Share

part 2

Hinaan Bagas

"Mas... Mas tunggu!" teriak Anisa yang berlari keluar rumah ketika mobil milik Wulan telah melaju.

"Massss. Mas Bagas."

Lagi dan lagi Anisa berteriak namun mobil telah berlalu menuju jalanan dan menghilang. Anisa terengah-engah nafasnya tak beraturan.

"Nisa! Masuk kamu! Kamu belum menyelesaikan pekerjaan kamu. Biarkan Bagas pulang, kaya gak bisa pulang saja kamu."

"Bude, aku kan berangkat bareng suamiku."

"Apa salahnya bantu yang ada disini, Nis. Nanti aku kasih ongkos untuk pulang. Sudah sana buruan selesaikan pekerjaan kamu."

Mau tak mau, Anisa kembali masuk kedalam rumah dan menyelesaikan semua tugas yang dipikulnya. Lelah? Tentu dirinya lelah dan letih, sejak tadi hati dan pikirannya kacau, apalagi sejak tadi dia juga tak berhenti untuk istirahat sedikitpun.

Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam ketika semua pekerjaan dirumah Bude Sari selesai. Rasanya Anisa sudah tak sanggup untuk pulang namun ia juga tak mau tinggal di rumah Bude Sari.

"Nih upah kamu bekerja disini. Dan sana pulang," ucap Bude Sari.

"Terimakasih Bude. Kalau begitu saya pamit."

Anisa melangkahkan kakinya keluar dari rumah Bude Sari. Suasana malam yang sunyi membuat Anisa bingung. Pangkalan ojek yang biasanya masih ramai tetapi kini sudah sepi.

**********************

Byurrr....

"Astagfirullah. Ibu kok guyur aku?"

"Makanya bangun. Sudah jam berapa ini. Malah enak-enakan tidur diteras. Mau bikin malu keluarga ini. Apa kata tetangga nanti kalau melihat kamu tidur disini. Cepat bereskan dan masuk langsung buat sarapan."

"Bu, aku semalam pulang dan gak ada yang bukain pintu. Aku lelah, Bu "

"Alasan. Badan sama tenaga kok gak imbang. Buruan sebelum para tetangga melihat." Bu Mutia masuk dengan tanpa menoleh ke arah menantunya.

Dengan tubuh menggigil, Anisa ikut mengekor di belakang Ibu mertuanya. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian.

'Mengapa nasib aku menjadi seperti ini. Apa salah dan dosaku selama ini. Suamiku hingga kini tak pernah mengakui diriku. Apa wanita dari kampung tak pantas di cintai? Bapak... Andai Bapak tahu bagaimana nasib anakmu ini.' Batin Anisa sambil terus menangis.

"Heh gendut masak! Malah melamun aja. Itu cucian juga banyak dibelakang."

"Iya Mbak," jawab Anisa yang kini terus mengaduk sayur sop guna sarapan keluarga Bagas.

Usai memasak dan beberes rumah Anisa memilih untuk beristirahat sejenak. Apalagi sang suami juga sudah berangkat bekerja. Walau dirinya tak di anggap, namum ia sebisa mungkin untuk menunjukan baktinya pada Bagas.

"Eh gendut, itu setrikaan banyak. Malah leha-leha aja dikamar. Gimana badan gak mau tambah gendut. Lihat penampilan kamu itu seperti apa? Pantas Bagas tak pernah jatuh hati sama kamu. Sudah bau, gemuk, kulit kusam, rambut... Ah sudahlah susah mendeskripsikan," cecar Mbak Wulan yang terang- terangan menghina Anisa.

"Mbak, aku mau istirahat sebentar saja. Nanti aku kerjakan semuanya. Semalam aku tidur di kursi depan jadi badan aku pegal-pegal," kata Anisa memohon pengertian dari iparnya.

"Makanya banyak gerak. Siapa suruh tidur diluar. Kalau kamu kerjanya cepat tentu kami semuanya belum tidur."

"Ya ampun, Anisa! Buruan setrika baju, itu baju sudah menumpuk. Malah enak-enakan di kamar. Eh mana upah yang diberikan sama Bude Sari kemarin. Pasti di berikan upah kan? Sini uangnya," pinta Bu Mutia yang mana menyodorkan tangannya untuk meminta hasil kerja Anisa kemarin siang.

"Cepat, Nisa. Mana uangnya!" Ulang Bu Mutia yang tak sabar menerima uang dari Anisa.

"Itukan hasil kerja Anisa, bu," lirih Anisa yang mana menundukkan kepalanya.

"Kamu mau melawan ibu mertuamu, Nisa!" hardik Bu Mutia sambil memelototkan matanya.

