Share

Mendadak Manis

"Martabak untukmu!" Mas Arman memberikan satu kotak martabak manis untukku. Hari ini suamiku pulang cepat tidak seperti biasanya. Aromanya menyeruak ke seluruh ruangan. Enak. Dari Indra penciumanku, tidak salah lagi. Martabak kesukaanku, rasa coklat susu.

Aku mengambilnya dengan senyum terpaksa. Kutaruh martabaknya di dapur. Segera kubuka kotak martabaknya, entah mengapa tidak selera. Kututup kembali.

Dia menoleh ke arahku.

"Nggak, langsung dimakan?" ucapnya sambil menaiki anak tangga.

"Masih kenyang, " jawabku datar tanpa melihat ke arahnya. 

Diam-diam suamiku memperhatikan diriku. Perasaanku biasa saja, anggap saja tidak tahu. Pasti dia akan mengira, aku akan senang dan tersenyum, lalu merajuk padanya. kau salah, Mas. Tidak akan lagi, kepercayaanku mulai memudar. Mari kita nikmati saja permainan ini.

Tumben. Sikapnya berubah manis. Ada apa gerangan? Apa karena besok dia akan jalan-jalan dengan selingkuhannya. Nggak kusangka yah, Mas! Bawa anak kecil pula. Bener-bener tidak tahu malu. Pinter banget, dengan alasan jalan-jalan.

Aku masuk ke kamar. Kulihat suamiku sedang menyiapkan koper dan memasukkan beberapa baju. Satu, dua... sepertinya cukup untuk seminggu. 

"Besok, aku mau dinas ke luar kota," ucapnya.

Bener 'kan, pasti dia belikan martabak itu, karena ada maunya. Supaya aku nggak curiga. 

"Oh, Iyah gpp," sahutku cuek. Aku sengaja tak memainkan gawaiku di depannya. Takut suamiku curiga.

 Tanpa kamu beritahu, aku sudah tahu duluan. Dinas ke luar kota, dengan si Mira, eh salah deng! Sarah. Cari selingkuhan saja, mirip betul dengan mantan terindahmu. Apa belum bisa move on? Atau jangan-jangan Sarah itu Mira? Bisa kebetulan mirip banget? 

Hatiku bertanya-tanya. lebih baik aku tidur saja duluan. Rasanya sekarang aku yang jijik dekat denganmu. Kata-kata manismu palsu. 

***

Setelah adzan subuh, Mas Arman langsung pergi. Dia tidak membangunkanku yang masih tertidur. Aku pun tak mau tahu, yang penting aku bisa tahu keberadaannya lewat Gps yang sudah kupasang di ponselnya.

Segera kuambil gawaiku, langsung saja kulihat titik lokasinya suamiku berada.

Hotel? Jadi mereka liburan di hotel Jakarta. Jadi ini jalan-jalan yang dimaksud si Sarah. Mereka mau jalan-jalan plus- plus gitu.

Tiba-tiba terlintas di benak pikiranku untuk menelponnya. Kulihat hari sudah semakin siang. 

Satu kali  kutekan nomor telepon nya. Tak ada jawaban. Kucoba lagi, kali ini suamiku mengangkatnya.

"Assalamualaikum," ucapku dengan nada manja. 

"Walaikumsalam, ada apa Sal?" ujarnya tanpa basa-basi. Terdengar Nada Mas Arman ketakutan.

"Mas, aku mau shopping dong, 'kan dah lama juga nih, sekalian mau ke salon, kan kamu bilang aku nggak menarik, jadi aku mau perawatan biar lebih menarik!" Aku tak rela uang suamiku habis begitu saja dengan si Sarah. Mulai sekarang aku akan rajin perawatan. Meskipun nanti aku sudah cantik, glowing kaya Dian Sastro, nggak bakal aku mau tidur lagi dengannya.

"Tumben sih, tapi ya udah kutransfer sekarang!" Aku tahu suamiku tidak pelit, dia royal masalah uang. Hanya saja selama ini aku tidak memanfaatkannya dengan baik.

"Pa, pah." Kudengar jelas suara anak kecil memanggil.

"Itu siapa? Kok ada suara anak kecil, manggil kamu papah," tanyaku, pura-pura tidak tahu. Jelas-jelas itu anak gundikmu.

"Hemmm...oh iya nih, aku udah sampai ke tempat penginapan, ada anak kecil manggil papahnya di sebrang kamarku." Mas Arman menjawab dengan gugup.

