Share

Bab 4

"Mas, kenapa kamu harus memenuhi semua permintaannya mbak Laras? Kamu tahu, itu menyakitkan bagiku."

"Aku bisa apa, Sayang. Aku juga tidak mau kehilangan Laras apalagi kehilangan Kinara, lima tahun sudah aku di sini sama kamu. Apa salahnya jika aku sekarang hidup serumah bersama Laras juga anak semata wayang kami. Laras belum mau aku sentuh dalam hal r*nj*ng. Jadi, cuma kamu seorang yang akan melayaniku sejauh itu. Dia juga tidak membatasi aku untuk bertemu dengan kamu, Sayang. Bukankah itu kelonggaran yang cukup lapang?"

"Aku tidak yakin, Mas. Aku tidak percaya. Kalian menikah sudah 10 tahun, mana mungkin mbak Laras menolak kalau kamu ajak, apalagi kalian serumah. Bisa-bisa semakin intens."

"Jangan berlebihan cemburunya, aku akan komit pada syarat yang diberikan Laras. Kamu tenang saja."

"Gimana aku bisa tenang, Mas. Kamu di sana bukan dalam waktu sehari ataupun dua hari. Namun, lebih dari itu."

"Ini konsekuensi aku, Sayang. Kamu juga harus berlapang dada jika yang terjadi seperti ini adanya.'

"Aku ikut pindah juga, ngapain di sini sendirian sama aja punya suami tapi terasa janda karena tidak serumah."

Ibra mulai tersulut emosi, dia tampak mengusap kasar wajahnya. Resign dari pekerjaan sebagai supervisor bukan hal yang mudah baginya. Apalagi, dia meraih posisi itu bukan dengan cara yang mudah, butuh perjuangan. Namun, dia sadar segala sesuatunya ada konsekuensi yang harus dia ambil.

"Kamu jangan egois. Sebelumnya aku juga sudah melarang kamu untuk jangan dulu berkata jujur pada Laras. Nyatanya, apa? Kamu kekeuh 'kan? Terima saja jalan yang ada di depan kita."

***

Ibra akhirnya resign setelah proses pengunduran dirinya berlangsung kurang lebih sebulan. Posisinya sebagai supervisor membuat Ibra tidak bisa mengundurkan diri secara mendadak. Banyak tanggung jawab serta kewajiban yang dia selesai sebelum benar-benar menjadi mantan karyawan. Serah terima jabatan salah satunya. Alasan lainnya, surat pengalaman kerja serta surat klaim Jamsostek.

"Mas, nanti kalau Jamsostek kamu udah cair, bagi rata antara aku dan mbak Laras, ya!"

Sepasang insan kurang menghargai hati orang lain itu sedang mengemas barang-barang yang akan dibawa Ibra terbang ke Padang. Tidak banyak, satu kardus ukuran sedang, koper ukuran besar satu dan ukuran sedang satu.

"Astaga, Sayang. Belum juga cair uangnya, mengajukan aja aku belum. Lagian, mungkin lebih banyak buat aku, Laras juga Kinara, 'kan kamu tahu sendiri aku hari-hari sama mereka."

"Belum juga berangkat, kamu udah pilih kasih ke aku, Mas."

"Pilih kasih bagaimana, aku selalu adil sama kamu. Kamu dan Laras, sama-sama ada tabungan khusus dari aku, beda di nominal saja, bukan itu pilih kasih juga tapi sesuai kebutuhan. Sudah ya, Sayang. Hal sepele jangan dipersoalkan, selama ini juga kamu tidak pernah mempermasalahkan kalau aku berlaku lebih dari segi uang pada Laras, sekarang kenapa jadi seperti ini?"

"Ya, itu dulu, Mas. Jangan sama 'kan dengan sekarang atau kedepannya. Udah ah, kamu nggak bakalan ngerti gimana perasaan aku."

"Aku mohon, Sayang. Jadilah, Annisa yang dulu aku kenal. Kamu ity jantungku, setiap kali berdetak, setiap itu juga kamu selalu ada. Jangan pernah risau dan takut. Lagian, sudah waktunya juga Laras meminta waktu lebih banyak padaku. Aku yakin kamu bisa lewati ujian ini."

