"Sayang, kamu di mana? Kok mas sampai hotel resepsionisnya bilang kamu lagi keluar. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang dulu?"
"Iya, Mas. Aku udah di jalan, paling lima belas menit lagi sampai hotel."Terbang ke Padang kali ini Ibra tidak sendirian, dia bersama istri mudanya. Namun, Ibra sama sekali tidak tahu jika istri mudanya itu datang menemui Laras."Dari mana kamu, Sayang?" Pertanyaan yang pertama kali terlontar kala Liana menghampiri dirinya yang tengah duduk di ruang tunggu hotel"Ntar aja ceritanya di kamar, Mas."Mereka pun menuju kamar sembari bergandengan tangan, terlihat mesra sekali."Jadi kamu pilih yang mana, Mas? Aku sudah berusaha membujuk mbak Laras untuk tidak berpisah dengan kamu. Tapi ...,"Liana menceritakan semuanya pada Ibra."Mungkin Laras masih shock dengan apa yang terjadi, Sayang. Harusnya kamu tidak perlu ke sana. 'Kan sudah janji sama mas juga.""Iya, cuma aku nggak tenang, Mas. Apalagi setelah mendengar cerita kamu semalam. Bahkan mbak Laras milih tidur di kamar Kinara ketimbang sama kamu.""Iya, aku tahu. Kamu jangan gusar juga. Bulan besok aku 'kan pulang, semoga dia sudah berubah pikiran. Semoga mas tidak kehilangan satu di antara kalian.""Jelas kamu tidak akan pernah kehilangan aku, Mas. Aku akan tetap bersama kamu sampai kapanpun."Perempuan yang punya rambut potongan bob itu pun memeluk Ibra dengan erat. Bagi Liana, menjadi status istri siri pun sudah cukup baginya. Terlebih, perlakuan Ibra selama menikah lima tahun sangat membuat dirinya semangat menjalani hidup. Ibra suami sempurna di matanya, meski di hati Ibra, ada dua nama yang tersematkan. Dan, Liana tidak mempermasalahkan sama sekali.***Di teman bermain khusus anak, Kinara begitu menikmati setiap permainan yang ada."Apa kamu yakin untuk bercerai, Ras?" tanya Dinda setelah Laras menceritakan semua yang tengah menimpanya."Aku ragu sebenarnya, Din. Ragu bukan untuk diriku, tapi untuk Kinara.""Kenapa memang? Apa yang bikin kamu ragu, Ras?""Dia tidak punya ayah sejak kecil, Din.""Coba pikirkan lagi, Ras. Setiap masalah pasti ada solusinya 'kan.""Harapan aku begitu, Din.""Iya, ingat, madumu bukan orang lain, melainkan sepupu jauhmu. Pasti banyak hal yang mendasari hal itu, perselingkuhan, atau apalah namanya itu tidak mungkin terjadi begitu saja.""Aku juga kepikiran seperti itu, Din.""Kata madumu, dia tidak akan menganggu apa yang ada pada dirimu. Dengan dia memberikan capture isi percakapannya dengan mas Ibra, tentulah dia ada niat lain. Lakukan apa yang ingin hatimu lakukan, Ras. Kadang kita perlu me realisasikan apa yang dirasa biar tahu jawabannya seperti apa."Laras mengalihkan topik lain, karena dia tidak mau larut dengan masalah yang pernah tidak dia sangka akan mendapatkan takdir seperti itu. Hal yang wajar juga Laras meragu, karena selama ini Ibra tak pernah bertingkah aneh padanya. Menerima telepon selalu di depan dirinya kala dia pulang, selalu video call setiap malam. Setiap jam juga menanya kabar Laras juga Kinara. Sampai tak ada cela apapun di mata Laras.***"Dik, aku mohon jangan putuskan untuk berpisah. Aku tidak sanggup kehilangan kamu." Lelaki yang begitu sempurna di mata Laras itu bersimpuh di hadapannya sebulan setelah kejadian yang sangat menoreh luka dalam bagi Laras."Baik, aku urungkan untuk berpisah." Ibra yang bersimpuh dengan kecepatan kilat langsung berdiri berhadapan dengan Laras."Benarkah, Dik?""Iya, benar. Namun, ada syaratnya."Wajahnya yang sempat semringah berubah datar lagi sekejap."Syarat? Kenapa harus pakai syarat?""Ya, begitu inginku, jika kamu tidak berkenan, aku akan tetap pada pilihan awal. Bagaimana? Aku sedang tidak ingin berbasa-basi terlalu banyak, Mas. Lebih to the point saja."Ibra