KREK!Setelah menunggu selama 30 menit akhirnya pintu ruangan terbuka. Semua mata memandang ke arah dokter pria yang baru keluar dari ruang IGD."Dokter, bagaimana keadaan adik saya?""Kalian?""Kami keluarganya, Dok. Bagaimana keadaan adik saya di dalam?"Dokter itu menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan. "Luka di kepalanya cukup parah, dan saat ini pasien telah sadar, dia ingin bertemu dengan keluarganya. Terutama yang bernama Firman,""Saya, Dokter." ujar Firman."Anda boleh masuk, Pak. Tapi sebelum masuk ke ruangan tolong pakai atribut rumah sakit.""Baik, Dokter."Setelah memakai atribut rumah Sakit, Firman masuk ke dalam ruangan di mana Mas Hendra berada. Kondisi Mas Hendra sangat parah beberapa selang menempel pada tubuhnya.Mata Firman memanas, dia mendekat ke arah Mas Hendra yang terbaring lemah di atas ranjang."Kakak!" lirihnya tercekat.Mas Hendra yang semula terpejam membuka matanya."Fi—Firman hh..." Dia kesulitan bicara, suaranya seperti tercekat
Firman pulang kerja lebih cepat, tidak seperti biasanya. Dia langsung masuk ke dalam rumah tanpa menekan bel lebih dulu. Firman hendak masuk ke dalam kamar, namun dia tak sengaja mendengar Renata sedang berbicara dengan seseorang.Firman terkejut, dia mengurungkan niatnya. Dia hanya menguping di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Firman terkejut melihat perut Renata yang rata. Bukankah wanita itu sedang hamil 5 bulan. Mereka rutin memeriksakannya. Atau selama ini Renata hamil hanya pura-pura?Ya, semenjak menikah Firman tak pernah menyentuh Renata. Meskipun wanita itu mengaku hamil anak Firman. Rasa cinta yang menggebu-gebu dahulu telah musnah. Bahkan untuk sekedar bermesraan saja Firman merasa enggan. Jadilah dia tidak tau jika Renata hanya hamil pura-pura."Ya, untung saja Firman yang bod0h itu percaya padaku!" ujar Renata dengan ponsel yang menempel di telinganya.Firman tercekat, jadi benar selama ini Renata hanya pura-pura hamil. Antara kesal dan senang mendengarnya. Firman
"Firmaaaan!" Aku terduduk, napasku tersengal. Aku mimpi buruk tentang Firman. Aku melirik ke arah jam di dinding menunjukkan pukul 4 sore.Tok tok tok!Aku mendesah pelan, "Ah, siapa lagi ini."Dengan mata yang masih mengantuk berat aku berjalan ke arah pintu.Mataku yang memang mengantuk berat terbuka sedikit, "Firman!" gumamku dalam hati.Terlihat Firman tersenyum sambil bersandar di pintu, dengan sebelah tangan menopang kepalanya."Selamat sore, Mbak Winda." sapanya, masih dengan tersenyum. Kemudian mengedipkan sebelah matanya."Tidak, tidak! Aku pasti masih bermimpi. Ini pasti mimpi lanjutan. Aku yakin itu, sudah lama aku tidak pernah bertemu dengan Firman, jadi mana mungkin Firman datang ke rumahku!" gumamku lagi.Aku mengabaikannya, kemudian masuk ke dalam. Aku menguap kembali, aku merbahkan tubuh kembali di ranjang berharap segera bangun."Bisa, bisanya aku bermimpi bertemu Firman." Aku memejamkan mata kembali."Hi hi hi hi, fffttthh!" Aku mempertajam indra pendengaran. Suara s
Menjadi janda ternyata tidak enak rasanya, para tetangga baruku mulai terlihat sinis. Bahkan ada yang mengataiku sebagai janda gat*l, sebab suaminya selalu menggodaku. Aku merasa tidak nyaman, selalu menjadi bahan gunjingan mereka. Selama 3 hari ini aku berpikir keras untuk menerima lamaran Firman. Kurasa sudah waktunya, aku juga tidak dapat membohongi perasaanku. Ingin selalu dekat dengan Firman. Bahkan setiap malam, aku tak bisa tidur memikirkannya.Sore hari, Firman datang ke rumahku. Dia menanyakan perihal lamarannya tempo lalu. Aku mengiyakannya. Aku menerima lamarannya. Firman terlihat senang, dia langsung memelukku.Seminggu kemudian pesta sederhana tergelar, sesuai dengan keinginanku meminta pesta yang biasa saja. Untung saja para tetanggaku tidak tau jika Firman adalah adik dari mendiang mantan suamiku. Jadi aku tak terlalu malu.Firman menatapku tak berkedip saat memakai kebaya putih, dengan rambut di sanggul. Tak lupa juga menggunakan make up tipis-tipis agar tak nampak ku
