Warisan keluarga Bagas
"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?"Betapa kagetnya aku kala mengetahui siapa yang memanggil didepan Masjid. Dia adalah seorang pria yang selalu dekat denganku dahulu. Salah satu teman sekaligus sahabatku. Sebagai tempat aku berkeluh kesah. Namun setelah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku kehilangan sabahat yang selalu ada disamping_ku."Mas Satria.""Ya.... Kamu masih mengingatku, Nisa. Aku pikir kamu bakalan lupa sama aku." ucap Satria sambil terkekeh pelan."Gak mungkin lah, Sat. Kamu teman sekaligus sahabat aku selama ini. Maaf, Sat, aku masuk dahulu.""Baiklah. Mungkin bisa dilanjut nanti lagi."Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah apa yang harus aku lakukan. Satria sangat paham akan diriku ini, ia mudah menebak apa isi hati dan pikiranku.Usai sholat berjamaah, aku memilih segera pulang, sesuai dugaanku, Bapak dan Ibu jiga sudah dirumah. Bisanya Bapak akan ke Masjid untuk sholat, namun kali ini tidak, entah mungkin lelah bekerja jadi memilih untuk sholat dirumah saja."Assalamu'alaikum." ucapku saat menginjakan kaki ini di teras rumah."Wa'alaikumsalam. Ibu cariin ternyata kamu ke masjid, Nis. Ibu sudah khawatir.""Nis, ayo kita makan. Bapak sudah belikan bakso granat kesukaan kamu. Setelah itu ada yang mau Bapak bicarakan.""Baik, Pak."Entah apa yang akan Bapak bicarakan nanti. Tiba-tiba perasaanku cemas dan gelisah. Apa Bapak akan membicarakan tentang pernikahanku yang... Entahlah, aku sendiri juga bingung saat ini.Seketika aroma kuah bakso yang segar membuat perut ini terasa kosong dan minta diisi, padahal tadi hendak makan saja tak berselera. Bapak dan Ibu tahu sekali akan diri ini. Sudah lama juga aku tak makan bakso. Bakso adalah makanan kesukaanku.Jika aku dan Satria jalan, pasti ia akan mengajakku menikmati bakso granat extra cabai, mood yang rusak atau rasa lelah di badan setelah seharian bekerja akan hilang saat menikmati bakso favoritku."Ibu tahu kamu tadi makan hanya sedikit, maka dari itu ibu meminta Bapak untuk membeli bakso granat extra cabai didalamnya. Ini kan menu kesukaan kamu, jelas ini gak akan bisa kamu tolak, Nisa."Seketika senyum ini terbit di wajahku. Ibu selalu bisa membuat hati ini nyaman dan bahagia. Sudah lama juga aku tak tertawa bahkan tersenyum seperti ini, yang ada hanya senyum kepalsuan selama dirumah mertua. Ah, aku jadi merindukan Mas Bagas, siang ini dia makan apa? Bagaimana keadaannya."Terimakasih, Bu, Pak. Kalian selalu membuah Anisa terharu." ucapku yang mana sudah menahan air mata ini yang ingin keluar."Kami adalah orangtuamu. Jelas bapak dan Ibumu akan sellau membahagiakan kamu. Ayo diamkan keburu dingin gak enak. Perut bapak juga sudah lapar, cacingnya minta diisi."Ya, kami makan dalam diam, tak ada pembicaraan apa-apa. Mungkin setelah ini Bapak akan bicara apa yang ingin beliau utarakan kepadaku. Semoga saja bukan tentang pernikahanku dengan Mas Bagas. Hati ini masih belum siap jika harus berpisah dengannya.Usai makan dan mencuci mangkuk kotor, ternyata Bapak sudah menunggu diruang tamu dengan kepulan asap rokoknya. Setelah melihat aku dan Ibu, segera Bapak mematikan rokok yang ia hisap tadi. Segelas air putih hangat sudah tersaji dihadapan Bapak dan langsung diminum hingga tandas."Nisa, apa Bagas menghubungimu?" tanya Bapak yang secara tiba-tiba.Aku terdiam dan menunduk, menautkan kedua tanganku, perasaan ini gelisah dan tak menentu. Aku harus menjawab apa? Apa aku harus jujur?"Sudah bapak duga, ia tak mungkin menghubungi kamu. Ada dan tidak adanya kamu disana tentu tak berpengaruh padanya. Apa kamu masih menginginkan pria seperti