memutar bola mata, ragu, juga takut. Dan, Laras membaca bahwa Ibra punya nyali yang ciut juga."Baiklah, apa itu syaratnya?""Kamu siap mendengar syarat dari aku, Mas?""Siap tidak siap sebenarnya, Dik. Aku takut kalau syarat yang kamu berikan tak mampu aku lakukan.""Ah, jangan beralasan, Mas. Masa iya, kamu lebih takut dengan syarat yang akan aku lontarkan. Membohongi aku lima tahun saja kamu berani dan sangat gagah menyimpannya."Ada senyum sindiran yang disuguhkan Laras. Sebulan sudah dia meratapi takdir yang datang, bergulirnya waktu serta berusaha ikhlas menerima takdir, pada akhirnya dia akan mengambil kesempatan ini sebelum memutuskan untuk benar-benar pergi. Bukan dendam, Laras hanya ingin melihat seberapa bertanggung jawabnya Ibra pada Kinara, bukan pada dirinya."Baik, Dik. Apapun syaratnya, aku akan penuhi, apapun itu. Demi tetap bersatu dengan kamu dan juga Kinara, aku tidak ingin melukai Kinara lebih dalam, Dik.""Pastikan kamu yakin, Mas. Jika aku sudah mengatakan apa yang aku inginkan, tidak ada lagi tawar-menawar. Bagaimana?""Sebutkan, Dik. Apa itu syaratnya? Aku yakin dan janji akan penuhi. Pastilah syaratnya tidak sebanding dengan kepergianmu.""Wah, kamu memang pandai merangkai kata ya, Mas. Pantaslah aku terhipnotis selama ini. Hmm ... sebelumnya aku bersyukur kamu punya karir bagus, hingga mampu mempunyai dua istri. Lima tahun ke belakang, aku pun juga tidak kekurangan materil, kamu penuhi dan malahan kamu mampu membeli barang-barang yang bukan kebutuhan pokok. Terlebih, apa kemarin. Kamu bilang, dia, Annisa, tidak akan mengganggu apa yang aku punya. Klise banget.""Dik, maaf atas kekhilafan ku.""Ssttt ... aku belum bicara, Mas. Jangan potong dulu! Permintaanku, kamu boleh tetap berstatus suami-istri dengan madu ku itu, tapi aku minta kamu untuk resign dari kantor itu dan menetap tinggal dengan aku juga Kinara di sini. Itu yang pertama."Tampak Ibra hendak berucap, Laras kembali mematahkannya. "Belum waktunya kamu ngomong, aku belum selesai. Kedua, silakan kamu mencari pekerjaan di sini, apapun itu yang penting halal. Ketiga, jika kamu rindu dengan adik madu ku, silakan temui dia sesuka hatimu. Dan, untuk nafkah bathinku, aku belum siap melayani mu seperti bulan hingga tahun sebelumnya.""Dah, aku sudah selesai. Kamu boleh mengomentari perihal aku sebutkan tadi hanya tentang solusi bukan tawar-menawar. Paham, Mas?"Ibra menelan Saliva susah payah, bak ada kerikil yang bersarang di kerongkongannya."Apa tidak ada syarat lain, Dik?""Mas, aku sudah katakan dari tadi, tidak ada tawar-menawar, kalau tidak, ya, aku akan menyelesaikannya di pengadilan.""Ja-jangan, Dik.""Oke, berarti silakan mulai lakukan secepatnya mungkin, Mas!"Ibra merasa kecewa dengan kepulangannya saat ini, dia pikir, Laras akan berlapang hati menerima takdirnya, apalagi sikap Laras sama sekali tidak terlalu berubah drastis, tetap terdengar hangat menyambutnya di telepon meski tak banyak berbagi cerita. Laras bersikap demikian karena ada Kinara yang di depannya.Laras juga tidak menanyakan detail apakah Ibra tahu, jikalau adik madunya itu adalah sepupu jauhnya?"Mas, kenapa kamu harus memenuhi semua permintaannya mbak Laras? Kamu tahu, itu menyakitkan bagiku.""Aku bisa apa, Sayang. Aku juga tidak mau kehilangan Laras apalagi kehilangan Kinara, lima tahun sudah aku di sini sama kamu. Apa salahnya jika aku sekarang hidup serumah bersama Laras juga anak semata wayang kami. Laras belum mau aku sentuh dalam hal r*nj*ng. Jadi, cuma kamu seorang yang akan melayaniku sejauh itu. Dia juga tidak membatasi aku untuk bertemu dengan kamu, Sayang. Bukankah itu kelonggaran yang cukup lapang?""Aku tidak yakin, Mas. Aku tidak percaya. Kalian menikah sudah 10 tahun, mana mungkin mbak Laras menolak kalau kamu ajak, apalagi kalian serumah. Bisa-bisa semakin intens.""Jangan berlebihan cemburunya, aku akan komit pada syarat yang diberikan Laras. Kamu tenang saja.""Gimana aku bisa tenang, Mas. Kamu di sana bukan dalam waktu sehari ataupun dua hari. Namun, lebih dari itu.""Ini konsekuensi aku, Sayang. Kamu juga harus berlapang dada jika yang terjadi seperti in