Terdengar suara perempuan berbisik-bisik dengan Mas Arman sambil menenangkan anaknya.

Pendengaranku ini tajam loh, dari orok. Tidak mungkin aku salah dengar meski tak terdengar jelas dari hp. Aku bisa mendengarnya.

"Oh, coba video call dong!" tantangku.

"Udah masuk anak kecilnya, yah nggak bakal liat apa-apa!" udah, yah! Aku sibuk nih, lagian udah menjelang sore, mending kamu shopping dan ke salon biar nggak kemalaman." Mas Arman langsung mengakhiri pembicaraannya tanpa basa-basi lagi. Takut ketahuan yah, Mas.

"Oke, hati-hati, deh disana," basa basiku.

 Segera aku matikan teleponnya. Transferan dari mas Arman sudah masuk. Nominalnya cukup lumayan banyak. Aku juga akan senang-senang tanpamu, Mas. Aku akan pergi ke salon, shopping sisanya akan ku tabung. 

Bersenang-senanglah kalian disana, ini baru uang saja yang kuminta. Kalau bisa aku akan balikan sertifikat rumah ini. Suamiku tidak punya banyak harta, tapi beraninya mendua. Tidak akan kubiarkan si pelakor masuk ke dalam rumah ini.

***

"Mari Mba ke ruang atas!" Salah satu karyawan salon kecantikan menyambutku dengan ramah. Aku sudah berada disini setelah Mas Arman mentransfer uangnya. Aku langsung berangkat menggunakan jasa taksi online. 

Dengan senang hati, aku langsung melalukan perawatan dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Sekarang keliatan lebih fresh. Selanjutnya aku langsung shopping ke butik ternama di daerahku.

Sesampainya aku sibuk memilih baju kekinian yang lagi trendi, biar tak kalah modis tentunya. Aku mengambil beberapa pakaian, aksesoris, dan langsung membayarnya.

Setelah puas berbelanja, aku kembali ke rumah. Perutku terasa lapar. Kupesan makanan di aplikasi online sambil mencoba baju yang kubeli. Sudah lama sekali rasanya aku tidak pernah seperti ini.

 Aku hanya fokus bebenah rumah dan tak menghabiskan banyak uang. Padahal Mas Arman selalu, menyuruhku untuk perawatan dan shopping. Bodohnya, aku tidak pernah mau, karena aku pikir pemborosan lebih baik aku tabung uangnya. 

Aku menyesal, andai saja aku mau mengikuti maunya, dia tidak akan nyantol ke ondel-ondel Betawi. Aku jadi ingat kata-kata Nina. 

Kudengar suara orang mengetuk pintu depan rumah. Aku langsung beranjak dari sofa. Pesananku sudah datang. Aku segera menyantapnya dengan lahap. Aku membuka kotak berisi ayam geprek kesukaanku. Nikmat sekali. Walaupun tidak senikmat kehidupan rumah tangga yang aku rasakan sekarang. 

Andai aku mendengar kata papahku dulu.

"Jangan menikah dengan Arman, dia bukan pria baik!" Papah tidak merestui hubungan kami. Tapi aku terlanjur cinta. Kuputuskan untuk bunuh diri, jika tidak menikah dengannya. Papahku ketakutan akhirnya beliau menyetujuinya walaupun terpaksa. Mamahku hanya diam, tanda tidak suka dengan Mas Arman. 

"Dia bukan berasal dari keluarga kaya, dia hanya dari kalangan biasa. Hidupmu tidak akan bahagia," cebik Mamahku.

Kutinggalkan fasilitas kemewahan yang aku rasakan sejak aku kecil. Aku rela meninggalkan perusahaan papahku. Aku tahu papah kecewa, dia berharap akulah ahli waris satu-satunya, yang akan meneruskan perusahaan papah. Gadis semata wayangnya. 

Sekarang aku tidak tahu kabarnya seperti apa, terakhir papah meminta Ardi sahabat baikku yang meneruskannya. Dia merupakan karyawan teladan dan kaki kanan papah di perusahaan.

Nyatanya, suamiku bisa sukses karena kerja kerasnya. Aku tidak kekurangan harta. Aku hidup berkecukupan. Tapi kata-kata mamah benar, aku tidak bahagia sekarang. Bukan karena harta, tapi karena sebuah pengkhianatan. Sampai kami menikah orang tuaku tidak pernah menghubungiku. Miris Sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status