Share

Misi Pertamaku

Mas Arman sudah kembali ke rumah. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Suamiku segera membersihkan diri. Dia turun ke lantai bawah. Dia terlihat lapar. Tidak seperti biasanya. Matanya mencari sesuatu. Dia menuju meja dapur. Mas Arman membuka tudung saji, dan tidak ada makanan disana. 

Aku pura-pura duduk manis di sofa, dan menyetel televisi. Sesekali aku tertawa, padahal tidak ada sinetron yang lucu.

"Salma...." Suara bariton Mas Arman terdengar memekik telingaku. Pasti dia mencari makanan.

"Apa, sih teriak-teriak segala," jawabku ketus. Moodku berubah tidak manis lagi padanya. Aku jadi mudah sensitif, mengingat kelakuannya.

"Kamu, lihat nggak,  ini nggak ada makanan apapun!" Mas Arman sangat marah. Tangannya memegang tudung saji sambil menunjuk ke arah meja. Matanya menatap tajam ke arahku, seakan dia ingin menerkamku.

Mataku mendelik, aku mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. 

Selama menikah suamiku selalu manis tidak pernah dia marah, dan sekasar ini. Kalau dulu aku tahu sifatnya seperti ini, tak akan mau aku di pinangnya.

Aku harus kuat, melawannya. Maafkan hamba ya Allah.

"Biasanya, kamu pulang kerja sudah makan di luar, yah jadi aku nggak masak apapun," ucapku santai. Sengaja, aku tidak masak untuknya. Supaya dia mencari makanan di luar dengan begitu aku mudah menjalankan misiku.

"Oh, terus kerjaanmu, ngapain di rumah saja, cuma ongkang-ongkang kaki saja." Dia terlihat tak suka. Matanya membulat. Seakan bola matanya mau keluar. Aku ngeri melihatnya.  kupalingkan wajahku darinya. Tanganku memegang kursi. Kututup tudung saji di hadapan matanya. 

Aku tak membalas perkataannya. Semakin aku layani, semakin dia tersulut emosi. Bisa-bisa rencanaku gagal. Biarlah dia marah, aku tidak peduli. 

"Ya udah, Mas, makan di luar aja." Aku melembutkan suara, dengan senyum terpaksa. Sebisa mungkin aku tidak memperkeruh suasana.

Mas Arman melirikku, ia pergi keluar rumah dengan penuh emosi. ia segera mengambil kunci motor dan keluar.

Brakk.

Ini saatnya aku beraksi. "Kalau lagi lapar, cepat emosi juga yah. " gumamku. Bagaimana rasanya jadi aku yang kau abaikan. Rasain, nggak ada makanan, aku balas mengabaikanmu, segitu saja sudah marah kaya singa kepanasan.

Pintu depan dibanting olehnya. Aku tidak menghiraukannya. Aku segera ke atas, mencari ponsel Mas Arman. Aku langsuk masuk ke ruang tempat kami bersantai, sekedar berkeluh kesah. Tampak jalanan sepi dan langit pun tak dihiasi bintang dari jendela. Biasanya kalau sekedar makan di dekat komplek, dia tidak ingat membawa ponsel. Baginya tidak penting.

 "Orang, cuma cari makanan deket komplek aja, bawa hp," ujarnya. 

 Suamiku selalu membungkus makanannya untuk dibawa pulang. "Aku ga suka, makan di pinggir jalan, kecuali ada tempatnya, itu pun yang bersih nggak kumuh. " kilahnya sombong. Padahal aku sendiri yang terlahir dari keluarga yang kaya, tidak pernah berpikiran seperti Mas Arman. Aku suka makan di kaki lima sambil memandang suasana jalanan, apalagi di malam hari. Senangnya bukan main. 

Suamiku selalu berkata seperti itu, setiap kami beli makanan di kaki lima. Kuakui suamiku memang resik orangnya. Dari segi berpakaian, makanan hingga kebersihan rumah. Berbeda dengan diriku, yang biasa saja. Tak seperfect dirinya. Makanya dia tidak mau ada pembantu dirumah, bukan tidak sanggup membayarnya tapi dia nggak suka kalau orangnya tidak bagus kerjaannya, lebih baik istrinya yang turun tangan.