"Dik, aku sudah di sini, tapi kamu selalu mengacuhkan aku," protes Ibra saat dia sedang membuat surat lamaran pekerjaan."Oh, maaf, Mas. Mungkin karena aku terbiasa tanpa ada kamu di sini kali ya.""Kamu tumben rapi banget hari ini, apa mau sesuatu dari ku, Dik?""Nggak lah, Mas. Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu mau yang intens silakan terbang ke rumah adik maduku, aku belum siap.""Ngilu hatiku, Dik. Dengar kamu berujar seperti itu. Padahal aku kangen sama kamu, bukan Annisa.""Oh iya, tapi sayangnya, aku belum siap menyambut kangen kamu, Mas. Tolong pahami, ya! Kamu ingat dan nggak akan ingkar janji atas kesepakatan kita 'kan? Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan ya 'kan, Mas.""Iya, Dik. Iya, meski sakit, aku coba untuk mengerti kamu. Semoga segera kamu bisa menjawab rasa kangen aku, Dik.""Aku pamit, ya, Mas. Buru-buru soalnya ada kegiatan. Jangan lupa, nanti tolong jemput Kinara sekolah sama suapin dia makan siang, ya! Jangan sampai telat jem
"Selamat ya, Bu. Ibu hamil. Sudah tujuh minggu.""Haa? Apa, Dok? Aku hamil?" Laras tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter yang memeriksa perutnya secara manual.Iya, kita USG dulu, ya, Bu.""Dokter serius? Istri saya benaran hamil?" Ibra ikut kaget, tapi ada bahagia tergugat dari wajahnya."Iya, Pak. Mana mungkin saya berbohong. Selamat ya, Pak."Kinara ikut pun ikut bahagia mendengar bahwa dia akan jadi kakak.Ibra memutuskan mengantar Laras ke rumah sakit selepas pingsan ketika memasak di dapur tadi pagi. Awalnya, Laras menolak, tapi Ibra terus memaksa. Apalagi wajah Laras terlihat begitu pucat."Saya pesan 'kan sama bapak dan ibu agar lebih menjaga kandungan kali ini, agak lemah. Untuk ibu jangan sampai banyak pikiran juga.""Bapak juga bantu ibu agar dia tidak banyak pikiran. Kalau tidak kasihan sama calon bayi di kandungannya.""Baik, Dok."Dokter Irda pun meresepkan obat penguat serta vitamin tambahan untuk Laras."Aku tidak perlu di papah, Mas!" Laras berusaha melepaskan
"Laras hamil.""Haa? Apa? Hamil? Nggak, itu nggak mungkin. Gimana dia bisa hamil. Katamu, kalian sudah sebulanan lebih tidak berhubungan bagaimana bisa? Pasti ini akal-akalan kamu aja 'kan? Jawab, Mas!""Ini serius, Sayang. Laras hamil. Aku menyentuhnya tepat waktu kamu mengatakan semuanya itu. Setelahnya nggak pernah lagi.""Aku nggak percaya, Mas. Bagaimana bisa coba.""Ya, jelas kamu nggak percaya. Orang kamu nggak pernah hamil!" "Apa? Jahat kamu, Mas! Tega kamu bicara seperti itu sama aku, Mas!"Sambungan telepon di putus sepihak oleh Annisa. Amarahnya tak bisa lagi dikendalikan. Kabar yang disampaikan Ibra, sangat-sangat menyakitkan baginya. Rasa takut kehilangan Ibra semakin terpampang nyata di pelupuk matanya.Ibra tidak mempedulikan Annisa yang merajuk. Di pikirannya ini adalah bagaimana merebut kembali apa yang sudah hilang sebulan lebih ke belakang. Dia begitu kehilangan sosok Laras yang hangat ketika bersama dirinya. Kehamilan Laras saat ini akan dia manfaatkan dengan seba
