Share

Bab 4

Mendengar cerita Sintia oma Ratih pun menangis sesegukan, oma Ratih merasakan beban yang diderita Sintia ya begitu berat.

"Ya sudah sebagai rasa terimakasih oma karena kamu telah menyelamatkan oma, kamu harus bersedia tinggal di rumah oma sementara waktu, nanti kalau kamu kerja sudah punya uang kamu bisa menyewa rumah,"

Sintia pun terkejut dengan apa yang oma Ratih ucapkan.

Sintia pun tak bisa menahan air matanya,

"Terimakasih nek, nenek sudah bersedia menolongku,"

Sintia berpelukan dengan oma Ratih sambil menangis, Sintia kehilangan cinta seorang ibu, namun dengan pelukan hangat itu menjadikan Sintia seperti menemukan sosok ibu yang telah lama meninggalkannya.

"Oh ya sebentar lagi ada anak oma kesini mau menjenguk mu dan oma pulang dulu ya kaki oma rasanya sakit, untuk sementara waktu kamu malam ini ditemani anak oma ya?"

Sintia menganggukan kepalanya, dan oma mengusap wajah Sintia dengan tisu basah supaya terasa lebih segar dan membubuhkan bedak tipis-tipis.

"Sintia kamu cantik yaa," puji nenek Ratih sambil membubuhkan bedak.

Sintia pun tersenyum dengan rona merah di pipinya, oma Ratih pun mulai merapikan rambut panjang Sintia dengan hati-hati.

"Apa kepala bagian belakangnya masih sakit?"

"Sudah berkurang nek,"

Ketika oma dan Sintia berbincang-bincang ada suara salam dari luar ruangan,

oma Ratih pun membalas salamnya dan membalikan badannya. "Oh ya." ujar nenek Ratih kepada sopir pribadinya itu.

Nenek pamit ke Sintia untuk segera pulang karena ini sudah mulai larut malam,

"Sintia, oma pulang dulu yaa, nanti ada anak oma yang menjaga mu di sini,"

Sintia pun tersenyum mengangguk,

"Ya sudah kamu tidur dulu yaa, istirahat sekarang,"

Oma Ratih pun keluar ruangan dengan berjalan hati-hati sambil di gandeng seorang laki-laki bertubuh tegap.

Sampai mobil oma Ratih merogoh smartphonenya dan melakukan panggilan telepon kepada anaknya,

Namun oma Ratih kesabarannya kembali diuji, panggilan teleponnya tidak dijawab oleh anaknya.

Namun oma Ratih tetap kembali mencoba menghubunginya sampai teleponnya di angkat.

Setelah kesekian kalinya akhirnya telepon oma Ratih diangkat juga oleh anaknya.

"Ada apa sih ma?" suara di balik telepon.

Mendengar perkataan itu akhirnya oma meluapkan emosinya juga, setelah teleponnya gak diangkat-angkat, sekarang menjawab teleponnya pun tidak ada sopannya.

"Berani kamu bicara seperti itu, akan ku coret nama kamu sekarang juga,"

Seketika suara telepon yang berada di seberang menjawab dengan lemah lembut.

"Jangan ma, ku mohon jangan, ada apa ma menelpon ku berulang kali, gak biasanya?"

Oma Ratih pun mulai bercerita menjelaskan asal mula kejadian yang menimpanya, membuat anaknya terkejut mendengarkannya.

"Sekarang orang yang menolong mama sedang di rawat di rumah sakit Peduli Ibu no 133, kamu kesana sekarang jaga di kasian dia gak ada keluarga."

Akhirnya oma Ratih pun menutup teleponnya, dia merasa lega jika anak bungsunya bersedia untuk menjaga Sintia, wanita yang menolongnya.

Sintia memanggil ibunya Arseno dengan sebutan Oma karena umur ibu Arseno sudah separuh abad lebih mengingat usia Arseno hampir 40 tahun namun belum kunjung menikah.

Di balik telepon, Arseno merasa pusing dengan perintah mamanya.

"Akhhhhgggghh, harus ke rumah sakit sekarang, laki-laki siapa ya yang menolong mama, aku takut ini hanya sebuah modus untuk mengelabui mama, bisa saja dia cuma manfaatin mama." Ujar Arseno sambil duduk berpikir.

Arseno pun beranjak dari duduknya dan mengambil tasnya untuk segera pergi ke rumah sakit sesuai yang di perintahkan mamanya itu yang bernama Ratih. Namun smartphonenya kembali berdering, Arseno melihat ternyata mamanya kembali menelpon, dia pun mengangkatnya.

