Share

Bullying

Hari pertama di sekolah, Acha sangat bersemangat menuju sekolah barunya dengan menggunakan angkutan umum. Acha yang memutuskan untuk tinggal di panti asuhan yang dimiliki oleh orang tuanya. Acha berangkat dengan penampilan yang sangat sederhana, bahkan dia tidak mengenakan sepatu baru ataupun tas barunya.

Sungguh sangat mencerminkan orang kalangan bawah yang sangat kontras dengan tampilan murid-murid di sekolahnya. Dan itulah yang memancing perhatian seluruh murid disana.

Banyak siswi yang memandang remeh dan jijik pada penampilan kampungan Acha. Tak hanya siswi, siswa pun memandang aneh dan jijik pada Acha.

Namun Acha sama sekali tak menggubris ataupun terlalu memikirkan cibiran dan tatapan semua penghuni sekolah barunya. Dengan santainya Acha melintasi tiap lorong demi lorong untuk mencapai ruang kelasnya.

Seperti halnya sekolah pada umumnya, masa orientasi siswa dilakukan dengan begitu antusiasnya bagi para murid baru. Namun tidak dengan Acha, dia bahkan tak menemukan satu teman pun yang mau berteman dengannya.

Acha hanya duduk diam seorang diri melihat canda tawa dari murid-murid baru lainnya yang nampak bahagia dan senang karena baru saja berkenalam dengan teman barunya. Acha hanya duduk di bawah pohon di tepi lapangan sembari memainkan tali sepatunya.

Dan saat kebosanan mulai menderanya, tiba-tiba perhatian Acha tertuju pada gerombolan siswi yang sedang berkerumun. Acha berusaha menajamkan pandanganya agar bisa melihat apa yang para siswi itu kerumuni.

Dan tak lama kemudian, muncullah sosok pria tampan yang berusaha melepaskan diri dari kejaran para siswi itu. Laki-laki itu juga siswa baru disini, namun parasnya yang sudah sangat dewasa dan begitu berkharisma.

Acha sangat terpana pada pandangan pertamanya pada laki-laki yang tengah digandrungi oleh para siswi itu. Sampai akhirnya, laki-laki itu berlari meninggalkan para siswi itu melarikan diri.

Acha merasa kecewa karena kehilangan pusat perhatiannya pada laki-laki yang dianggapnya menarik perhatiannya itu. Hari-hari Acha lalui dengan datar, dan terkesan membosankan.

Sudah satu minggu namun dia masih saja seorang diri tanpa ada yang mau berteman dengannya.

Dan ditambah lagi bullying yang didapatkannya tak ada hentinya setiap hari. Kemanapun Acha menginjakkan kakinya, pasti akan ada cibiran dan perkataan pedas yang diterimanya. 

"Eh cewek kampungan, ngapain lo keluyuran ke kantin segala! Kalau lo disini yang ada lo itu malah nyebarin kuman di badan lo!" ketus salah seorang siswi yang tak lain adalah Sari, teman satu kelas Acha yang selalu menjelekkan Acha.

Sari dan gengnya masuk dalam pentolan angkatan Acha. Selain paras cantik yang dimilikinya juga kekayaan dan fasilitas pendukung dari orang tuanya membuat tampilan Sari dan gengnya selalu menjadi sorotan.

"Iya nih si udik. Nggak tahu malu banget jadi orang! Tempat lo itu bukan disini tapi disana tuh!" sahut teman Sari bernama Kitty sembari menunjuk ke arah tempat sampah.

Semua orang di kantin menertawai Acha dan menjadikan Acha pusat perhatian disana. Acha masih diam, karena dia memang sudah terlalu biasa mendengar cercaan semacam itu. Hati Acha sudah sangat terlatih untuk menghadapi berbagai cemoohan yang diterimanya.

"Eh, lo budek ya! Apa lo bisu? Gagu? Hah! Atau jangan-jangan yang kita semua omongin itu bener ya, makanya lo diem aja. Lo itu kampungan, udik, miskin, jelek, dan..." sambung Sari terjeda, "sampah...." lanjutnya.

Pandangan Acha yang semula tertunduk kini beralih menatap Sari dengan beraninya. Acha hanya berpikir kenapa ada orang seperti Sari yang bisanya cuma merendahkan dan menghina orang saja. Untung saja yang Sari hina saat ini Acha, coba aja kalau orang lain pasti mereka sudah bunuh diri karena frustasi dan down saat mendengar cacian Sari setiap harinya.