"Iya, Sayang. Ada apa?""Ada apa kata kamu, Mas? Semingguan ini kamu cuekin aku giliran tersambung kamu nanya ada apa? Kamu benar-benar sudah berubah sekarang! Kamu nggak mikirin gimana sakitnya aku seorang diri di sini.""Ya 'kan kamu tahu sendiri aku lagi sibuk ngurus rumah sama Kinara juga.""Apa, Mas? Jadi kamu ngebabu di sana? Kok kamu mau aja sih. Coba pikir ulang deh, Mas. Mending di sini. Berkarir lagi sama aku. Kita hidup kayak dulu lagi.""Ya 'kan Laras lagi susah hamil kedua ini. Jadi, aku yang ngurus semuanya. Tidak ada yang salah juga 'kan. Sepertinya aku tidak bisa berkarir di sana lagi. Soalnya Senin depan udah masuk kerja di sini.""Haa? Kamu kerja di mana?" Annisa sontak kaget tak percaya. Harapannya makin sia-sia."Perusahaan farmasi juga. Udah, ya, Sayang aku mau jalan dulu."Tanpa menunggu persetujuan dari Annisa, Ibra langsung mematikan sambungan telepon."Apa ini karena jawaban doa kamu, Dik?" gumamnya menatap kosong.Sebelum menyala mesin mobil, dia menelepon ib
Jantung Ibra mulai berdetak karuan kala dia menatap wajah ibunya yang tidak enak dipandang."Mau bicara soal apa, Bu?" tanyanya dan kembali duduk di sofa."Kenapa kamu mengkhianati, Laras? Apa kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati itu? Kamu tahu gimana sakitnya ibu dikhianati ayahmu? Kenapa kamu lakukan itu pada Sarah, Ib?"Ibra seakan tercekat. Tak menyangka sama sekali deretan kalimat itu yang keluar dari mulut ibunya. Dia mengira, ibunya tak akan pernah mengetahui bangkai yang disimpan dengan rapat."Ras, kamu ngomong semuanya ke ibu? Kamu kalau dendam, nggak gini caranya, Ras." Suara Ibra meninggi."Diam, Ibra. Laras tidak salah, dia juga tidak mengadu pada ibu. Satu hal yang tidak ada pada lelaki, yaitu kepekaan yang dilihat pakai mata hati. Termasuk kamu! Kamu juga tidak punya soal itu. Kamu pikir, ibu akan membela kamu begitu? Ingat, Ibra. Kamu meminta Laras pada ibunya bukan untuk disakiti. Kamu yang berbuat dosa, ibu yang menanggung malu. Mentang-mentang karirmu sudah bagus,
"Benar lah, Mas. Kalau aku tahu dia sepupu jauh, ngapain aku nikah sama suami sodara aku sendiri. Emang kamu pikir aku nggak punya perasaan? Siapa fitnah aku? Jawab, Mas?""Tadi ibuku nanya, Laras yang bilang begitu ke ibuku.""Apa? Jadi ibumu sudah tahu, Mas. Gimana? Dia marah kamu punya istri dua?""Jelaslah marah dia. Udah ah, aku mau istirahat, pusing!""Eh ... Mas. Aku ---."Tanpa mempedulikan Annisa, Ibra mematikan sambungan teleponnya.***Esok harinya, keadaan rumah tak sehangat kemarin, sejak kejadian semalam, bu Yani bungkam tak berbicara pada Ibra. Ibra pun demikian, biasanya menyalami ibunya sebelum pergi bekerja, tapi kali ini tidak. Dia cukup kecewa dan marah, karena fitnah Laras, ibunya tega menampar dirinya."Ibu serahin semuanya sama kamu, Ras. Kalau misalnya tetap mau berpisah silakan. Ibu tak akan memaksa kamu bertahan, karena ibu tahu sakitnya seperti apa.""Iya, Bu. Hatiku benar-benar sudah hancur sekarang. Berpisah memang pilihan ku. Aku berharap, mas Ibra bisa m
"Kamu yakin mau mengundurkan diri secara mendadak gini, Sa?" Denada, selaku atasan Annisa, memastikan apakah keputusan yang diambil perempuan bermata coklat itu sudah dipikirkan matang-matang."Yakin, Bu. Sangat yakin," jawab Annisa tegas."Tapi ini cukup gila lho, Sa. Kamu resign mendadak, nggak bisa dapat surat pengalaman kerja, gaji bulan ini juga di potong, sebanyak kamu hadir aja dibayar. Malah sekarang pertengahan bulan lagi. Apa nggak sebaiknya di tunggu sampai bulan depan aja? Dua minggu lagi lho, padahal? Kalau dihitung hari kerja, juga cuma lima hari lagi.""Iya, Bu. Aku sudah tahu konsekuensi gimana prosedur kalau resign dadakan gini. Dan, aku emang nggak bisa undur, karena udah banyak planning yang mau aku kerjakan, Bu.""Kamu diterima di perusahaan lain?"Annisa menggeleng cepat, disusul sahutan kemudian, "nggak, Bu," jawabnya sekenanya saja."Hmm ... baiklah, kalau memang kamunya sudah bulat tekad dan memikirkan matang-matang saya juga tidak bisa berbuat banyak. Meskipun