Share

Bab 7 POV Arman

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan beranjak dari sofa yang menjadi tempat tidurku selama dua malam ini. Bukan karena aku tak ingin tidur di ranjang, hanya saja karena pertengkaran hebat yang terjadi kemarin aku malas untuk tidur bersama istriku lagi.

Semakin hari istriku terlihat membosankan, wajahnya tak terawat, kulitnya kusam, kucel, dekil dengan penampilan daster belelnya yang lusuh. Tidak ada yang menarik lagi di mataku.

Pernah aku menyuruhnya untuk perawatan, tapi dia menolak nya mentah-mentah. Istriku lebih memilih uangnya di tabung. Aku tidak menyalahkan keputusannya, hanya saja kecewa. Seharusnya dia bisa menyenangkan hati suaminya ini. Aku akan senang melihat istriku terawat.

"De, ini uang untukmu, belilah pakaian yang baru dan pergilah ke salon kecantikan." ucapku sambil memberikan uang.

"Banyak banget Mas, tapi bajuku masih banyak yang bagus, aku juga ga terbiasa ke salon kecantikan malas antrinya, lebih baik aku tabung aja yah!" pinta Salma dengan senyum.

"Ya, udah deh, gimana kamu aja." Berat hati Aku mengucapkannya. "Tapi sekali-kali nyenengin hati suami, gpp kok." Lanjutku

"Jadi, Mas ga seneng sama aku selama ini?" Salma jadi salah paham.

"Eh, bukan begitu maksudku." Aku jadi serba salah, karena umur pernikahan kami masih seumur jagung, aku tidak mau menimbulkan keributan. Selama ini, aku berusaha membuka hatiku untuk Salma. Meskipun aku belum bisa melupakan Mira mantanku. Mantan yang sangat aku cintai. Kami berpisah karena orang tuaku tidak merestui hubungan kami. Mira dengan sedih menerima perjodohan dari orang tuanya. 

Aku terpaksa menikahi Salma dengan setengah hati. Salma gadis pilihan ibuku. 

"Salma itu gadis baik, cantik, berpendidikan, orang kaya lagi, ga kaya mantanmu, ibu yakin kamu akan sukses bersamanya." Ibu sangat berharap aku menikahi Salma. 

"Mira juga baik, Bu! Walaupun dia bukan berasal dari keluarga kaya, dan tidak sarjana seperti Salma." belaku. 

Ibu menatapku dengan tatapan tidak suka. Netranya membulat, seperti mau keluar dari tempatnya.

"Oh jadi kamu lebih pilih si Mira itu, silahkan tapi ibu tidak akan menyetujuinya sampai kapanpun." Ancam ibu.

Aku tidak bisa menolak permintaan ibu. Akhirnya aku menerima Salma. Aku tidak ingin mengecewakan, wanita yang telah membesarkan dan melahirkanku.

Aku berharap aku bisa mencintainya dengan sepenuh hati suatu hari nanti.

Mau tidak mau, aku menuruti keinginannya. Semoga suatu saat nanti dia mau memperhatikan penampilannya. Aku nggak mau ribut sama Salma, pasti dia akan tersinggung. Aku takut ucapanku menyakiti hatinya.

Istriku juga tidak memperhatikan penampilan, meskipun hanya di rumah aku berharap dia bisa memakai baju yang sedikit modis, setidaknya modelnya tidak seperti model baju emak-emak. Sungguh aku merasa sudah menikah puluhan tahun, padahal baru lima tahun pernikahan.

Uang yang ku berikan selalu lebih, tidak pernah kurang. Aku berharap istriku dengan senang hati melakukan perawatan demi memanjakan mata suaminya ini. Ternyata aku yang terlalu berharap.

Aku mencintainya apa adanya, bukan berarti dia tidak merawat dirinya. Sebagai laki-laki normal aku ingin istriku tampil cantik, bersih dan wangi meskipun di rumah.  

Aku jadi berpikir belum punya anak saja istriku tidak mau merawat dirinya, apalagi punya anak. Setiap pagi daster belelnya bau asap kompor. Aku jadi enggan untuk melakukan ritual cium kening sebelum berangkat kerja.

Tubuhnya penuh lemak, membuatku tidak bernafsu sama sekali melihatnya, apalagi menjamahnya. Ku putuskan untuk selalu lembur malam agar dia tidak meminta haknya dan aku bebas darinya.