Ibra memeluk Annisa dengan erat, sesekali mendaratkan kasih sayangnya di pipi kanan sang istri siri. Tampak Annisa bukan perlarian semata, akan tetapi Ibra benar jatuh cinta.

Ibra menghela napas berat, tingkah Annisa mulai ke kanak-kanak an membuat dia menjadi tidak nyaman. Sebelumnya, ketika semuanya belum terungkap, Annisa atau yang dikenal Laras dengan nama Liana adalah sosok yang mengasikkan.

Komunikasi yang nyambung serta hangat, belum lagi sering terlibat kerja keluar kota membuat hubungan semakin intens, apalagi Annisa seorang janda tanpa anak, pernikahan pertama hanya bertahan dua bulan dikarenakan mantan suaminya adalah pecandu berat narkoba juga temperamen, Annisa tidak tahan, cerai adalah keputusannya.

***

"Kenapa, Nak? Kok suaramu serak gitu?" Liana menelepon ibunya yang berada di kampung, dekat Pekanbaru, Riau, yang berjarak delapan jam dari tempat Laras tinggal. Hatinya tak kuat menahan sesak setelah baru pulang dari mengantar Ibra ke Bandara. Itupun kepulangan Ibra ke Padang sudah diundur dua hari karena Annisa menangis terus-terusan sepanjang malam. Bahkan, dia beralaskan sakit untuk tidak masuk kantor.

"Mas Ibra, Bu?" sahutnya dengan suara bergetar.

"Kenapa Ibra? Kalian berantem? Atau ada masalah lain?" Suara Nani terdengar mulai panik di seberang sana.

Bukan jawaban yang terdengar, tapi tangisan Liana yang makin keras.

"Nak, kalau kamu seperti ini, gimana menceritakannya sama ibu. Apa ibu telepon Ibra saja, dia pasti bisa menjelaskan apa yang telah terjadi dengan kalian." Suara Nani mulai meninggi, ada perasaan tak rela mendengar tangis sang putri semata wayang. Apalagi dirinya adalah dalang dibalik semua ini.

"Ja-jangan, Bu. Jangan, aku takut keadaannya semakin buruk."

"Ya kalau jangan, kamu cerita sama ibu, Nak. Jangan bikin ibu panik seperti ini. Ingat! Ibu nyuruh kamu mengejar Ibra supaya kamu bahagia sama dia, merasakan bahagia seperti Laras juga. Lima tahun kalian menikah, baru kali ini kamu menangis, apa Laras sudah tahu?"

Annisa terdiam sejenak ...

"Kamu dengar ibu bertanya? Apa Laras sudah tahu?"

"Iya, aku yang memberi tahu."

Nani sangat marah setelah mendengar pengakuan sang anak. Padahal, dia sudah mengatakan jangan pernah memberi tahu pada Laras.

"Aku nggak kuat, Bu. Aku ingin memiliki mas Ibra seutuhnya," protesnya tak terima.

"Apa bedanya sih, Li. Jadi yang kedua sama jadi yang pertama. Malah enak di posisi kamu. Nomor dua tapi diutamakan, sedangkan Laras, yang pertama tapi dinomorduakan. Sekarang apa? Ini ulah kamu yang ceroboh!"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Ibra kmu bilang Annisa g minta apa2 kmu yg bodoh sekarang kmu tau Annisa g mau d tinggal dn blum2 aja dh minta uang jamsostek d bagi dua padahal fia kerja g punya anak .masi minta jatah juga .
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
hahaha... blm jg ngejalani sprt yg selama ini Laras jalani, udah gak bisa nerima. gmn lagi nunggu sebln baru dikunjungi. emang enak ... dasar pelakor. tetap aja mentalnya pecundang.
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
bangsaattt ini emaknya , pelakor luknuttt ujung2nya tetap marukkk, hempaskan anak sama mak yg bangsatt ini thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status