"Ada apa lagi ma?"

Mamanya yang bernama Ratih itu pun kembali marah kepada anaknya Arseno.

"Kamu ini, mama nelpon jawab yang baik dong, mama minta sebelum ke rumah sakit tolong belikan dia bubur dan buah-buahan mengerti kamu." ujar nenek Ratih marah-marah sambil menutup teleponnya sepihak.

Arseno pun kaget dengan tingkah mamanya,

"Tadi saja bicara tentang kesopanan, dia sendiri marah-marah dan menutup teleponnya secara sepihak, apa bedanya denganku."

Akhirnya Arseno keluar ruangannya dengan berjalan dengan langkah tegap dan dengan menjinjing tasnya di tangan kanannya,

Suasana kantor sudah sepi hanya tinggal penjaga saja yang sedang keliling melihat kondisi kantor.

Sesampai mobil Arseno menyenderkan kepalanya.

"Ya tuhan, bubur itu di jual pagi hari sedangkan ini sudah malam dan toko buah-buahan jam segini sudah tutup, aghhh harus cari di mana aku." ujar kevin sambil menggaruk kepalanya dengan kasar.

Tanpa berpikir panjang lagi Arseno melajukan mobilnya menembus malam, jalan sudah lenggang Arseno mengemudikan dengan laju yang lumayan kencang. Di sudut jalan Arseno melihat sebuah minimarket yang masih buka, dia menepikan mobilnya dan segera masuk kedalam minimarket.

"Mungkin ada makanan yang cocok untuk buah tangan di dalam," ujar Arseno dalam hati.

Arseno keliling melangkahkan kakinya memutari setiap keranjang yang terpampang.

Dia menentukan pilihannya mengambil roti tawar dan selai coklat dan beberapa makanan ringan tak lupa dia membeli air mineral kemasan.

Setelah dirasa cukup Arseno bergegas segera melanjutkan perjalanannya ke rumah sakit.

Sesampai rumah sakit Arseno melangkahkan kakinya mencari kamar yang dituju, setelah sekian lama mencari kesana kemari, sampailah dengan kamar yang bernomor 133.

Arseno berdiri sejenak di depan pintu dan dengan perlahan mengintip siapa yang berada di ruangan itu.

Arseno takut jika orang asing memanfaatkan momen untuk berbuat kejahatan kepada dirinya dan keluarganya.

Secara keluarga Arseno adalah keluarga yang terpandang nan kaya raya.

Ketika Arseno mengintip di balik pintu betapa kagetnya dirinya, karena yang menolong adalah seorang wanita.

Arseno melihat wanita itu sedang tertidur dengan rambut yang tergerai panjang nan hitam.

Sekarang Arseno sudah berani untuk masuk kedalam kamar itu karena yang di rawatnya adalah seorang wanita.

Dia membuka pintunya secara perlahan, dia tak ingin wanita yang menolong mamanya itu terbangun.

Arseno berjalan mengendap-ngendap dan menaruh semua makanannya di meja tamu.

Lalu Arseno mulai berjalan mendekati ranjang pasien.

Betapa kagetnya Arseno setelah mengetahui siapa wanita itu.

"Ohhh wanita ini," ujar Arseno dengan lantang karena Arseno sudah terlanjur benci kepada Sintia.

Seketika Sintia terbangun mendengar suara Arseno yang lantang itu.

"Astagaaaa, kamu kenapa kamu bisa ada di sini," teriak Sintia yang sedikit takut dan terkejut.

Arseno pun mendekatinya dan memicingkan matanya dan mendekap tangan di dadanya.

"Aku tahu kamu pasti memanfaatkan mamaku kan untuk keuntungan kamu sendiri," Tuduh Arseno.

Sintia yang sedikit emosi dengan ucapan Arseno membuat kepalanya terasa sakit dan matanya terasa gelap, tanpa di sadari Sintia kembali tidak sadar diri.

Arseno yang melihat Sintia tak sadar diri, dia mengira itu hanya pura-pura, namun saat dia tak sadar diri mulai lah Arseno panik.

Arseno menombol sebuah benda yang terletak di atas kepala Sintia.

Tombol itu berfungsi sebagai tombol darurat untuk memanggil dokter.

"Aduh bagaimana ini?" tanya Arseno kepada dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status