Hinaan Bagas
"Mas... Mas tunggu!" teriak Anisa yang berlari keluar rumah ketika mobil milik Wulan telah melaju."Massss. Mas Bagas."Lagi dan lagi Anisa berteriak namun mobil telah berlalu menuju jalanan dan menghilang. Anisa terengah-engah nafasnya tak beraturan."Nisa! Masuk kamu! Kamu belum menyelesaikan pekerjaan kamu. Biarkan Bagas pulang, kaya gak bisa pulang saja kamu.""Bude, aku kan berangkat bareng suamiku.""Apa salahnya bantu yang ada disini, Nis. Nanti aku kasih ongkos untuk pulang. Sudah sana buruan selesaikan pekerjaan kamu."Mau tak mau, Anisa kembali masuk kedalam rumah dan menyelesaikan semua tugas yang dipikulnya. Lelah? Tentu dirinya lelah dan letih, sejak tadi hati dan pikirannya kacau, apalagi sejak tadi dia juga tak berhenti untuk istirahat sedikitpun.Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam ketika semua pekerjaan dirumah Bude Sari selesai. Rasanya Anisa sudah tak sanggup untuk pulang namun ia juga tak mau tinggal di rumah Bude Sari."Nih upah kamu bekerja disini. Dan sana pulang," ucap Bude Sari."Terimakasih Bude. Kalau begitu saya pamit."Anisa melangkahkan kakinya keluar dari rumah Bude Sari. Suasana malam yang sunyi membuat Anisa bingung. Pangkalan ojek yang biasanya masih ramai tetapi kini sudah sepi.**********************Byurrr...."Astagfirullah. Ibu kok guyur aku?""Makanya bangun. Sudah jam berapa ini. Malah enak-enakan tidur diteras. Mau bikin malu keluarga ini. Apa kata tetangga nanti kalau melihat kamu tidur disini. Cepat bereskan dan masuk langsung buat sarapan.""Bu, aku semalam pulang dan gak ada yang bukain pintu. Aku lelah, Bu ""Alasan. Badan sama tenaga kok gak imbang. Buruan sebelum para tetangga melihat." Bu Mutia masuk dengan tanpa menoleh ke arah menantunya.Dengan tubuh menggigil, Anisa ikut mengekor di belakang Ibu mertuanya. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian.'Mengapa nasib aku menjadi seperti ini. Apa salah dan dosaku selama ini. Suamiku hingga kini tak pernah mengakui diriku. Apa wanita dari kampung tak pantas di cintai? Bapak... Andai Bapak tahu bagaimana nasib anakmu ini.' Batin Anisa sambil terus menangis."Heh gendut masak! Malah melamun aja. Itu cucian juga banyak dibelakang.""Iya Mbak," jawab Anisa yang kini terus mengaduk sayur sop guna sarapan keluarga Bagas.Usai memasak dan beberes rumah Anisa memilih untuk beristirahat sejenak. Apalagi sang suami juga sudah berangkat bekerja. Walau dirinya tak di anggap, namum ia sebisa mungkin untuk menunjukan baktinya pada Bagas."Eh gendut, itu setrikaan banyak. Malah leha-leha aja dikamar. Gimana badan gak mau tambah gendut. Lihat penampilan kamu itu seperti apa? Pantas Bagas tak pernah jatuh hati sama kamu. Sudah bau, gemuk, kulit kusam, rambut... Ah sudahlah susah mendeskripsikan," cecar Mbak Wulan yang terang- terangan menghina Anisa."Mbak, aku mau istirahat sebentar saja. Nanti aku kerjakan semuanya. Semalam aku tidur di kursi depan jadi badan aku pegal-pegal," kata Anisa memohon pengertian dari iparnya."Makanya banyak gerak. Siapa suruh tidur diluar. Kalau kamu kerjanya cepat tentu kami semuanya belum tidur.""Ya ampun, Anisa! Buruan setrika baju, itu baju sudah menumpuk. Malah enak-enakan di kamar. Eh mana upah yang diberikan sama Bude Sari kemarin. Pasti di berikan upah kan? Sini uangnya," pinta Bu Mutia yang mana menyodorkan tangannya untuk meminta hasil kerja Anisa kemarin siang."Cepat, Nisa. Mana uangnya!" Ulang Bu Mutia yang tak sabar menerima uang dari Anisa."Itukan hasil kerja Anisa, bu," lirih Anisa yang mana menundukkan kepalanya."Kamu mau melawan ibu mertuamu, Nisa!" hardik Bu Mutia sambil memelototkan matanya."Heh gendut. Dengerin perkataan Ibu gak sih. Apa sudah tuli kamu, hah!" seru Wulan di samping sang Ibu.Dengan