Share

Ternyata Wanita Itu

Hari ini Pagi-pagi sekali aku berangkat ke pasar. Menikmati udara segar sambil berjalan kaki, itung-itung olahraga pagi. Sepanjang jalan banyak motor dan mobil yang berlalu lalang. 

Byur

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, cipratan airnya mengenai celana jeansku.

S*a*l umpatku.

"Hei, Berhenti...." teriakku. Sambil mengejar yang empunya mobil. 

Mobil Avanza hitam itu berhenti tepat di hadapanku. Seorang pria berperawakan tinggi membuka pintu mobil. Dengan santai ia membuka kacamata hitamnya.

"Ada apa, Nona cantik," ujarnya. Matanya menatap tubuhku dari atas sampai bawah. Risih.

"Liat nih, gara-gara kamu, celana saya jadi basah," ucapku seraya sambil menunjukkan bagian celana yang basah. 

Pria itu tersenyum tanpa merasa berdosa. Membuatku jengkel.

"Sebentar, sebentar kamu...." Sambil mengingat sesuatu. 'Salma' kan! 

Eh, kok dia tau namaku. Aku langsung mundur lima langkah. Jangan-jangan dia mafia. Pikiranku sudah tak karuan.

Melihat aksiku, dia menatap dengan tatapan aneh. Sorot matanya tajam. 

"Hei, tenanglah Aku, Ardi teman SMA mu, ingat nggak? kepercayaan Papahmu di perusahaan?

Aku mencoba mengingatnya. Oalah, Aku baru ingat sekarang. Wajar saja aku merasa tak asing dengan wajahnya. Aku jadi malu. 

"Oh, Iyah ingat, Ardi yang jailnya ga ketulungan itu, kan," balasku. Aku melangkah maju, tepat di sampingnya. 

Dia tertawa. Seakan melihat pertunjukan sirkus.

"Masih, ingat juga rupanya! Kamu mau kemana pagi-pagi sekali, sambil jalan kaki pula." 

"Ke pasar," ujarku.

"Sebagai permintaan maafku, aku anterin deh! Nanti aku bisa di pecat sama papahmu!" Ardi merasa bersalah.

"Ada-ada saja, mana mungkin Papahku memecatmu. boleh sih tapi sambil beliin celana baru yah." Candaku.

"Boleh-boleh tapi yang seribu aja yah." Ardi tertawa meledekku.

"Ada-ada aja emangnya ada celana seribuan." Aku tertawa geli. 

"Yuk, langsung jalan keburu siang," lanjutku.

Kami pun langsung berangkat. Di mobil Ardi banyak cerita tentang kehidupannya. Tak kusangka, ternyata Ardi suaminya Mira. Mereka sudah lama berpisah. Pantas saja, Mas Arman kembali lagi pada mantan terindahnya itu. Bener-bener buaya darat. 

"Ini Mira, mantan istriku!" Ardi menunjukkan foto keluarga kecilnya. Aku terkejut ternyata dugaanku benar, Sarah itu Mira. Bodohnya diriku yang tak pernah tahu nama aslinya. Sarah Miranti nama asli wanita itu. Mereka berpisah karena Mira selalu saja membandingkan dirinya dengan mantannya dahulu. Aku paham yang Mira maksud, Mas Arman. Rupanya dia belum benar move on dari Mas Arman, sampai hati menuntut suaminya harus seperti mantannya. 

Mas Arman tipikal pria yang perhatian, baik dan peka berbeda dengan Ardi yang cuek, dingin dan nggak peka. Ardi menikahi Mira karena perjodohan dari orang tuanya. Mau tak mau ia menerima walaupun ia tidak suka dengan Mira. Ardi tak mau sampai di cap sebagai anak durhaka karena tak menuruti kemauan orang tuanya.

Andai Ardi tahu, aku ini istrinya Mas Arman. Apakah dia akan marah, mengungkapkan isi hatinya?

"Kamu, kenapa, kaya lagi mikirin sesuatu?" Ardi menatapku. Matanya seakan mencari sesuatu yang sedang aku pikirkan.

"Engga, nggak ada kok." Kilahku tanpa menoleh ke arahnya.

"Aku tahu, kamu istrinya Arman kan!" Ardi menatapku sekilas.

 Dadaku bergemuruh hebat, Tahu dari mana dia, setahuku Ardi tak pernah bertemu denganku. Waktu kami menikah dia tidak bisa datang sibuk dengan urusan bisnisnya di luar kota. Dia mengirimkan kado lewat jalur ekspedisi. Apa Ardi mencari informasi tentang Mas Arman? Apa Papah menunjukkan foto pernikahanku?