"Heh gendut. Dengerin perkataan Ibu gak sih. Apa sudah tuli kamu, hah!" seru Wulan di samping sang Ibu.

Dengan terpaksa Anisa merogoh saku celananya, mengeluarkan upah kerjanya kemarin siang dirumah Bude Sari. Uang itu rencananya ingin dia simpan dan digunakan untuk pulang ke kampung halamannya.

"Kok segini?" tanya Bu Mutia yang mana sudah mengambil uang Anisa.

"Ya memang segitu, Bu. Itu sebagain buat ongkos pulang naik ojek."

"Apa? Rumah Bude Sari dekat Nisa. Ngapain naik ojek segala? Kamu bisa jalan kaki, Nisa."

"Bu, semalam sudah larut. Jalanan juga sudah sepi, Nisa takut kalau jalan kaki. Nisa juga kelelahan, Bu. Telfon Mas Bagas juga tak di angkat. Makanya Nisa naik ojek." Nisa berusaha menjelaskan duduk perkara pada sang mertua.

"Halah alasan saja kamu itu. Kamu mau bersenang-senang pakai uang ini? Sudah Ibu bilang semua uang harus diserahkan sama Ibu," hardik Bu Mutia.

"Bu... Bukan begitu..."

"Halah mau membela diri dia, Bu. Sudah berikan hukuman saja wanita gendut itu," potong Wulan saat Anisa tengah menjelaskan semuanya.

"Jangan, Bu. Nisa minta maaf. Tolong jangan hukum Nisa, Bu," ucap Anisa yang kini sudah berderai air mata. Bibirnya bergetar menahan isak tangisnya.

"Entah suamiku dahulu berhutang budi apa kepada kamu dan keluarga mu sehingga dengan tega memaksa Bagas untuk menikahi kamu. Bagas rela meninggalkan kekasih hatinya yang cantik, glowing, kaya pula hanya demi wanita gemuk, kusam dan mana dari kampung pelosok pula. Malam ini kamu tak dapat jatah makan, sekarang kerjakan pekerjaan kamu," ujar Bu Mutia dan langsung pergi dari hadapan Anisa.

Bagi Anisa menerima hukuman adalah hal yang mengerikan dalam hidupnya. Biasanya dia akan dihukum melebihi kemampuannya, namun kali ini hukuman yang diberikan lumayan ringan. Namun siapa juga yang tak akan lapar jika tak makan nantinya.

"Dirumah ini aku menantu tetapi mengapa hidupku seperti pembantu," gumam Anisa dalam hatinya.

"Astagfirullah.... Mengapa aku mempunyai pikiran seburuk itu. Aku kan seorang istri dan juga menantu disini. Jadi wajar jika membatu pekerjaan mertua apalagi tugas istri memnag harus sepeti ini. Berbakti pada suami adalah hal utama. Semangat Anisa, kamu pasti bisa. Suatu saat nanti Mas Bagas akan menerima kamu dengan sendirinya," lirih Anisa menyemangati dirinya.

Dengan semangat Anisa segera menyetrika tumpukan baju-baju di keranjang baju. Semua baju di rumah ini Anisa lah yang mencuci dan menyetrika. Untuk pakaian milik Nana, Anisa harus juga merapikan di dalam lemari.

4 jam sudah Anisa menyetrika tumpukan baju yang mengunung. Dirinya merenggangkan tubuhnya sembari mengusap peluh yang membanjiri kening dan tubuhnya.

"Alhamdulillah selesai juga. Sepertinya ini sudah sore, lebih baik mandi dan memasak, sebentar lagi mas Bagas pasti pulang."

Usai merapikan baju milik Nana, Anisa segera menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Anisa akan memasak sehari 2 kali, pagi dan sore hari untuk makan malam. Semua kebutuhan rumah sudah diatur oleh Bu Mutia, bahkan sejak menikah pun Anisa tak diberi uang sama sekali oleh Bagas. Seluruh gaji Bagas akan dikelola oleh Bu Mutia. Bahkan jika kebutuhan Anisa sudah tak ada, maka dia akan meminta kepada sang mertua.

"Mas, sudah pulang." Anisa menyambut  Bagas ketika pulang bekerja. Dengan senyum mengembang segera ia mendekati Bagas.

"Menjauh dariku. Tubuh mu bau sekali. Rasanya mau muntah!" hardik Bagas sambil menutup hidungnya dan melewati Anisa di depan pintu.

Deg ...

Bersambung ..... 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hrj anjinb, g bermutu banget cerita. terlalu bodoh tokoh rekaan kau anjinb membuat jijik membaca cerita sampah kau ini. dimana otak kau ketika menulis cerita yg g masuk akal ini. klu jodoh g usah menulis cerita
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status