terpaksa Anisa merogoh saku celananya, mengeluarkan upah kerjanya kemarin siang dirumah Bude Sari. Uang itu rencananya ingin dia simpan dan digunakan untuk pulang ke kampung halamannya."Kok segini?" tanya Bu Mutia yang mana sudah mengambil uang Anisa."Ya memang segitu, Bu. Itu sebagain buat ongkos pulang naik ojek.""Apa? Rumah Bude Sari dekat Nisa. Ngapain naik ojek segala? Kamu bisa jalan kaki, Nisa.""Bu, semalam sudah larut. Jalanan juga sudah sepi, Nisa takut kalau jalan kaki. Nisa juga kelelahan, Bu. Telfon Mas Bagas juga tak di angkat. Makanya Nisa naik ojek." Nisa berusaha menjelaskan duduk perkara pada sang mertua."Halah alasan saja kamu itu. Kamu mau bersenang-senang pakai uang ini? Sudah Ibu bilang semua uang harus diserahkan sama Ibu," hardik Bu Mutia."Bu... Bukan begitu...""Halah mau membela diri dia, Bu. Sudah berikan hukuman saja wanita gendut itu," potong Wulan saat Anisa tengah menjelaskan semuanya."Jangan, Bu. Nisa minta maaf. Tolong jangan hukum Nisa, Bu," ucap Anisa yang kini sudah berderai air mata. Bibirnya bergetar menahan isak tangisnya."Entah suamiku dahulu berhutang budi apa kepada kamu dan keluarga mu sehingga dengan tega memaksa Bagas untuk menikahi kamu. Bagas rela meninggalkan kekasih hatinya yang cantik, glowing, kaya pula hanya demi wanita gemuk, kusam dan mana dari kampung pelosok pula. Malam ini kamu tak dapat jatah makan, sekarang kerjakan pekerjaan kamu," ujar Bu Mutia dan langsung pergi dari hadapan Anisa.Bagi Anisa menerima hukuman adalah hal yang mengerikan dalam hidupnya. Biasanya dia akan dihukum melebihi kemampuannya, namun kali ini hukuman yang diberikan lumayan ringan. Namun siapa juga yang tak akan lapar jika tak makan nantinya."Dirumah ini aku menantu tetapi mengapa hidupku seperti pembantu," gumam Anisa dalam hatinya."Astagfirullah.... Mengapa aku mempunyai pikiran seburuk itu. Aku kan seorang istri dan juga menantu disini. Jadi wajar jika membatu pekerjaan mertua apalagi tugas istri memnag harus sepeti ini. Berbakti pada suami adalah hal utama. Semangat Anisa, kamu pasti bisa. Suatu saat nanti Mas Bagas akan menerima kamu dengan sendirinya," lirih Anisa menyemangati dirinya.Dengan semangat Anisa segera menyetrika tumpukan baju-baju di keranjang baju. Semua baju di rumah ini Anisa lah yang mencuci dan menyetrika. Untuk pakaian milik Nana, Anisa harus juga merapikan di dalam lemari.4 jam sudah Anisa menyetrika tumpukan baju yang mengunung. Dirinya merenggangkan tubuhnya sembari mengusap peluh yang membanjiri kening dan tubuhnya."Alhamdulillah selesai juga. Sepertinya ini sudah sore, lebih baik mandi dan memasak, sebentar lagi mas Bagas pasti pulang."Usai merapikan baju milik Nana, Anisa segera menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Anisa akan memasak sehari 2 kali, pagi dan sore hari untuk makan malam. Semua kebutuhan rumah sudah diatur oleh Bu Mutia, bahkan sejak menikah pun Anisa tak diberi uang sama sekali oleh Bagas. Seluruh gaji Bagas akan dikelola oleh Bu Mutia. Bahkan jika kebutuhan Anisa sudah tak ada, maka dia akan meminta kepada sang mertua."Mas, sudah pulang." Anisa menyambut Bagas ketika pulang bekerja. Dengan senyum mengembang segera ia mendekati Bagas."Menjauh dariku. Tubuh mu bau sekali. Rasanya mau muntah!" hardik Bagas sambil menutup hidungnya dan melewati Anisa di depan pintu.Deg ...Bersambung .....Kepedihan hati AnisaSakit hati ini mendengar ucapan Mas Bagas. Aku akui hari ini sangat payah, seharian sungguh panas apalagi mengerjakan pekerjaan rumah yang cukup banyak dan menguras energi. Badanku gemuk jadi lebih cepat mengeluarkan keringat jika beraktivitas. Selesai berkutat di dapur dan menghidangkan makan malam kesukaan Mas Bagas, rencananya aku hendak mandi. Telinga