah seperti yang di pikirkan.

Arseno pun segera memperbaiki selimut Sintia. Dan Arseno kembali duduk, Arseno tidak bisa memejamkan matanya padahal ini malam sudah larut.

Setelah selesai Arseno duduk di sofa yang berada tak jauh di ranjang tempat tidur rumah sakit. "Jika mama tau bisa mati aku," gumamnya dalam hatinya.

Arseno meremas kepalanya dengan kasar dan mengusap-usap wajahnya, Arseno takut jika mamanya benar-benar marah kepada dirinya.

Tak terasa mulut Arseno menguap tanda kantuk mulai menyerangnya. Dia melepaskan jas yang melekat pada tubuhnya dan melepas sepatu lalu merebahkan badannya di sofa.

Tepat pukul 3 pagi Sintia mengigau membuat Arseno terbangun.

Sintia mengigau ibu tirinya yang bernama Asri, dia memohon kepada ibu tirinya untuk tidak mengusir dari rumah.

Arseno mendekati ranjang Sintia dan menyentuh dahinya.

"Ya tuhan suhu badannya kok tetap panas ya," ujar Arseno yang memegang dahi Sintia.

Arseno pun segera menghubungi dokter, karena kondisi Sintia tidak stabil.

Tepat pukul 7 pagi Sintia sudah sadar diri namun suhu badannya masih sedikit panas.

"Ini makan," ujar Arseno sambil memberi sepiring nasi makanan dari rumah sakit.

Sintia pun berusaha untuk mengangkat kepalanya untuk duduk, sayang semakin dia berusaha mengangkat kepalanya maka rasa sakit itu semakin menyerangnya.

Arseno pun yang melihat Sintia kesakitan, dia berjongkok di dekat ranjang Sintia dan mengatur posisi ranjang menjadi kepalanya lebih tinggi.

"Terimakasih," ujar Sintia.

Sintia pun mulai makan dengan lahap, Sintia ingin segera sembuh dan pergi dari rumah sakit.

Sintia berpikir jika terlalu lama di rumah sakit maka akan menghabiskan biaya semakin banyak.

Arseno yang melihat Sintia makan begitu lahap menjadi sedikit ilfil.

"Perempuan makannya kok seperti preman," ujarnya dalam hati.

Arseno pun duduk di sofa dan memainkan smartphonenya.

Arseno merasa perutnya mulai sedikit lapar, dia ingin memesan makanan online, namun ada mamanya Ratih yang tiba-tiba menelpon dirinya.

"Arseno, mama mau ke rumah sakit, kamu gak usah beli makanan di luar mama bawain dari rumah," ujar bu Ratih dan dengan mematikan teleponnya sepihak.

Arseno pun kembali sedikit kesal dengan sikap mamanya.

"Harus ya mematikan telepon secara sepihak," gumam Arseno mendengus kesal.

Arseno menghembuskan nafas panjangnya dan dia kembali memainkan smartphonenya. Dia melihat video tentang motivasi para pebisnis handal.

Sedangkan Sintia hanya diam tanpa bicara.

"Oh ini orang yang angkuh kemarin, setiap ketemu dia bawaannya apes mulu," gumam Sintia .

Tanpa terasa ibu Ratih mamanya Arseno yang dipanggil Oma oleh Sintia datang dengan membawa banyak makanan dari rumah.

"Hallo nak, selamat pagi. Sudah makan?" tanya bu Ratih dengan mengelus kepala Sintia.

"Sudah nek,"

Arseno pun sudah tidak peduli lagi dengan Sintia, dia hanya memikirkan makan.

Arseno makan dengan sangat nikmati meskipun makannya di rumah sakit yang notabenenya bau obat.

Bu Ratih pun menyahut kotak makanan yang akan dibuka Arseno.

"Siapa suruh kamu buka kotak biru itu?"

Arseno pun mengerutkan dahinya, dia gak mengerti apa maksud mamanya.

Bu Ratih pun menyahut kotak itu dan berjalan ke ranjang tempat tidur Sintia dan memberikan ke Sintia.

"Ini sayang buat kamu, ini itu isinya salad buah. Itu sangat bagus buat mu," jabar oma Ratih dengan membuka kotak tersebut.

"Makasih banyak ya nek,"

"Jangan panggil aku nenek, panggil oma. Paham," jawab oma Ratih.

Sintia pun tersenyum dan mengangguk tanda dia menyetujui panggilan tersebut.

Oma Ratih pun menyuapi Sintia dengan penuh kasih sayang.

