Share

Part 6

Warisan keluarga Bagas

"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?"

Betapa kagetnya aku kala mengetahui siapa yang memanggil didepan Masjid. Dia adalah seorang pria yang selalu dekat denganku dahulu. Salah satu teman sekaligus sahabatku. Sebagai tempat aku berkeluh kesah. Namun setelah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku kehilangan sabahat yang selalu ada disamping_ku.

"Mas Satria."

"Ya.... Kamu masih mengingatku, Nisa. Aku pikir kamu bakalan lupa sama aku." ucap Satria sambil terkekeh pelan.

"Gak mungkin lah, Sat. Kamu teman sekaligus sahabat aku selama ini. Maaf, Sat, aku masuk dahulu."

"Baiklah. Mungkin bisa dilanjut nanti lagi."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah apa yang harus aku lakukan. Satria sangat paham akan diriku ini, ia mudah menebak apa isi hati dan pikiranku.

Usai sholat berjamaah, aku memilih segera pulang, sesuai dugaanku, Bapak dan Ibu jiga sudah dirumah. Bisanya Bapak akan ke Masjid untuk sholat, namun kali ini tidak, entah mungkin lelah bekerja jadi memilih untuk sholat dirumah saja.

"Assalamu'alaikum." ucapku saat menginjakan kaki ini di teras rumah.

"Wa'alaikumsalam. Ibu cariin ternyata kamu ke masjid, Nis. Ibu sudah khawatir."

"Nis, ayo kita makan. Bapak sudah belikan bakso granat kesukaan kamu. Setelah itu ada yang mau Bapak bicarakan."

"Baik, Pak."

Entah apa yang akan Bapak bicarakan nanti. Tiba-tiba perasaanku cemas dan gelisah. Apa Bapak akan membicarakan tentang pernikahanku yang... Entahlah, aku sendiri juga bingung saat ini.

Seketika aroma kuah bakso yang segar membuat perut ini terasa kosong dan minta diisi, padahal tadi hendak makan saja tak berselera. Bapak dan Ibu tahu sekali akan diri ini. Sudah lama juga aku tak makan bakso. Bakso adalah makanan kesukaanku.

Jika aku dan Satria jalan, pasti ia akan mengajakku menikmati bakso granat extra cabai, mood yang rusak atau rasa lelah di badan setelah seharian bekerja akan hilang saat menikmati bakso favoritku.

"Ibu tahu kamu tadi makan hanya sedikit, maka dari itu ibu meminta Bapak untuk membeli bakso granat extra cabai didalamnya. Ini kan menu kesukaan kamu, jelas ini gak akan bisa kamu tolak, Nisa."

Seketika senyum ini terbit di wajahku. Ibu selalu bisa membuat hati ini nyaman dan bahagia. Sudah lama juga aku tak tertawa bahkan tersenyum seperti ini, yang ada hanya senyum kepalsuan selama dirumah mertua. Ah, aku jadi merindukan Mas Bagas, siang ini dia makan apa? Bagaimana keadaannya.

"Terimakasih, Bu, Pak. Kalian selalu membuah Anisa terharu." ucapku yang mana sudah menahan air mata ini yang ingin keluar.

"Kami adalah orangtuamu. Jelas bapak dan Ibumu akan sellau membahagiakan kamu. Ayo diamkan keburu dingin gak enak. Perut bapak juga sudah lapar, cacingnya minta diisi."

Ya, kami makan dalam diam, tak ada pembicaraan apa-apa. Mungkin setelah ini Bapak akan bicara apa yang ingin beliau utarakan kepadaku. Semoga saja bukan tentang pernikahanku dengan Mas Bagas. Hati ini masih belum siap jika harus berpisah dengannya.

Usai makan dan mencuci mangkuk kotor, ternyata Bapak sudah menunggu diruang tamu dengan kepulan asap rokoknya. Setelah melihat aku dan Ibu, segera Bapak mematikan rokok yang ia hisap tadi. Segelas air putih hangat sudah tersaji dihadapan Bapak dan langsung diminum hingga tandas.

"Nisa, apa Bagas menghubungimu?" tanya Bapak yang secara tiba-tiba.

Aku terdiam dan menunduk, menautkan kedua tanganku, perasaan ini gelisah dan tak menentu. Aku harus menjawab apa? Apa aku harus jujur?