Merasa ditantang, Sari membalas pandangan tajam Acha dengan sombong dan pongahnya. Sari mendekat ke arah Acha dan mencengkeram dagu Acha erat.

"Kenapa lo liat gue kayak gitu? Berani lo sama gue!" tantang Sari dengan congaknya.

Acha malah memutar wajah malasnya dan seketika Sari mengambil jus yang ada di meja sampingnya dan mengguyur wajah Acah dengan jus. Rasa dingin langsung menyerang membuat Acha spontan menggapai tisu di meja depannya namun tisu tersebut lebih dahulu diambil oleh Sari.

"Ikut gue sekarang!" ketus Sari lantas menyeret lengan Acha dan diikuti oleh gengnya yang berjumlah 5 orang itu. Sari membawa Acha ke gudang belakang sekolah yang sudah tak terpakai.

Salah seorang geng Sari sudah membawa seember air  dan langsung disiramkan ke Acha membuat Acha gemetar menahan dingin. Sari lantas mendorong Acha sampai Acha ambruk ke lantai.

"Inget baik-baik ya. Tempat lo itu di bawah sana! Bukan sama kita-kita semua! Gue jijik banget sama lo dan sampai kapanpun lo nggak akan pernah hidup tenang di sekolah ini", tegas Sari pada Acha.

"Apa salah aku sama kalian semua?" tanya lirih Acha menahan kedinginan.

"Salah lo adalah lo udah jadi sampah di sekolah ini dan gue paling gak suka ada yang ngotorin sekolah milik keluarga gue ini!" pekik Sari menjawab sudah pertanyaan Acha.

Sari adalah cucu dari pemilik sekolah bergengsi ini. Kehidupan berkecukupan membuat Sari dilingkupi oleh orang-orang kalangan atas juga. Sari paling membenci orang miskin, karena bagi Sari orang miskin adalah sumber penyakit dan pembawa musibah.

Orang miskin hanya bisa ngerepotin dan minta belas kasih. Bisanya cuma minta, ngemis, dan nipu. Orang miskin cuma beban yang harus dihapuskam dari muka bumi ini. Entah apa alasan yang mendasari Sari membenci orang miskin dengan spekulasinya yang sangat menyudutkan orang kalangan bawah.

Namun yang pasti semua yang dikatakan Sari jelas tidak bisa dibenarkan, terutama bagi Acha. Acha yang mendapat olokan habis-habisan dari Sari mulai bisa menebak jalan pikiran Sari yang sangat dangkal itu.

"Kamu salah kalau kamu nilai semua orang miskin seperti itu!" elak Acha.

"Berani lo ngejawab gue! Punya nyali lo sekarang! Rasain ini!" jawab Sari merasa semakin terbakar emosi karena pembelaan dari Acha.

Sari melayangkan tangannya hendak menampar Acha namun segera Acha tepis tangan Sari sebelum melukai wajahnya. Hal itu sontak membuat Sari dan kelima temannya menatap tak percaya dengan tingkah berani Acha

Bukan Acha penakut karena selama ini hanya diam meladeni olokan demi olokan yang dilontarkan untuknya. Acha diam hanya karena Acha tak mau memperpanjang permasalahan yang ada. Acha diam hanya karena dia tak suka keributan.

Selama ini pun Acha tak pernah ambil pusing jika ada yang menghinanya karena memang mereka hanya mengoloknya saja, tidak sampai menyakiti secara fisik. Dan yang dilakukan Sari dan gengnya sungguh sangat keterlaluan dirasa Acha.

Mereka belum tahu jika Acha juga bisa melawan bahkan membalas perbuatan mereka. Itulah mengapa mereka sangat tercengang melihat Acha yang begitu berani sekarang ini.

"Sialan, pegangin dia!" titah Sari pada kelima temannya.

Ketiga temannya langsung mengarah pada tangan Acha dan memeganginya, membuat Acha tersudut dan tak bisa berbuat banyak lagi. Sari menjambak rambut Acha dengan begitu kuatnya sampai Acha ikut terdongak ke atas.

Kedua teman Sari langsung ikut serta dalam penganiayaan yang dilakukan Sari. Acha yang sudah mulai merasa kesakitan di sekujur tubuhnya yang mulau memar-memar tak mampu membalas perbuatan Sari dan teman-temannya. Acha terduduk lemas di lantai dengan luka yang terasa sangat sakit.

Sari dan kelima temannya menertawakan Acha dengan begitu bahagianya melihat Acha yang sudah tak mampu lagi bergerak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status