Share

Bab 3

"Sayang, kamu di mana? Kok mas sampai hotel resepsionisnya bilang kamu lagi keluar. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang dulu?"

"Iya, Mas. Aku udah di jalan, paling lima belas menit lagi sampai hotel."

Terbang ke Padang kali ini Ibra tidak sendirian, dia bersama istri mudanya. Namun, Ibra sama sekali tidak tahu jika istri mudanya itu datang menemui Laras.

"Dari mana kamu, Sayang?" Pertanyaan yang pertama kali terlontar kala Liana menghampiri dirinya yang tengah duduk di ruang tunggu hotel

"Ntar aja ceritanya di kamar, Mas."

Mereka pun menuju kamar sembari bergandengan tangan, terlihat mesra sekali.

"Jadi kamu pilih yang mana, Mas? Aku sudah berusaha membujuk mbak Laras untuk tidak berpisah dengan kamu. Tapi ...,"

Liana menceritakan semuanya pada Ibra.

"Mungkin Laras masih shock dengan apa yang terjadi, Sayang. Harusnya kamu tidak perlu ke sana. 'Kan sudah janji sama mas juga."

"Iya, cuma aku nggak tenang, Mas. Apalagi setelah mendengar cerita kamu semalam. Bahkan mbak Laras milih tidur di kamar Kinara ketimbang sama kamu."

"Iya, aku tahu. Kamu jangan gusar juga. Bulan besok aku 'kan pulang, semoga dia sudah berubah pikiran. Semoga mas tidak kehilangan satu di antara kalian."

"Jelas kamu tidak akan pernah kehilangan aku, Mas. Aku akan tetap bersama kamu sampai kapanpun."

Perempuan yang punya rambut potongan bob itu pun memeluk Ibra dengan erat. Bagi Liana, menjadi status istri siri pun sudah cukup baginya. Terlebih, perlakuan Ibra selama menikah lima tahun sangat membuat dirinya semangat menjalani hidup. Ibra suami sempurna di matanya, meski di hati Ibra, ada dua nama yang tersematkan. Dan, Liana tidak mempermasalahkan sama sekali.

***

Di teman bermain khusus anak, Kinara begitu menikmati setiap permainan yang ada.

"Apa kamu yakin untuk bercerai, Ras?" tanya Dinda setelah Laras menceritakan semua yang tengah menimpanya.

"Aku ragu sebenarnya, Din. Ragu bukan untuk diriku, tapi untuk Kinara."

"Kenapa memang? Apa yang bikin kamu ragu, Ras?"

"Dia tidak punya ayah sejak kecil, Din."

"Coba pikirkan lagi, Ras. Setiap masalah pasti ada solusinya 'kan."

"Harapan aku begitu, Din."

"Iya, ingat, madumu bukan orang lain, melainkan sepupu jauhmu. Pasti banyak hal yang mendasari hal itu, perselingkuhan, atau apalah namanya itu tidak mungkin terjadi begitu saja."

"Aku juga kepikiran seperti itu, Din."

"Kata madumu, dia tidak akan menganggu apa yang ada pada dirimu. Dengan dia memberikan capture isi percakapannya dengan mas Ibra, tentulah dia ada niat lain. Lakukan apa yang ingin hatimu lakukan, Ras. Kadang kita perlu me realisasikan apa yang dirasa biar tahu jawabannya seperti apa."

Laras mengalihkan topik lain, karena dia tidak mau larut dengan masalah yang pernah tidak dia sangka akan mendapatkan takdir seperti itu. Hal yang wajar juga Laras meragu, karena selama ini Ibra tak pernah bertingkah aneh padanya. Menerima telepon selalu di depan dirinya kala dia pulang, selalu video call setiap malam. Setiap jam juga menanya kabar Laras juga Kinara. Sampai tak ada cela apapun di mata Laras.

***

"Dik, aku mohon jangan putuskan untuk berpisah. Aku tidak sanggup kehilangan kamu." Lelaki yang begitu sempurna di mata Laras itu bersimpuh di hadapannya sebulan setelah kejadian yang sangat menoreh luka dalam bagi Laras.

"Baik, aku urungkan untuk berpisah." Ibra yang bersimpuh dengan kecepatan kilat langsung berdiri berhadapan dengan Laras.

"Benarkah, Dik?"

"Iya, benar. Namun, ada syaratnya."

Wajahnya yang sempat semringah berubah datar lagi sekejap.

"Syarat? Kenapa harus pakai syarat?"