"Sudah bapak duga, ia tak mungkin menghubungi kamu. Ada dan tidak adanya kamu disana tentu tak berpengaruh padanya. Apa kamu masih menginginkan pria seperti itu? Lelaki yang dengan teganya mengatakan kepada keluarga besar ingin menikah lagi dengan wanita lain tanpa memperdulikan istri pertamanya adalah lelaki yang tak pantas untuk dipertahankan. Lihat keadaan kamu, Nisa. Bapak sedih melihat kamu harus memohon dan menangis seperti malam itu, bahkan mertua kamu bukannya membela menantu namun juga malah menyudutkan kamu dengan berkata kasar yang seharusnya tak di ucapakan oleh orangtua.

Bapak sakit hati ketika kamu dihina sedemikian. Bapak yang membesarkan kamu dengan penuh kasih sayang namun nyatanya putri bapak malah dihina dan direndahkan oleh suami dan mertuanya. Apa kamu disana selaku diperlakukan buruk, Nisa?"

Tebakan Bapak selalu tepat. Aku semakin bingung dan gelisah untuk menjawabnya. Mata ini mulai berair, meluncurkan air mata yang aku tahan. Jika mengingat malam itu, hati ini sangat perih.

Aku hanya menggelengkan kepala, tapi air mata ini tak sanggup aku hentikan. Tak mungkin aku menjelekan suamiku.

"Jangan bohong, Anisa!"

"Ma... Maaf, Pak."

Hanya kata maaf yang mamung aku ucapkan, tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ibu yang tadi duduk di samping Bapak, kini beranjak dan duduk di sampingku. Mengusap lengan ini dengan lembut.

"Jangan bersedih, Nisa. Kamu bisa mencurahkan apapun kepada Ibu atau Bapak. Kami suap menjadi teman cerita dan berbagi suka duka_mu."

"Bapak dan Ibu kemarin kesana bukan hanya ingin mengunjungi kamu saja, Nisa. Bapak ada tujuan untuk kalian, namun apa yang bapak lihat dan saksikan. Niatan bapak itu akhirnya bapak urungkan."

Aku menyeka sisa air mata ini, menatap Bapak yang duduk dihadapan_ku.

"Maksud Bapak apa?" tanyaku yang masih belum mengerti akan arah pembicaraan Bapak kali ini.

"Bapak kemarin menemui Pak Harso pengacara Almarhum Bapak mertua kamu. Bapak membuat kesepakatan dengan beliau jika dalam 5 tahun kalian belum memiliki anak, maka lebih baik warisan itu dibagikan kepada anak dan Ibu mertuamu saja. Paling tidak harta warisan itu akan sangat bermanfaat untuk kelurga besar Bagas. Bisa juga untuk modal membangun usaha, membangun rumah atau apa saja. Bukankah selama ini kakak ipar_mu dan suaminya tinggal satu atap denganmu. Sebenarnya itu tak baik dalam rumahtangga." ucap Bapak.

"Kenapa Bapak bisa berbuat seperti itu? Bukankan disurat wasiat itu tertera kalau warisan itu harus dibagikan setelah aku melahirkan keturunan Mas Bagas? Apakah bisa dirubah begitu saja, Pak?"

Kalau seperti itu yang Bapak utarakan, maka aku akan bertahan selama 3 tahun lagi. Sebentar lagi sudah memasuki 2tahun pernikahan kami. Aku harus mengatakan ini pada Mas Bagas. Biarkan setelah 5 tahun pernikahan kami, harta warisan itu dibagikan dan ia bisa menikahi Linda, pujaan hatinya. Walau aku yakin, tak akan sanggup bagiku untuk melakukan semaunya. Entah apa jadinya nanti setelah 5 tahun pernikahan, pasti rasa ini akan semakin kuat dan akan berat meninggalkannya apalagi berpisah untuk selamanya.

"Tetapi dengan syarat kalian tak akan pernah berpisah dan tak ada poligami didalamnya. Namun, melihat kamu diperlakukan seperti itu lebih baik kalian berpisah saja. Tak usah lagi kita mengurusi warisan milik keluarga Bagas. Bapak akan menghubungi Pak Harso segera mungkin. Bapak mana yang rela jika melihat sang Putri tercinta disakiti dan dihina seperti itu. Lebih baik kalian berpisah, bapak dan ibu akan demgan lapang dada menerima kamu kembali. Jelas sekali jika Bagas tak mencintai kamu dan tak menginginkan kamu sebagai istrinya."

"Apa!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status