Berbohong pun tidak bisa. Apa aku harus menceritakannya. Tapi ini aib rumah tanggaku, hanya Nina yang tahu permasalahan kami.

 "Iya, aku istrinya Arman," jawabku.

Ardi langsung menanyakan banyak hal tentang Mas Arman, Aku menjawab apa adanya.

 Sebentar lagi kami sampai di pasar. Gegas aku bersiap-siap untuk turun dari mobil Ardi.

"Sampai jumpa Sal, maaf celanamu jadi basah," ucapnya sambil menyelipkan beberapa lembar uang merah di tanganku. Refleks aku menepisnya.

"Ga perlu, di, aku bercanda kok!" 

Aku langsung buru-buru turun dari mobilnya.

"Sal, terimalah sebagai permintaan maafku."

Aku melambaikan tangan dan berlalu.

***

Di Pasar aku langsung ke tempat langgananku berbelanja Frozen food. Aku langsung mengambil beberapa makanan.

"Bang, ini sudah, tolong di hitung, yah!"

"Totalnya jadi 250 ribu, Mbak." Aku mengambil beberapa lembar biru dari dompetku. Dia tampak memperhatikan diriku. Aku jadi berpikir, gara-gara celanaku basah jadi pusat perhatian deh.

"Eh, Mbak Salma yah," 

"Baru sadar yah, bang." Aku terbiasa memanggilnya Abang. Biar nggak samaan sama panggilan suami. 

"Maaf banyak yang belanja jadi nggak sadar ! tumben sendirian ini Mbak?"

"Iyah, suami saya lagi dinas keluar kota," sahutku ramah.

Bang jali dengan sigap membantu membawakan barang belanjaanku yang cukup banyak.

"Ini, mau di taruh di mana Mbak belanjaannya? biar saya anterin ke depan." 

Biasanya aku belanja selalu bawa mobil bersama Mas Arman. Suamiku itu, nggak mau becek-becekkan pakai motor ke pasar. 

"Gpp bang, saya yang bawa aja, kebetulan tadi saya jalan kaki sambil olahraga, biar nanti saya pulang cari ojeg di depan.”

Aku langsung membawa barang belanjaanku dan mencari ojeg di depan.

***

Di depan pasar kulihat banyak ojeg yang sedang menunggu penumpang. Lumayan pegel juga kaki ini, berjalan dari dalam pasar. 

"Bang, jalan melati indah yah." 

"oke siap neng, berangkat."

***

Sampai di rumah. Aku langsung ke dapur menaruh barang belanjaanku. Aku malah jadi kepikiran Mas Arman. Pasti dia senang sekali liburan bersama mantannya itu. Tiba-tiba hati ini terasa sakit. Bisa-bisanya Mas Arman kembali pada mantannya. Bukankah ia berjanji akan melupakannya. Laki-laki sama aja, tidak bisa di percaya.

Kuteguk segelas air dingin. Lalu menata makanan Frozen food di kulkas. 

"Mas Arman sedang apakah dia bersama mantannya?" 

Aku harus kuat. Kutenangkan pikiranku sejenak. Luka hatiku belum pulih, sekarang harus menerima kenyataan selingkuhan Mas Arman ternyata mantannya. Aku pikir hanya kebetulan mirip. Ternyata di luar dugaanku.

Suara Adzan Dzuhur berkumandang

Astaghfirullah

Aku lupa belum makan dari pagi. Untungnya tadi sempat membeli makanan di kedai Mpok Inah. Segera kusantap sayur mayur dan lauk pauk yang menggugah selera.  

Ponselku berdering

'Ardi' tertera namanya di layar ponsel.

"Assalamualaikum, Sal, maaf ganggu, ini jam tanganmu ketinggalan," ujarnya.

 Ya ampun sepertinya jam tanganku terjatuh dari dalam tas.

"Walaikumsalama, Iyah benar, simpan saja dulu yah," balasku

"kirim saja alamatmu! Sal, biar kuantar!"

"Ga perlu di, aku ga enak, nanti jadi omongan tetangga," ucapku sambil membereskan bekas makanan.

"Ya sudah terserah kamu aja enaknya gimna, Sal,"

"Oke," sahutku. Aku kembali berjibaku dengan pekerjaan rumah.

***

 Rumah sudah rapih, saatnya istirahat. Aku berbaring di tempat tidurku sambil menonton film. Berharap mataku terpejam dengan cepat dan terbangun di sore hari.Tapi nyatanya tak bisa. Gegas kucari sertifikat rumah, rencananya besok langsung ku gadaikan ke rentenir. "Maaf, Mas aku setega ini padamu." batinku

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status