POV Author Lima tahun berlalu ...Pernikahan firman dan Winda sudah terbilang bahagia. Dengan ketiga anak-anak mereka. Farhan si sulung, dan juga si kembar Fira dan Farah.“Hei, jangan bertengkar!” teriak Winda kelimpungan, melihat kedua anak perempuannya berebut sebuah boneka.Fira dan Farah terkejut mendengar teriakan yang menggema, bocah lima tahun itu mendekat ke arah Firman yang tengah bersantai di sofa.“Papa, Fira takut, Mama serem.” ujar bocah kecil itu sambil menyentuh lengan Firman.Winda menatap sinis, pasti mereka akan mengadu pada ayahnya.“Papa, Farah juga takut.” lirih Farah ikut menimpali.Firman menggendong keduanya, mendudukkannya di paha kanan dan kirinya.“Siapa yang seram?” tanya Firman. Winda yang tak jauh dari sana mencebik. Firman melirik sekilas ke arah istrinya, kemudian beralih menatap Fira dan Farah bergantian.“Mama!” seru keduanya.“Jadi, Mama seram begitu?” tanya Firman tatapan mata lekat ke arah mereka, dia menanyai putrinya dengan sangat serius.“Iya,
“Tidaaaaaak!” teriakannya menggema di seluruh ruangan.Tangan Firman bergetar ketikan menyentuh penutup kain berwarna putih tersebut. Dia membukanya secara perlahan. Firman meremas kain tersebut, saat sosok mungil wajah putrinya terlihat, pucat dan kaku.“Tidak!“ Firman menggeleng pelan.Firman menepuk pelan wajah yang dingin itu, “Farah, bangun sayang. Farah, ini Papa ....” lirihnya, hatinya terasa remuk. Tak sanggup harus kehilangan salah satu anaknya.“Farah, jangan tinggalkan Papa ....” Firman memeluk erat tubuh mungil Farah.“Pak, tolong ikhlaskan putrimu. Biarkan kami membersikan jenazahnya.” ujar seorang perawat.“Tolong tabahkan hati anda, ini semua sudah takdir. Kami sudah berusaha untuk menyelamatkannya tapi .....”“Tidak! Jangan bawa putriku kemanapun. Dia masih hidup.” Firman menggeleng, matanya memerah, wajahnya terlihat kacau. Dia masih tak terima bila harus kehilangan Farah, bocah kecil yang lebih manja, dari anak-anaknya yang lain.“Farah ayo bangun sayang.” Kali ini F
Firman terbangun saat cahaya matahari masuk melalui ventilasi jendela. Dia meregangkan badan kemudian mengucek matanya. Yang pertama kali dia lihat adalah wajah Winda yang masih terpejam. Padahal dokter mengatakan, luka di kepalanya ringan. Kenapa sampai saat itu Winda tak kunjung bangun? Batin Firman berkecamuk.Dia mendekatkan wajah nya pada Winda, berbisik pelan di telinga nya, “Cepat bangun sayang ....” kemudian mengecup pelan pipi itu.Firman tersenyum lirih, dadanya terasa sesak kembali. Namun, dia mencoba untuk menahannya.Tak berselang lama, dering ponselnya berbunyi. Firman segera mengambilnya yang tergeletak di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar, sepertinya itu telepon dari rumah.Firman segera mengangkat telepon itu, kemudian berbicara pada seseorang ditelepon. “Halo ....”“Papa, papa di mana? Kapan pulang? Mama juga kapan pulang.” terdengar suara si sulung Farhan dari seberang telepon, pertanyaannya membuat hati Firman teriris.“Sebentar lagi Papa akan pula
“Gadis itu tidak bisa berjalan, dia juga bisu. Tolong pikirkan kembali keputusanmu. Aku akan mengganti semua kerugian, dan biaya rumah sakit, tetapi jika untuk nyawa .... Maaf aku tidak bisa, aku bukan Tuhan.”Firman bimbang, di satu sisi dia ingin mendapat keadilan. Di sisi lain, melihat gadis tersebut membuatnya iba. Firman menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bagaimana-pun kecelakaan kemarin adalah takdir, kematian putrinya juga takdir, tapi merenggut kasih sayang seorang ayah dari putrinya, mengambil satu-satu nya orang yang di miliki gadis itu, adalah tindakan tidak manusiawi juga.Dengan berat hati Firman menoleh ke arah Delia.“Bagaimana keputusan mu? Jika memang kamu masih ingin memenjarakan dia, silahkan, aku sudah berusaha.”Firman melirik ke arah ayah dan anak tersebut, kemudian pandangannya beralih pada Delia.“Baiklah, aku memaafkannya. Lain kali jangan sampai lalai, cukup aku saja yang merasakan kehilangan anak. Jangan sampai hal ini terjadi lagi pad