itu? Lelaki yang dengan teganya mengatakan kepada keluarga besar ingin menikah lagi dengan wanita lain tanpa memperdulikan istri pertamanya adalah lelaki yang tak pantas untuk dipertahankan. Lihat keadaan kamu, Nisa. Bapak sedih melihat kamu harus memohon dan menangis seperti malam itu, bahkan mertua kamu bukannya membela menantu namun juga malah menyudutkan kamu dengan berkata kasar yang seharusnya tak di ucapakan oleh orangtua.Bapak sakit hati ketika kamu dihina sedemikian. Bapak yang membesarkan kamu dengan penuh kasih sayang namun nyatanya putri bapak malah dihina dan direndahkan oleh suami dan mertuanya. Apa kamu disana selaku diperlakukan buruk, Nisa?"Tebakan Bapak selalu tepat. Aku semakin bingung dan gelisah untuk menjawabnya. Mata ini mulai berair, meluncurkan air mata yang aku tahan. Jika mengingat malam itu, hati ini sangat perih.Aku hanya menggelengkan kepala, tapi air mata ini tak sanggup aku hentikan. Tak mungkin aku menjelekan suamiku."Jangan bohong, Anisa!""Ma... Maaf, Pak."Hanya kata maaf yang mamung aku ucapkan, tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ibu yang tadi duduk di samping Bapak, kini beranjak dan duduk di sampingku. Mengusap lengan ini dengan lembut."Jangan bersedih, Nisa. Kamu bisa mencurahkan apapun kepada Ibu atau Bapak. Kami suap menjadi teman cerita dan berbagi suka duka_mu.""Bapak dan Ibu kemarin kesana bukan hanya ingin mengunjungi kamu saja, Nisa. Bapak ada tujuan untuk kalian, namun apa yang bapak lihat dan saksikan. Niatan bapak itu akhirnya bapak urungkan."Aku menyeka sisa air mata ini, menatap Bapak yang duduk dihadapan_ku."Maksud Bapak apa?" tanyaku yang masih belum mengerti akan arah pembicaraan Bapak kali ini."Bapak kemarin menemui Pak Harso pengacara Almarhum Bapak mertua kamu. Bapak membuat kesepakatan dengan beliau jika dalam 5 tahun kalian belum memiliki anak, maka lebih baik warisan itu dibagikan kepada anak dan Ibu mertuamu saja. Paling tidak harta warisan itu akan sangat bermanfaat untuk kelurga besar Bagas. Bisa juga untuk modal membangun usaha, membangun rumah atau apa saja. Bukankah selama ini kakak ipar_mu dan suaminya tinggal satu atap denganmu. Sebenarnya itu tak baik dalam rumahtangga." ucap Bapak."Kenapa Bapak bisa berbuat seperti itu? Bukankan disurat wasiat itu tertera kalau warisan itu harus dibagikan setelah aku melahirkan keturunan Mas Bagas? Apakah bisa dirubah begitu saja, Pak?"Kalau seperti itu yang Bapak utarakan, maka aku akan bertahan selama 3 tahun lagi. Sebentar lagi sudah memasuki 2tahun pernikahan kami. Aku harus mengatakan ini pada Mas Bagas. Biarkan setelah 5 tahun pernikahan kami, harta warisan itu dibagikan dan ia bisa menikahi Linda, pujaan hatinya. Walau aku yakin, tak akan sanggup bagiku untuk melakukan semaunya. Entah apa jadinya nanti setelah 5 tahun pernikahan, pasti rasa ini akan semakin kuat dan akan berat meninggalkannya apalagi berpisah untuk selamanya."Tetapi dengan syarat kalian tak akan pernah berpisah dan tak ada poligami didalamnya. Namun, melihat kamu diperlakukan seperti itu lebih baik kalian berpisah saja. Tak usah lagi kita mengurusi warisan milik keluarga Bagas. Bapak akan menghubungi Pak Harso segera mungkin. Bapak mana yang rela jika melihat sang Putri tercinta disakiti dan dihina seperti itu. Lebih baik kalian berpisah, bapak dan ibu akan demgan lapang dada menerima kamu kembali. Jelas sekali jika Bagas tak mencintai kamu dan tak menginginkan kamu sebagai istrinya.""Apa!"Kerepotan BagasBagaimana bisa, Mas Bagas saja hingga saat ini tetap bersikap dingin kepadaku. Aku dan Mas Bagas menang berstatus suami istri, namun aku merasa bukan sebagai