ini mendengar suara deru sepeda motornya memasuki halaman rumah, hati sangat ini bahagia. Sebagi seorang istri aku tentu harus menyambut suami saat pulang bekerja. Segera aku melangkah keluar dan membukakan pintu untuk Mas Bagas. Senyum ini mengembang mengetahui suami pulang dengan selamat. Tangan ini ku ulurkan untuk mencium tangannya, namun tanganku ini langsung ditepisnya demgan kasar oleh Mas Bagas. Mas Bagas memang tak pernah mau menerima uliran tanganku yang hendak mencium punggung tangannya seperti istri-istri lainnya, namun ia tak pernah menepisnya seperti ini. Ucapannya sungguh menusuk hatiku. Apakah
Menolak DimaduMalam ini Anisa berdandan memilih pakaian yang menurutnya paling bagus. Wajahnya ia poles dengan bedak dan tak lupa sebagai warna di bibir ia memoles lipstik berwarna merah. Ya, hanya ini make up kepunyaan Anisa. Make up ini saja pemberian dari tetangga sebelah lantaran mendapatkan giveaway berlebih. "Kamu mau apa dandan seperti itu? Aneh!" "Kan kata Mas Bagas ada tamu penting yang akan datang ke rumah, makanya aku dandan biar gak bikin malu Mas Bagas, Mbak." "Hahahaha kehadiran kamu saja sudah buat malu Bagas dan keluarga ini, lah ini sok gaya mau nemuin tamu Bagas, sudah masuk ke kamar atau siap-siapin makan malam dibelakang." "Sudah aku siapkan semaunya, Mbak. Tinggal menunggu Mas Bagas pulang." Suara deru mobil memasuki halaman rumah Bu Mutia. Anisa segera keluar membuka pintu, ia yakin itu adalah sang suami. Kebetulan hari ini suaminya menggunakan mobil milik Wulan untuk kekantor lagipula ia akan mengajak seseorang untuk datang kerumahnya bertemu dengan sang I
Kampung HalamanPerjalanan malam kian sunyi dan sepi. Anisa duduk di bangku belakang bersama sang Ibu, dirinya masih termenung dengan segala kesedihannya. Air mata terus meluncur tak dapat ia hentikan. Sedih, sakit dan perih kini ia rasakan, setelah sekian lama tinggal dirumah bersama Bagas baru kali ini ia pergi tanpa seijin Bagas. Bu Utari merasa sedih melihat sang putri terus menangis sepanjang perjalanan ke kampung halamannya. Bu Utari selalu menggenggam erat tangan Anisa, memberikan kekuatan pada sang putri tercinta. "Kita makan malam dahulu, dan beristirahat sejenak." Ucap Pak Andi yang memecah keheningan didalam mobil yang ia sewa, sedangkan untuk supir ia meminta tolong Abi keponakannya. Perjalanan dari rumah Bagas menuju kampung halaman Anisa membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Maka dari itu Pak Andi memilih untuk istirahat Sejenak dan menikmati makan malam disalah satu rumah makan yang ditemuinya. Anisa hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata kedua orangtuanya. Tak ad
Warisan keluarga Bagas"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?" Betapa kagetnya aku kala mengetahui siapa yang memanggil didepan Masjid. Dia adalah seorang pria yang selalu dekat denganku dahulu. Salah satu teman sekaligus sahabatku. Sebagai tempat aku berkeluh kesah. Namun setelah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku kehilangan sabahat yang selalu ada disamping_ku. "Mas Satria." "Ya.... Kamu masih mengingatku, Nisa. Aku pikir kamu bakalan lupa sama aku." ucap Satria sambil terkekeh pelan. "Gak mungkin lah, Sat. Kamu teman sekaligus sahabat aku selama ini. Maaf, Sat, aku masuk dahulu." "Baiklah. Mungkin bisa dilanjut nanti lagi." Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah apa yang harus aku lakukan. Satria sangat paham akan diriku ini, ia mudah menebak apa isi hati dan pikiranku. Usai sholat berjamaah, aku memilih segera pulang, sesuai dugaanku, Bapak dan Ibu jiga sudah dirumah. Bisanya Bapak akan ke Masjid untuk sholat, namun kali ini tidak, entah mungkin lelah bekerja j