Aku begitu kewalahan mengurus si kembar tanpa pengasuh. Terkadang yang satu menangis yang satunya juga ikut menangis. Satu tidur yang satunya juga ikut tertidur. Mungkin memang karena mereka kembar jadi ... Semuanya harus sama.Oekkk .... Oekk... Oekkk..."Duh, kenapa menangis semua," lirihku.Aku sedang menenangkan Fira, dan tak lama kemudian Farah juga ikut menangis."Mas, Mas Firman!" teriakku memanggil suamiku.Tak berselang lama Firman datang sambil menggendong putra sulung kami.Namun ada yang membuatku geli, yaitu diapers yang berada di kepala keduanya."Ada apa sayang?" ujarnya menghampiriku."Fira dan Farah menangis terus sejak tadi, aku tidak bisa menenangkan mereka. Itu kamu, kenapa memakai diapers di kepala?" Aku menahan tawa."Kami sedang bermain."Oekk.... Oekk...Firman menurunkan Farhan yang berada dalam gendongannya, "Sayang, tunggu sebenta ya, Ayah mau gendong adik kamu dulu." ujarnya.Farhan mengangguk, untung saja putra sulungku itu sangat penurut."Sini, Fira biar
POV Author Lima tahun berlalu ...Pernikahan firman dan Winda sudah terbilang bahagia. Dengan ketiga anak-anak mereka. Farhan si sulung, dan juga si kembar Fira dan Farah.“Hei, jangan bertengkar!” teriak Winda kelimpungan, melihat kedua anak perempuannya berebut sebuah boneka.Fira dan Farah terkejut mendengar teriakan yang menggema, bocah lima tahun itu mendekat ke arah Firman yang tengah bersantai di sofa.“Papa, Fira takut, Mama serem.” ujar bocah kecil itu sambil menyentuh lengan Firman.Winda menatap sinis, pasti mereka akan mengadu pada ayahnya.“Papa, Farah juga takut.” lirih Farah ikut menimpali.Firman menggendong keduanya, mendudukkannya di paha kanan dan kirinya.“Siapa yang seram?” tanya Firman. Winda yang tak jauh dari sana mencebik. Firman melirik sekilas ke arah istrinya, kemudian beralih menatap Fira dan Farah bergantian.“Mama!” seru keduanya.“Jadi, Mama seram begitu?” tanya Firman tatapan mata lekat ke arah mereka, dia menanyai putrinya dengan sangat serius.“Iya,
“Tidaaaaaak!” teriakannya menggema di seluruh ruangan.Tangan Firman bergetar ketikan menyentuh penutup kain berwarna putih tersebut. Dia membukanya secara perlahan. Firman meremas kain tersebut, saat sosok mungil wajah putrinya terlihat, pucat dan kaku.“Tidak!“ Firman menggeleng pelan.Firman menepuk pelan wajah yang dingin itu, “Farah, bangun sayang. Farah, ini Papa ....” lirihnya, hatinya terasa remuk. Tak sanggup harus kehilangan salah satu anaknya.“Farah, jangan tinggalkan Papa ....” Firman memeluk erat tubuh mungil Farah.“Pak, tolong ikhlaskan putrimu. Biarkan kami membersikan jenazahnya.” ujar seorang perawat.“Tolong tabahkan hati anda, ini semua sudah takdir. Kami sudah berusaha untuk menyelamatkannya tapi .....”“Tidak! Jangan bawa putriku kemanapun. Dia masih hidup.” Firman menggeleng, matanya memerah, wajahnya terlihat kacau. Dia masih tak terima bila harus kehilangan Farah, bocah kecil yang lebih manja, dari anak-anaknya yang lain.“Farah ayo bangun sayang.” Kali ini F
Firman terbangun saat cahaya matahari masuk melalui ventilasi jendela. Dia meregangkan badan kemudian mengucek matanya. Yang pertama kali dia lihat adalah wajah Winda yang masih terpejam. Padahal dokter mengatakan, luka di kepalanya ringan. Kenapa sampai saat itu Winda tak kunjung bangun? Batin Firman berkecamuk.Dia mendekatkan wajah nya pada Winda, berbisik pelan di telinga nya, “Cepat bangun sayang ....” kemudian mengecup pelan pipi itu.Firman tersenyum lirih, dadanya terasa sesak kembali. Namun, dia mencoba untuk menahannya.Tak berselang lama, dering ponselnya berbunyi. Firman segera mengambilnya yang tergeletak di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar, sepertinya itu telepon dari rumah.Firman segera mengangkat telepon itu, kemudian berbicara pada seseorang ditelepon. “Halo ....”“Papa, papa di mana? Kapan pulang? Mama juga kapan pulang.” terdengar suara si sulung Farhan dari seberang telepon, pertanyaannya membuat hati Firman teriris.“Sebentar lagi Papa akan pula