Share

part 5

Kampung Halaman

Perjalanan malam kian sunyi dan sepi. Anisa duduk di bangku belakang bersama sang Ibu, dirinya masih termenung dengan segala kesedihannya. Air mata terus meluncur tak dapat ia hentikan. Sedih, sakit dan perih kini ia rasakan, setelah sekian lama tinggal dirumah bersama Bagas baru kali ini ia pergi tanpa seijin Bagas.

Bu Utari merasa sedih melihat sang putri terus menangis sepanjang perjalanan ke kampung halamannya. Bu Utari selalu menggenggam erat tangan Anisa, memberikan kekuatan pada sang putri tercinta.

"Kita makan malam dahulu, dan beristirahat sejenak." Ucap Pak Andi yang memecah keheningan didalam mobil yang ia sewa, sedangkan untuk supir ia meminta tolong Abi keponakannya.

Perjalanan dari rumah Bagas menuju kampung halaman Anisa membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Maka dari itu Pak Andi memilih untuk istirahat Sejenak dan menikmati makan malam disalah satu rumah makan yang ditemuinya. Anisa hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata kedua orangtuanya.

Tak ada kata apa pun yang keluar dari mulut Anisa. Bahkan Pak Andi juga membiarkan Anisa, bukan ia tak ingin namun lebih baik menunggu hingga sang putri tenang apalagi membahas di perjalanan teras kurang baik.

Tak terasa kini Anisa sudah tiba di tanah kelahirannya. Malam kian pekat bintang bahkan bulan terlihat indah di kampung halaman Anisa. Hawa dingin menyergap menusuk tulang. Apalagi di kampung Anisa masih dikelilingi oleh kebun dan sawah yang membentang luas.

"Tidurlah, Nis. Hari sudah larut. Bapak dan Ibu juga mai istirahat. Kamar kamu juga masih rapi karena selalu di bersihkan oleh Ibumu."

"Iya, Pak. Nisa ke kamar dahulu."

Segera Anisa menarik koper bajunya masuk kedalam kamar. Tubuhnya langsung luruh begitu saja. Rasa kehilangan begitu mendalam di hati Anisa saat ini. Ya, cinta yang dimiliki Anisa begitu besar dan dalam untuk Bagas.

"Apa aku sanggup untuk berpisah dengan Mas Bagas? Aku terlalu mencintainya." ucap Anisa dalam tangisnya.

Entah jam berapa Anisa tertidur semalam, saat ia membuka matanya dan melihat jam yang ada di dinding begitu kaget dan segera bangun. Anisa terbangun kala jam dinding menunjukan pukul 9 pagi. Ini bukan dirinya, biasanya ia akan bangun pukul 4 pagi dan beberes rumah.

Anisa keluar kamar dan seger menuju dapur, Disana telah terhidang berbagai menu masakan buatan sang Ibu.

"Udah bangun, Nak? Sarapan dahulu, sudah siang ini?" Ucap Bu Utari yang masuk dari pintu belakang.

"Kenapa Ibu gak bangunkan Anisa tadi. Anisa jadi bangun kesiangan"

"Gak pa-pa. Istirahatlah. Kamu pasti lelah." ucap Bu Utari yang mana tangganya mengusap lengan Anisa dengan hangat.

"Ibu mau nyusul Bapakmu dulu ya,. Buruan sarapan sudah siang, jangan lewatkan makan pagi, Nak."

"Baik, Bu."

Tak dapat dipungkiri, bahwa Anisa juga merindukan momen dimana kebersamaan kedua orangtuanya kehangatan dan kasih sayang selalu tercurahkan dari orang yang Anisa kasihi. Berbeda saat dirumah mertuanya. Semenjak kepergian ayah mertua, hidup Anisa mulai berubah. Tak ada yang menghargai bahkan menyayangi Anisa. Sang suami yang dahulu suka menggenggam tangan Anisa kini sudah tak pernah rasakan lagi.

Rindu? Anisa merindukan saat-saat dimana sang suami menggenggam tangannya, duduk dan makan disampingnya. Walau ia tahu bahwa Bagas tak mencintainya. Seiring berjalanya waktu perubahan demi perubahan kian terpancar jelas. Hinaan demi hinaan sellau ia terima didalam rumah itu. Sang suami juga bersikap dingin tak tersentuh.