"Ya, begitu inginku, jika kamu tidak berkenan, aku akan tetap pada pilihan awal. Bagaimana? Aku sedang tidak ingin berbasa-basi terlalu banyak, Mas. Lebih to the point saja."

Ibra memutar bola mata, ragu, juga takut. Dan, Laras membaca bahwa Ibra punya nyali yang ciut juga.

"Baiklah, apa itu syaratnya?"

"Kamu siap mendengar syarat dari aku, Mas?"

"Siap tidak siap sebenarnya, Dik. Aku takut kalau syarat yang kamu berikan tak mampu aku lakukan."

"Ah, jangan beralasan, Mas. Masa iya, kamu lebih takut dengan syarat yang akan aku lontarkan. Membohongi aku lima tahun saja kamu berani dan sangat gagah menyimpannya."

Ada senyum sindiran yang disuguhkan Laras. Sebulan sudah dia meratapi takdir yang datang, bergulirnya waktu serta berusaha ikhlas menerima takdir, pada akhirnya dia akan mengambil kesempatan ini sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi. Bukan dendam, Laras hanya ingin melihat seberapa bertanggung jawabnya Ibra pada Kinara, bukan pada dirinya.

"Baik, Dik. Apapun syaratnya, aku akan penuhi, apapun itu. Demi tetap bersatu dengan kamu dan juga Kinara, aku tidak ingin melukai Kinara lebih dalam, Dik."

"Pastikan kamu yakin, Mas. Jika aku sudah mengatakan apa yang aku inginkan, tidak ada lagi tawar-menawar. Bagaimana?"

"Sebutkan, Dik. Apa itu syaratnya? Aku yakin dan janji akan penuhi. Pastilah syaratnya tidak sebanding dengan kepergianmu."

"Wah, kamu memang pandai merangkai kata ya, Mas. Pantaslah aku terhipnotis selama ini. Hmm ... sebelumnya aku bersyukur kamu punya karir bagus, hingga mampu mempunyai dua istri. Lima tahun ke belakang, aku pun juga tidak kekurangan materil, kamu penuhi dan malahan kamu mampu membeli barang-barang yang bukan kebutuhan pokok. Terlebih, apa kemarin. Kamu bilang, dia, Annisa, tidak akan mengganggu apa yang aku punya. Klise banget."

"Dik, maaf atas kekhilafan ku."

"Ssttt ... aku belum bicara, Mas. Jangan potong dulu! Permintaanku, kamu boleh tetap berstatus suami-istri dengan madu ku itu, tapi aku minta kamu untuk resign dari kantor itu dan menetap tinggal dengan aku juga Kinara di sini. Itu yang pertama."

Tampak Ibra hendak berucap, Laras kembali mematahkannya. "Belum waktunya kamu ngomong, aku belum selesai. Kedua, silakan kamu mencari pekerjaan di sini, apapun itu yang penting halal. Ketiga, jika kamu rindu dengan adik madu ku, silakan temui dia sesuka hatimu. Dan, untuk nafkah bathinku, aku belum siap melayani mu seperti bulan hingga tahun sebelumnya."

"Dah, aku sudah selesai. Kamu boleh mengomentari perihal aku sebutkan tadi hanya tentang solusi bukan tawar-menawar. Paham, Mas?"

Ibra menelan Saliva susah payah, bak ada kerikil yang bersarang di kerongkongannya.

"Apa tidak ada syarat lain, Dik?"

"Mas, aku sudah katakan dari tadi, tidak ada tawar-menawar, kalau tidak, ya, aku akan menyelesaikannya di pengadilan."

"Ja-jangan, Dik."

"Oke, berarti silakan mulai lakukan secepatnya mungkin, Mas!"

Ibra merasa kecewa dengan kepulangannya saat ini, dia pikir, Laras akan berlapang hati menerima takdirnya, apalagi sikap Laras sama sekali tidak terlalu berubah drastis, tetap terdengar hangat menyambutnya di telepon meski tak banyak berbagi cerita. Laras bersikap demikian karena ada Kinara yang di depannya.

Laras juga tidak menanyakan detail apakah Ibra tahu, jikalau adik madunya itu adalah sepupu jauhnya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
jelas aja Liana gak bilang gak nuntut macem2. lha selama ini kan dia yg hidup bersama suaminya sehari2. cuma ditinggal sebln sekali. coba klw kond nya dibalik. dia yg diku jungi sebln sekali, apa iya msh bisa tahan... bagus juga tuh syarat dari Laras.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status