Share

Bab 5

"Dik, aku sudah di sini, tapi kamu selalu mengacuhkan aku," protes Ibra saat dia sedang membuat surat lamaran pekerjaan.

"Oh, maaf, Mas. Mungkin karena aku terbiasa tanpa ada kamu di sini kali ya."

"Kamu tumben rapi banget hari ini, apa mau sesuatu dari ku, Dik?"

"Nggak lah, Mas. Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu mau yang intens silakan terbang ke rumah adik maduku, aku belum siap."

"Ngilu hatiku, Dik. Dengar kamu berujar seperti itu. Padahal aku kangen sama kamu, bukan Annisa."

"Oh iya, tapi sayangnya, aku belum siap menyambut kangen kamu, Mas. Tolong pahami, ya! Kamu ingat dan nggak akan ingkar janji atas kesepakatan kita 'kan? Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan ya 'kan, Mas."

"Iya, Dik. Iya, meski sakit, aku coba untuk mengerti kamu. Semoga segera kamu bisa menjawab rasa kangen aku, Dik."

"Aku pamit, ya, Mas. Buru-buru soalnya ada kegiatan. Jangan lupa, nanti tolong jemput Kinara sekolah sama suapin dia makan siang, ya! Jangan sampai telat jemput Kinaranya!"

"Kegiatan apa emangnya, Dik? Kok nggak ngasih tahu dari tadi?"

"Ada lah pokoknya, Mas."

Rasa bosan menyelimuti Ibra yang baru saja ditinggal pergi oleh Laras. Bukannya meneruskan membuat surat lamaran, Ibra malah meraih ponselnya yang tergeletak manis di dekat notebook-nya.

"Ya, Mas. Ada apa? Kamu kangen ya sama aku?" Terdengar suara manja Annisa di seberang sana.

"Iya, aku kangen, Sayang."

"Halah, paling kangen di mulut tanpa tindakan aja kamu, Mas!"

"Iya, serius. Aku kangen banget sama kamu, Sayang."

"Kalau kangen, buktikan dong!"

Ibra tampak gusar, menepis bayangan gaya Annisa yang sangat pandai melayaninya.

"Dik, kamu di mana?" Ibra akhirnya menelepon Laras, setelah setengah jam mempertimbangkan keinginan jiwanya.

"Ya, Mas. Ada apa? Aku belum selesai."

"Iya, ini, aku cuma mau ngabarin. Aku terbang ke Jakarta sekarang ya! Soalnya kamu tidak bisa menyambut rasa kangennya aku, kamu tahu sendiri 'kan, Dik. Kamu paham 'kan?"

"Oh jelas aku paham, Mas. Silakan! Pergi saja! Titip saja kunci rumah dengan bu Ririn, nanti biar aku ambil ke sana."

"Dik, kamu serius membiarkan aku pergi? Kamu tidak marah?"

"Nggak kok, Mas. Aku biasa saja. Lagian juga selama lima tahun belakang harimu sama rasa kangenmu juga sering Annisa yang menuntaskan, bukan?"

Meski sesak terasa, akan tetapi Laras semakin tahu, bagaimana suaminya saat ini. Dia lengah dengan perasaan Laras, wanita tinggi semampai ini berusaha menerima, akan tetapi dia sakit, kala suaminya memprioritaskan n*fsu ketimbang Kinara. Rela terbang ke Jakarta daripada menjemput Kinara ke sekolah.

"Mama hanya ingin menguatkan hati, Nak. Ketika berpisah nanti, tidak ada sesal di hati mama. Hari ini, papa kamu perlahan memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya," gumam Laras kala duduk di warung di seberang sekolah Kinara.

Laras lebih bisa menerima Ibra melepaskan kangennya pada Liana, daripada dia yang harus menuntaskannya. J*j*k, begitu yang tersirat dalam pikirannya. Belum lagi setiap bayangan perlakuan Ibra padanya, saat itu juga Laras terbayang sosok Liana.

"Ma, kok mama yang jemput aku? Papa mana, Ma?" Kinara berlari menghampiri Laras yang berdiri di ambang gerbang sekolah. Senyum yang sempat terkembang ketika berlari kecil, menciut datar seketika kala tak dia temukan sosok lelaki yang begitu dia kagumi selama ini.

Bagi seorang ibu, lebih menyakitkan jika lelaki yang dicintainya menyakiti buah cinta mereka. Dia yang lebih terluka. Dalam getaran emosi yang berusaha dia sembunyikan, Laras masih menyuguhkan seulas senyum di bibir berpoles lipstik warna merah bata.

Dia berjongkok supaya bisa sejajar dalam menatap.

"Papa ada urusan, Ki. Makanya mama yang jemput kamu."

"Papa ke Jakarta lagi, Ma?"

"Iya, mendadak, ada urusan katanya. Hmm ... gimana kalau kita pergi makan aja setelah itu kita pergi beli buku cerita, Kinara mau?" tawar Laras yang tak ingin anaknya sedih berlarut.

Selepas Isya, Laras semakin gelisah, anak semata wayangnya tidak banyak bicara sejak pulang sekolah. Tadi, ketika Laras menjemput anaknya di sekolah, Bu Sonya, gurunya Kinara pun bercerita bahwa Kinara murung karena merindukan papanya.Selesai sholat Magrib, Laras pun mencoba membujuk anaknya. Memang sadari pulang sekolah tadi sampai sekarang, tak ada senyum yang diperlihatkan Kinara.

"Kita telpon papa, ya!"

Wajah Kinara seketika berseri mendengarnya. "Mama serius?" tanya tak percaya. Dan, Laras membalas dengan sebuag anggukan. Tak lama kemudian, beranjak mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas.

"Mas ...."

"Laras, aku senang kamu menelepon, maaf aku belum sengaja belum menghubungi kamu. Takut kamu marah."

"Mas, ini Kinara mau bicara," Tanpa merespon apa yang diutarakan Ibra, Laras langsung menyerahkan ponsel miliknya pada Kinara.

Kinara terlihat bahagia, matanya berbinar, senyumnya terkembang.

"Pa, papa cepat pulang. Kinara kangen sama papa. Papa 'kan janji tidak pergi-pergi lagi."

"Iya, Sayang. Papa ada urusan, besok papa pulang, tunggu ya!"

"Hore!"

Setelah lima belas menit mendengar cerita Kinara, sambungan telepon pun berakhir.

"Jadi kamu besok mau balik, Mas?" tanya Annisa tak senang. Sejak tadi dia memang mendengar percakapan antara Ibra juga Kinara.

"Iya, Sayang."

"Aku nggak yakin kalau Kinara yang merengek supaya kamu pulang, Mas. Pasti mbak Laras yang menghasut."

"Tidak apalah kalau Laras menghasut, Sayang. Toh dia juga istriku. Mungkin dia gengsi, padahal dia sayang banget sama aku."

"Enak kamu, ya, Mas!"

"Jangan ngambek gitulah, Sayang. Kamu dari awal 'kan sudah tahu."

Wajah Annisa sangat kusut, meskipun dia tahu dari awal, tapi dia ingin Ibra dan Laras segera berakhir, agar dia bisa memiliki Ibra seutuhnya.

***

Di kediaman Ibra, Laras terbaring tak sadarkan diri di dapur. Pekikan Kinara membuat Ibra terkejut. Dan langsung berlari ke sumber suara

"Mama kenapa, Ki?" tanya Ibra. Kinara yang menangis pun tak bisa menjawab.

"Ma … jangan tinggalkan Kinara," ucapnya disela isak tangis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bu Iim
alur ceritanya berantakan,sebagai pembaca jd nyambung³in sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status