"Apa kamu sudah sarapan, Mas? Siapa yang buatkan kopi susu pagi ini? Siapa yang menyiapkan pakaian kantor kamu? Apakah semalam kamu tidur nyenyak? Kamu akan kesusahan tidur nyenyak sebelum meminum teh herbal buatan ku, apalagi aroma terapi dikamar harus hidup, seingat ku dikamar sudah habis.." Tak terasa air mata Anisa kembali turun lagi. Mengingat kebiasaan sang suami. Apalagi Anisa tahu bagaimana keadaan rumah itu.

"Maafkan aku, Mas. Aku memilih untuk pulang dan menenangkan diri. Hati ini sakit kala kamu akan meminang Linda, kekasih kamu. Padahal kamu sudah menikahi_ku." Lagi dan lagi Anisa menangis sesengukan di dapur.

Walau dirinya sedang tak berselara, namun ia harus tetao makan. Ibunya akan tahu jika ia tak makan makanannya. Usia makam dan mencuci piring kotor segera ia mandi untuk menyegarkan pikiran yang tengah bersedih. Rasa dingin menyergap kulit saat guyuran air membasahi tubuhnya. Air di kampung Anisa akan tetap terasa dingin walau hari sudah siang karena air itu dari berasal dari mata air yang tersambung dari pegunungan.

Usai mandi Anisa memilih untuk duduk di teras rumahnya. Udara disini masih sejuk dan asri bahkan banyak warga yang berlalu kalang untuk sekedar ke ladang atau bahkan ke sungai untuk mencuci.

"Eh Mbak Anisa pulang kampung. Sejak kapan datang, Mbak?"

"Iya, Bu. Kangen sama Bapak dan Ibu. Baru semalam tiba."

"Ya ampun. Pak Andi dan Bu Utari pasti bahagia banget dihampiri sama anaknya. Lah suaminya kemana, Mbak? Gak diajak kah."

"Kebetulan Mas Bagas gak bisa ikut, Bu. Sedang ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal." ucap Anisa sambil menampilkan senyumannya.

"Owalah... Ya sudah kalau begitu, ibu mau ke sawah dulu. Nanti mampir kerumah ibu ya, Nis."

"InsyaAllah Bu Endah."

Setelah kepergian Bu Endah, Anisa, kembali terdiam sesekali ia akan menjawab atau bahkan menyapa tetangganya yang lewat depan rumah. Ada rasa tenang dan nyaman setelah sekian lama tak mengunjungi kampung halamannya.

Bagas selalu melarang Anisa untuk pulang kampung. Ia hanya dapat menghubungi sang Ibu melalui sambungan telepon saja. Itupun harus menunggu Bagas pulang bekerja karena hanya ponsel milik Bagas yang berisi kouta bakan dengan tega Bagas juga tak memberi jatah sekedar mengisi pulsa ponsel Anisa.

Miris.... Ya itulah kehidupan Anisa selama berumahtangga dengan Bagas. Apalagi setelah kepergian sang Ayah mertua. Semua Keuangan disana diatur oleh sang Ibu mertua.

"Andai aku punya uang untuk mengisi data ponselku.." lirih Anisa yang kini memandangi ponselnya yang sudah lama kehabisan data.

Anisa memilih masuk lagi kedalam rumah, bingung juga ia mau apa lantaran semaunya sudah rapi. Biasanya jam segini dirinya baru bisa makan dan lanjut bekerja lagi hingga malam.

Adzan duhur berkumandang, Anisa memilih segera bangkit dan mencari mukenanya. Ia ingin sholat di Masjid saja. Sudah lama dirinya tak pernah sholat berjamaah di Masjid.

"Alhamdulillah, mukena_ku masi ada." gumam Anisa dan segera mengambil air wudhu. Jarak rumah dan Masjid tidak terlalu jauh hanya perlu berjalan melewati 5 rumah saja.

Di kampung Anisa warga masih banyak yang melakukan sholat berjamaah di Masjid daripada dirumah. Anisa terus berjalan dengan sesekali menyapa warga yang ia temui.

"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status