istrinya. "Pak, bukankah jika..." "Tidak, Nisa. Bapak tak merestui lagi pernikahan kalian. Lebih baik berpisah, itu akan membuat bapak leboh tenang. Didunia ini masih banyak pria yang benar-benar tulus menyayangi kamu, Nisa." Ucapan Bapak benar-benar menohok hati ini, namun apakah aku bisa? Cintaku hingga saat ini masih bertepuk sebelah tangan. Rasa sayangku pada Mas Bagas begitu besar dan tulus. "Nak, benar kata Bapakmu ini. Berpisah dengan Bagas, itu jalan yang terbaik. Hati ibu mana yang tak sakit hati dan kecewa kala putri yang telah dikandung selama 9 bulan diperlakukan semena-mena seperti itu. Ibu yang melahirkan kamu, yang mengasihi, yang menimang setiap hari, memberikan kasih sayangnya dengan penuh cinta. Gak akan ada yang sanggup, Nak. Kebahagiaan kamu bukan bersama Bagas." ucap Ibu dengan derai air
Baju Baru AnisaSudah satu minggu Anisa berada di kampung halamannya. Satu minggu juga Bagas tak berusaha menghubungi Anisa atau menyusulnya ke kampung. Rasa sakit, kecewa memenuhi hatinya. "Masih mikirin suami kamu itu? Buat apa mikirin dia? Bapak sudah menghubungi pengacara buat urus perpisahan kamu." "M....maksud Bapak apa?" Tentu Anisa terkejut akan pernyataan Pak Andi. Ia yang sedang membantu sang Ibu, sontak saja berhenti. "Ya, kamu akan berpisah dengan Bagas." "Pak... Anisa." ."Sudah Anisa, jangan berharap demgan lelaki seperti Bagas. Kalau hanya kebutuhan kamu, bapak masih bisa. Apa kamu tahu Bagas di kota sedang apa? Dia sedang menyiapkan pesta pernikahannya." Ya, Anisa tak begitu terkejut akan hal itu. Kemarin ia sempat menstalking media sosial milik Linda. Linda mengunggah foto gedung pernikahannya dan rancangan gaun yang akan digunakan. Apalagi sepasang cincin berlian yang sanga
Mendapatkan pekerjaanBerkali-kali dering ponsel milik Bapak berdering, namun Bapak mengabaikannya dan malah mematikan ponsel miliknya. Ada rasa lega, tapi penasaran juga ada apa Bu Mutia menghubungi Bapak berkali-kali. Tentu Ibu mertuaku ini tak dapat menghubungiku, lantaran nomor ponselku sudah mati, jadinya aku harus mengganti nomor baru dan itu belum aku lakukan hingga sekarang. Entah Bapak dan Ibu menyadarinya atau tidak, tapi aku tak mengharapkan lebih. Mungkin besok baru aku akan kepasar lagi menjual anting milikku ini. Sekaligus mencari pekerjaan. Malam ini terasa lebih lama, hati ini terus memikirkan Mas Bagas. Hati ini selalu bertanya-tanya mengapa ia tak mencariku kemari? Apakah sesibuk itu ia mempersiapkan pernikahannya hingga tak mengingatku? Mata ini sulit terpejam, mengingat setiap momen dirumah Mas Bagas, mengingat momen saat ia mengucap ikrar nikah yang mana hati ini mulai terpesona akan dirinya. Sepasang Gaun pengant
Keputusan AnisaDengan perlahan aku masuk kedalam rumah. Tangan ini menggenggam erat tas yang ku_kenakan. "Assalamu'alaikum." ucapku kala langkah ini memasuki rumah. Sejenak semua yang ada didalam rumah menolah kearah pintu masuk. Aku mencoba untuk tersenyum. Walau jantung ini begitu berdebar. "Wa'alaikumsalam." jawab Bapak dan Ibu. Ya hanya Bapak dan Ibuku saja yang menjawab salam dariku. Sedangkan Mas Bagas, Bu Mutia, Nana tak menjawab salamku. "Aduh kenapa kamar mandinya kaya gitu sih, Pak. Gak ada toilet duduk begitu," Seketika pandangan ini menoleh ke arah asal suara yang mana ada Linda. Ada apa lagi mereka kemari, hati ini sudah sedikit tenang mengapa mereka mengusik lagi. "Di desa tak ada yang punya toilet duduk, berbeda dengan di kota. Orang desa gak akan bisa yang menggunakannya. Bahkan mereka biasanya memilih di empang bawah sungai sana untuk keperluannya," Jawab Bapak Linda tak menang