Sebenernya Salma adalah istri yang baik, tidak pernah menuntut apapun dariku. Dia rela meninggalkan kebiasaan mewahnya demi menemaniku dari nol. Meskipun berasal dari keluarga kaya Salma bukan tipikal wanita yang sombong. Hal itulah yang membuat ibuku menyukai Salma, dia berhasil merebut hati wanita yang telah melahirkan ku. 

Aku mencoba melupakan Mira perlahan-lahan, mengarungi bahtera rumah tangga kami dengan cinta. Aku berharap kami bisa memiliki buah hati. Membayangkannya sangat indah, menggemaskan. Rumah kami tak kan sepi lagi dengan adanya suara bayi.

"Semoga kita cepat diberi keturunan yah, istriku." Aku memeluknya dengan hangat.

"Aamiin, Mas." Wajah istriku tampak teduh.

Lima tahun kami menjalani kehidupan rumah tangga, ternyata Salma tak kunjung hamil. Salma mulai cemas dia memintaku untuk periksa kesehatan, aku menolaknya. 

"Mas, sebaiknya kita periksa kesehatan sebelum promil, supaya kita tahu kondisi kita berdua." Salma membujukku.

"Alah ga perlu lah Sal, aku sehat, kamu aja yang periksa," jawabku Aku yakin, aku tidak memiliki masalah kesehatan. 

Akh... memikirkan istriku tak kan ada habisnya, membuat otakku pusing saja, apa salahnya dia merubah penampilannya untukku. Tapi dia tak pernah melakukannya, aku tak suka.

Semakin hari hubungan kami semakin tidak harmonis. Aku tidak ingin menyentuh istriku lagi, aku merasa bersalah, aku sudah mengkhianati dirinya.

Bayangan Mira menari-nari di atas kepalaku. Bagaimana kabarnya dia sekarang? Bahagiakah bersama suaminya?Apakah dia sudah melupakan diriku atau dia sudah tak mengingatku lagi? Apakah dia merasakan hal yang sama seperti diriku? 

Dalam lubuk hatiku yang paling terdalam aku masih membuka hatiku untuk Mira, kapanpun ia membutuhkan diriku. Tapi kenapa dia tak pernah menghubungiku? Apa dia sudah benar-benar move on? Apakah setelah menikah Mira tak terawat juga seperti Salma?

Aku terus memikirkan Mira, berharap bertemu wanita yang pernah mengisi hatiku dahulu. Kucari informasi tentangnya. Aku bertanya pada teman-teman tentang keberadaannya sekarang, tak ada satupun jawaban. Mereka seolah-olah menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa.

Aku terus berusaha mencari informasi Mira, meskipun nihil. Aku tak peduli. Aku tak kan menyerah. Aku terus menggali informasi tentangnya. Firasat ku mengatakan Mira sedang tidak baik. 

"Kay, kamu kan sahabat, Mira, kamu tahu dimana dia tinggal sekarang," ucapku yang kebetulan bertemu dengan teman akrab Mira di sebuah Cafe. Namanya kayla, dia bekerja paruh waktu disana.

"Kamu, Arman, mantan Mira?" seolah-olah tak percaya bertemu diriku.

Aku mengangguk.

"Maaf, Aku tidak boleh mengatakannya." Dia berlalu begitu saja.

Aku kesal, ingin rasanya marah tapi kutahan.

Sebulan berlalu, aku menyerah mencari informasi tentang Mira lagi, mungkin aku harus benar-benar melupakannya. 

"Huwa...Huwa." Ku dengar suara balita menangis. Aku beranjak dari tempat duduk kebetulan aku sedang berada di taman, tempatku bertemu dengan Mira dahulu.

Aku langsung mencari sumber suara itu. Tak lama aku terkejut melihat balita kisaran 1 tahun sedang duduk menangis.

"Jangan menangis, sini om belikan permen," ujarku.

Kugendong balita mungil berparas cantik dengan senang hati. Kubawa balita itu berjalan di sekitar taman. Naluriku sebagai ayah tiba-tiba menginginkannya.

"Berhenti...." suara wanita itu terdengar lantang, aku seperti mengenalnya.

Aku menoleh, mata kami saling beradu. Aku tak percaya benarkah dia?

"Mira...."

"Kamu, " ucapnya.

Semenjak kami bertemu kembali aku semakin dekat dengannya.  

Gegas aku berangkat menepati janjiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status