Kerepotan BagasBagaimana bisa, Mas Bagas saja hingga saat ini tetap bersikap dingin kepadaku. Aku dan Mas Bagas menang berstatus suami istri, namun aku merasa bukan sebagai istrinya. "Pak, bukankah jika..." "Tidak, Nisa. Bapak tak merestui lagi pernikahan kalian. Lebih baik berpisah, itu akan membuat bapak leboh tenang. Didunia ini masih banyak pria yang benar-benar tulus menyayangi kamu, Nisa." Ucapan Bapak benar-benar menohok hati ini, namun apakah aku bisa? Cintaku hingga saat ini masih bertepuk sebelah tangan. Rasa sayangku pada Mas Bagas begitu besar dan tulus. "Nak, benar kata Bapakmu ini. Berpisah dengan Bagas, itu jalan yang terbaik. Hati ibu mana yang tak sakit hati dan kecewa kala putri yang telah dikandung selama 9 bulan diperlakukan semena-mena seperti itu. Ibu yang melahirkan kamu, yang mengasihi, yang menimang setiap hari, memberikan kasih sayangnya dengan penuh cinta. Gak akan ada yang sanggup, Nak. Kebahagiaan kamu bukan bersama Bagas." ucap Ibu dengan derai air
Baju Baru AnisaSudah satu minggu Anisa berada di kampung halamannya. Satu minggu juga Bagas tak berusaha menghubungi Anisa atau menyusulnya ke kampung. Rasa sakit, kecewa memenuhi hatinya. "Masih mikirin suami kamu itu? Buat apa mikirin dia? Bapak sudah menghubungi pengacara buat urus perpisahan kamu." "M....maksud Bapak apa?" Tentu Anisa terkejut akan pernyataan Pak Andi. Ia yang sedang membantu sang Ibu, sontak saja berhenti. "Ya, kamu akan berpisah dengan Bagas." "Pak... Anisa." ."Sudah Anisa, jangan berharap demgan lelaki seperti Bagas. Kalau hanya kebutuhan kamu, bapak masih bisa. Apa kamu tahu Bagas di kota sedang apa? Dia sedang menyiapkan pesta pernikahannya." Ya, Anisa tak begitu terkejut akan hal itu. Kemarin ia sempat menstalking media sosial milik Linda. Linda mengunggah foto gedung pernikahannya dan rancangan gaun yang akan digunakan. Apalagi sepasang cincin berlian yang sanga
Mendapatkan pekerjaanBerkali-kali dering ponsel milik Bapak berdering, namun Bapak mengabaikannya dan malah mematikan ponsel miliknya. Ada rasa lega, tapi penasaran juga ada apa Bu Mutia menghubungi Bapak berkali-kali. Tentu Ibu mertuaku ini tak dapat menghubungiku, lantaran nomor ponselku sudah mati, jadinya aku harus mengganti nomor baru dan itu belum aku lakukan hingga sekarang. Entah Bapak dan Ibu menyadarinya atau tidak, tapi aku tak mengharapkan lebih. Mungkin besok baru aku akan kepasar lagi menjual anting milikku ini. Sekaligus mencari pekerjaan. Malam ini terasa lebih lama, hati ini terus memikirkan Mas Bagas. Hati ini selalu bertanya-tanya mengapa ia tak mencariku kemari? Apakah sesibuk itu ia mempersiapkan pernikahannya hingga tak mengingatku? Mata ini sulit terpejam, mengingat setiap momen dirumah Mas Bagas, mengingat momen saat ia mengucap ikrar nikah yang mana hati ini mulai terpesona akan dirinya. Sepasang Gaun pengant
Keputusan AnisaDengan perlahan aku masuk kedalam rumah. Tangan ini menggenggam erat tas yang ku_kenakan. "Assalamu'alaikum." ucapku kala langkah ini memasuki rumah. Sejenak semua yang ada didalam rumah menolah kearah pintu masuk. Aku mencoba untuk tersenyum. Walau jantung ini begitu berdebar. "Wa'alaikumsalam." jawab Bapak dan Ibu. Ya hanya Bapak dan Ibuku saja yang menjawab salam dariku. Sedangkan Mas Bagas, Bu Mutia, Nana tak menjawab salamku. "Aduh kenapa kamar mandinya kaya gitu sih, Pak. Gak ada toilet duduk begitu," Seketika pandangan ini menoleh ke arah asal suara yang mana ada Linda. Ada apa lagi mereka kemari, hati ini sudah sedikit tenang mengapa mereka mengusik lagi. "Di desa tak ada yang punya toilet duduk, berbeda dengan di kota. Orang desa gak akan bisa yang menggunakannya. Bahkan mereka biasanya memilih di empang bawah sungai sana untuk keperluannya," Jawab Bapak Linda tak menang