Firman bergeming, jika Delia mau dia bisa memesan taksi. Kenapa harus menumpang pada dirinya?“Baiklah,” dengan berat hati Firman mengiyakan.“Maaf, aku merepotkan mu.” lirih Delia.Firman tersenyum simpul, “Nggak apa-apa, santai saja.”Delia mengekori Firman menuju mobilnya, dia tersenyum saat hendak membuka pintu mobil depan. Namun, “Maaf Delia, di depan untuk Fira dan Farhan, kau bisa duduk di belakang.”Delia terhenyak, “A—apa belakang? Em, ba—baiklah.” ujarnya, kemudian melangkah dengan lesu membuka pintu belakang.‘Aneh!’ batin Firman.Setelah semuanya masuk, Firman segera mengendarai mobilnya. Delia tampak mencebik, dia hanya melihat ke luar jendela. Firman hanya memperhatikan nya dari spion mobil.“Kamu mau pulang ke rumah atau kemana?” tanya Firman kemudian.Seketika Delia tersenyum, dia menoleh, “Pulang ke rumah, jika kamu mau, kamu bisa ajak anak-anak mu bermain di sana. Aku punya halaman rumah yang sangat luas. Tentunya aman untuk anak-anak mu, bagaimana?” ujar Delia. Dia
JEBLUG!Firman terkejut, dia segera menoleh ke tempat oven, di sana telah keluar asap hitam dari oven yang terbuka.Firman mendekat, kemudian menarik keluar kue yang setengah gosong. Ia meringis, kemudian mendesah pelan.“Bagaimana ini?” gumamnya, matanya melirik ke arah ruang tengah, di mana anak-anak nya berada.Firman menghembuskan napas kasar, sepertinya dia harus membuatnya lagi. Jika tidak, anak-anaknya pasti rewel.Butuh waktu 20 menit, Firman berhasil menyelesaikan semuanya. Untung saja oven miliknya tidak rusak.Dia bergegas membawa kue itu ke ruang tengah, di mana Fira dan Farhan berada.Fira dan Farhan gembira, mereka sampai berjingkrak-jingkrak melihat kedatangan Firman yang membawa nampan.Seketika kegembiraan mereka pudar kala melihat kue buatan Firman yang sedikit hancur. Bentuknya juga tidak secantik buatan Ibu mereka.“Papa, ini apa?” tanya Fira, dia menatap kue yang Firman bawa.“Cake, kan kalian minta Papa buatin.”“Kenapa bentuknya mirip kue apem?” kini giliran Far
“Dimana suamiku?”Hah?Firman terbeliak, “Aku suamimu,” dia berusaha mendekat lagi.Winda menelisik Firman dari atas sampai bawah. Kemudian ia terkekeh, “Jangan becanda Firman, di mana suamiku? Mas Hendra?”Firman meraup wajah kasar, ia tak mengerti apa maksud perkataan Winda.“Aku suamimu, tolong jangan bercanda, aku sangat bahagia melihatmu telah sadar. Jangan mengerjaiku seperti ini.” ujar Firman menatapnya dengan nanar.Tak ada raut kebohongan di wajah Winda, dia menatap Firman dengan wajah serius.“Kau Yang jangan bercanda Firman, aku ini istri kakakmu, Mana mungkin aku menikah denganmu?!”Firman tak menjawab perkataan Winda. Pandangannya beralih pada Dokter yang terlihat bingung.“Mohon bersabar dulu Pak, kami akan memeriksa kondisi pasien lebih lanjut. Jika memang dia lupa padamu, itu bisa saja terjadi, karena pasien mengalami benturan pada aspal meskipun tidak terlalu keras. Sebaiknya Anda sabar dulu, kami akan segera mengecek kondisi kepala pasien.” ujar sang dokter, menenang
“Mau apa kamu?!” ujarnya setengah panik. Begitu juga dengan Firman, dia sedikit terkejut melihat Winda membuka mata.Winda segera terduduk, melihat ada Firman di sana.“Jangan berani macam-macam ya, atau aku akan teriak?”Glek!Firman menelan ludah.“Nggak, siapa yang mau macam-macam? Orang cuma mau usir nyamuk.”“Hah? Nyamuk?”“Iya, tadi di pipi kamu ada nyamuk, makanya aku usir, harusnya aku usir lebih keras, biar kamu nggak nuduh yang bukan-bukan.” jawab Firman.Mau macam-macam pun boleh, toh mereka pasangan suami istri, tidak bisa di laporkan, Firman punya bukti untuk itu. Namun, untuk saat ini bukan waktu yang pas, dia harus bisa membuat Winda ingat sedikit demi sedikit, meskipun sepertinya akan sulit.Winda terhenyak, kemudian menyentuh pipinya.“Oh, maaf.” gumamnya.“Aku di sini hanya untuk menjagamu, apalagi kamu nggak punya siapa-siapa, takutnya kamu kesulitan saat butuh