Sudah 10 menit aku mencarinya belum ketemu juga. 'Dimana, sih?" batinku. Kesal juga, belum nampak benda pipih yang ku cari.

Aku nggak boleh lengah, aku harus berusaha terus sebelum Mas Arman pulang. Kulihat jendela, jalanan masih sepi belum ada tanda-tanda suamiku pulang. Aku kembali mencarinya. 10 menit berlalu.

Aku terus mencarinya, kubuka meja kecil yang ada di samping sofa, kubuka lacinya satu persatu. Nihil, belum juga menemukan benda pipih milik suamiku. Mataku tertuju pada tas kantor, yang dia selalu bawa. "Semoga ada disini," gumamku. 

Aku membuka tas kerja Mas Arman. Ketemu. Aku senang sekali. Bagaikan anak kecil yang dibelikan permen. Ponselnya saja, masih dia taruh disini. Pantas saja kalau dihubungi susah. Dia memang bukan tipe cowok yang candu Hp. Salah satu kelebihannya yang aku syukuri, dia bukan tipe cowok yang suka nge-game berlama-lama di hp, yang bikin para istri jengkel naik darah.

Aku segera membuka ponselnya. Kucoba membuka sandinya. Salah, kucoba lagi, salah lagi. Ayo berpikir, berpikir. Aku harus bisa memecahkannya. Haduh... aku mulai deg-degan. Cukup lama, aku tidak bisa membukanya. Kudengar suara bising, detak jantungku tidak karuan. Berpikir Salma, ayo berpikir. Aku melihat ke arah jendela lagi, karena hanya dari sinilah tampak gerbang rumahku.

Jantungku serasa mau lepas dari tempatnya. Bukan Mas Arman. Ternyata suara bising motor tetangga. Syukurlah. Aku kembali berpikir. Tiba- tiba aku teringat sesuatu. Tidak akan salah, pastinya. 

Oh, ya. Aku ingat kalau bukan tanggal nikah kami, tanggal ulang tahunnya. Berarti, tanggal pertama kali dia masuk kerja di perusahaan impiannya. Suamiku sangat bersyukur, dari sekian ribuan orang, Mas Arman terpilih menjadi staff di kantor. Dia hampir tidak percaya, dia lulus seleksi dan di terima. Sampai dia meneleponku saking girangnya. 

"Sal, Aku diterima kerja, aku akan bahagiakan kamu," ucapnya. Aku pun turut senang mendengarnya, karena dia sangat senang sekali.

"Kamu jangan masak yah, kita makan di luar." lanjutnya.

 Aku tidak masalah. Sandi Hp adalah hak masing-masing, jadi mau pakai tanggal apapun terserah. Berhasil. Akhirnya, kebuka juga sandinya. Aku langsung menyadap ponsel suamiku dan tak lupa aku memasang Gps di ponselnya. Supaya dengan mudah aku mengetahui dimana keberadaannya. 

"Maaf yah, Mas aku lancang." batinku. Tapi aku ga akan senekat ini, kalau nggak kamu yang mulai duluan.

Kudengar suara deru motor memasuki gerbang rumah. Kutaruh Ponsel Mas Arman kembali di tempat nya.

Kurapihkan seperti semula, agar dia tak curiga.

Aku langsung menyalakan televisi dan duduk di sofa dengan manis. Mas Arman membuka pintunya. Ia tak melihatku sama sekali. Aku tak peduli. Ia langsung saja ke dapur dan menyantap makanan yang ia beli. Bodo amat deh, yang penting misiku berhasil. 

Tumben-tumbenan ia tidak makan di luar hari ini, apa karena banyak kerjaan?

Hari ini, dia pulang agak larut. Aku biasanya menstok makanan jadi alias Frozen untuknya. Aku tak perlu repot-repot masak lagi, tinggal goreng saja sesuai kebutuhan, karena biasanya dia sudah makan di luar, dia akan makan lagi agak larut sebelum tidur . Tapi tidak berlaku hari ini, demi menjalankan misiku. Aku sengaja tak memasak apapun. Kebetulan stok Frozennya juga sudah habis. Aku senang misiku berhasil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status