Hari pertama bekerja"Jangan bilang kamu menyesal berbicara seperti tadi dihadapan, Bagas!" "Aku, masih menyimpan rasa pada, Mas Bagas, Pak. Apa aku salah menyimpan rasa itu. Kami menikah hampir 2 tahun lamanya, tentu rasa itu sulit untuk dilupakan begitu saja." keluhku pada Bapak dan Ibu. "Ibu tahu, Nak. Tapi.... Tapi buat apa menyimpan rasa begitu besarnya pada, Bagas? Lihatlah dia yang dengan santai membawa calon madu untuk mu kemari, bahkan dia juga mengatakan akan menikah sebentar lagi. Mereka sedang mempersiapkan pernikahan, Nisa." "Apa aku gak berhak bahagia, Bu?" "Kamu berhak bahagia, namun bukan bersama, Bagas. Tunjukan jika kamu bisa, Nisa. Tunjukan seperti apa yang kamu bilang tadi dihadapan, Bagas." Ya, aku harus bisa. Bukankah aku bertekad untuk berubah dan kuat menghadapi mereka lagi. Aku akan belajar pelan- pelan dan Mas Bagas akan menyesal meninggalkan aku."Oh iya, Bu, Pak, aku sudah mendapatka
Kecoak dikamar BagasPov BagasArgh si@l bener hari ini, sudah datang jauh-jauh dari kota ke desa yang... ah menyebalkan. Mana harus menunggu berjam-jam kedatangan Anisa, eh sekali datang diajak pulang gak mau, malah minta cerai lagi. Apa enaknya hidup kadi janda coba. Anisa disana juga terlihat bahagia, dia juga banyak berpergian. Makin seenaknya dia. Apa dia gak mikir jika aku ini masih suaminya yang harus dipatuhi dan dilayani. Semenjak dia pergi meninggalkan rumah hidupku makin kacau, baju kotor menumpuk tak ada yang mencucikan bahkan pakai tak ada yang merapikan bajuku. . Meminta tolong pada Mbak Wulan harus bayar dahulu mana setrikaannya gak rapi seperi Anisa. Apalagi setiap pagi sarapan juga tak tersedia yang mana aku harus membelinya sendiri, bahkan sekedar kopi aku harus membuatnya sendiri. Kepergian Anisa membuat hidupku makin kacau. Makan setiap hari harus membeli, mana aku juga harus menanggung makan seisi rumah.
# 13 Make over Anisa"Bagas. Ada apa Gas?" teriak Ibu dari luar kamar. Segera aku berlari membuka pintu dengan nafas tak beraturan, jantung ini masih berdegup kencang. "Ada apa sih, Mas, bikin kaget satu rumah saja." Gerutu Nana."Hmmm itu ada kecoak didalam akmar Bagas, Bu. Ish, Bagas, geli banget mana tadi merambat dikeoalaki ini, Bu. Pokok ya besok ibu cari orang buat bebwres rumah semaunya. Harus wangi dan bwrsih tak ada kecoak." "Astaga ini kamar atau sarang burung, Bagas? Pantas saja ada kecoak, lah kamar kamu selrti ini, mana bau banget lagi. Ya sudah besok Ibu carikan orang yang mau beberes rumah. Kamu yang bayar kan?" "Iya. Tapi cuma untuk satu hari saja." "Loh kok satu hari sih, Gas. Gak seterusnya," ujar Mbak Wulan."Gak, cuma satu hari saja. Kalau Mbak mau seterusnya ya kita patungan." "Eh.. eh gak bisa dong." "Ya sudah, kalau gak mau. Aku juga lagi butuh uang
# 14 Skincare gratisSiang ini Mbak Jeni mengubah gaya rambutku, ia memotong sedikit rambut panjang ini. Usai perawatan rambut, Mbak Jeni, melakukan perawatan untuk wajahku, tak lupa kuku kaki dan tangan ini juga dirawat. Sungguh ini adalah pengalaman pertama bagiku perawatan di salon. "Oh iya, besok kota perawatan badan kamu ya. Kalau sekarang cukup ini dahulu. Nanti aku berikan rangkaian skincare untuk kamu gunakan setiap hari." "Iya, Mbak. Terimakasih banyak, baru pertama kali ini aku melakukan perawatan di salon." "Apa? Baru kali ini?" Mbak Jeni tentu terkejut atas ucapan ku."Iya, Mbak. Sejak dahulu aku fokus bantu Bapak dan Ibu di sawah, dan tak mengenal perawatan- perawatan seperti ini. Paling cukup beli sabun cuci muka, sama pelembab yang sashet itu aja. Ditambah bedak, lipstik dan handbody yang tentu murah dikantong." ucapku yang terus terang. Ya, memnag begitulah sebenarnya. Bukan aku tak ingin,