Arseno yang melihat mamanya merasa kurang senang.

"terlalu berlebihan sekali." gumam Arseno.

Arseno pun berdiri dan melangkahkan kakinya mendekati mamanya yang duduk di dekat ranjang Sintia.

"Mama aku pamit, aku mau pulang tidur, sebagai gantinya aku tidak pergi ke kantor aku mau tidur di kamar seharian, jangan ganggu aku lagi."

Arseno pun berjalan melangkahkan kakinya keluar dari kamar rawat Sintia dengan sedikit angkuh dan cuek.

Bu Ratih memperhatikan mata Sintia yang melihat kepergian Arseno.

"Itu anakku, dia wataknya seperti itu sangat menyebalkan, jika ada perkataannya yang pedas jangan di masukin kedalam hati ya Sintia."

Sintia pun bercerita awal mulanya ketemu Arseno, oma Ratih pun mendengarkan secara seksama dan dengan sedikit tersenyum.

"Maaf oma menurutku Arseno itu sedikit angkuh,"

Oma pun hanya mengangguk, oma juga menyadari tingkah Arseno.

Oma berpikir ingin suatu hari memberi sebuah pelajaran kepada anaknya supaya bisa lebih menghargai orang lain.

Sesampai rumah Arseno langsung melangkahkan kakinya untuk segera masuk ke dalam, namun langkahnya terhenti kala dia dipanggil oleh kakak perempuannya.

"Arseno sini," sahut Tiara yang tengah duduk di sofa dengan melambaikan tangan.

Tiara adalah kakak perempuan Arseno, di berumur 45 tahun selisih 5 tahun dari Arseno. Dia adalah wanita yang modis dan memiliki karir yang cemerlang, itu juga alasan bagi dia enggan menikah dengan laki-laki yang berada di level di bawahnya. Dia juga memiliki selera yang tinggi terhadap lawan jenis, itu sebabnya sampai sekarang di belum menikah.

Arseno pun melangkahkan kakinya mendekati kakak perempuannya yang tengah duduk.

"Apa?"

Tiara menyuruh Arseno untuk duduk di dekatnya dan bertanya siapa gerangan orang yang menolong mamanya.

"Yang menolong mama adalah seorang wanita muda dia juga kemarin yang melamar pekerjaan di kantor," jabar Arseno.

Tiara pun menganggukkan kepalanya sebagai bentuk bahwa dia mengerti dan paham.

"Apa dia memintamu uang?" tanya Tiara penasaran

Arseno pun menatap dengan memicingkan matanya.

Arseno penasaran dengan pertanyaan kakak perempuannya yang terkesan menyepelekan orang lain

"Tidak, tadi malam kondisinya agak menurun,"

Mendengar jawaban Arseno, Tiara mulai menurunkan rasa curiganya terhadap Sintia.

"Ya sudah, aku mau ke kamar dulu mau tidur aku lelah." ujar Arseno pamit dan beranjak dari duduknya.

Namun langkah Arseno terhenti kembali Tiara memanggil kembali.

"Oh ya Arseno lusa Fifian mau datang dia ingin bertemu denganmu, jika perjodohan ini berhasil maka usaha 2 keluarga semakin kuat. Siapkan dirimu." ujar bu Tiara .

Arseno pun membalikkan badannya dan mendekati kakak perempuannya.

"Aku belum siap, aku tidak mau menikah dini aku masih mengejar karir ku dulu. Lagian aku tidak tertarik dengan Fifian." jabar Arseno.

Tiara pun menatap tajam Arseno dengan penuh api-api.

"Tutup mulutmu, apa yang jadi perintahku harus kamu laksanakan, ini semua demi kebaikan mu."

Arseno pun pergi tanpa sepatah katapun yang terucap dari mulutnya.

Arseno merasa kesal dengan saudara perempuannya, dia merasa hidupnya penuh tekanan tidak ada kebebasan yang ingin Arseno rasakan.

Dari kecil hidup Arseno penuh aturan, dari mulai belajar sampai bermain pun diatur.

Dari kecil Arseno suka bermain gitar tapi dia diharuskan untuk ikut les piano, itu salah satu contoh aturan kecil yang harus dia lakukan.

Arseno duduk sambil memandangi langit pagi yang cerah, mata yang semula merasa kantuk berat seketika menjadi sadar.

"Arhgghhhhh, aku gak suka dijodohkan dengan Fifian, perempuan manja kekanak-kanakan," gumamnya dalam hati sambil memejamkan matanya.

"Diam kamu Arseno, tutup mulut mu." sanggah Tiara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status