Share

Bab 3

"Oh seperti itu. Tapi seandainya nanti kamu ketemu lagi dengan mantanmu itu setelah menikah dengan Vania, apakah akan ada acara CLBK? Karena sepertinya kamu masih memendam rasa padanya," tanya suamiku lagi.

"Hahaha, tidak lah Mas. Aku bukan orang yang suka memungut mantan. Apalagi sekarang dia pasti sudah tua kan, tak mungkin aku berpaling karena sudah ada Vania ini. Jangan khawatirkan masalah itu," katanya.

"Iya ih. Mas Ridwan ini, ada ada aja deh yang di tanyakan. Kami ini sudah saling cinta. Dan pokoknya, aku ingin secepatnya menikah dengan Mas Adit, titik. Plisss ya Mas, Kak. Kalian sayang padaku kan?," rengek Vania.

Entah mengapa ada perasaan tidak srek dalam hatiku merestui pernikahan mereka. Bukan karena aku masih memiliki rasa pada Rama, tapi aku merasa akan banyak hal buruk dibelakang dan Rama sedang memainkan drama untuk mencapai suatu tujuan. Tapi saat melihat Vania merengek seperti itu, aku tak akan tega, dan tak mungkin juga aku menceritakan masa laluku dengan Rama.

"Aku sih terserah kamu saja deh Van. Yang pasti menikah adalah suatu keputusan besar dalam hidup, jadi harus dipikirkan matang matang. Kalau menurut kamu bagaimana Dek?" tanya suamiku.

Aku yang masih menunduk sambil melamun, kaget ketika suamiku memegang tanganku.

"Kamu nglamun atau ngantuk sih Dek? Bagaimana menurutmu dengan pernikahan mereka?" tanya suamiku lagi dengan lembut.

"Eh maaf, iya Mas aku ngantuk sekali, hehehe. Kalau aku sih terserah Vania saja deh Mas." jawabku.

Sepulangnya Vania nanti, aku akan menceritakan pada Mas Ridwan tentang hubunganku dulu dengan Rama. Agar dibelakang nanti tak ada ganjalan. 

"Yeay. Berarti semua setuju kan. Tuh Yank semua setuju. Kapan nih kamu melamarku dan menikahiku?" Vania terlihat sangat bahagia.

"Secepatnya, dan aku usahakan bulan ini kita pasti menikah Sayang," kata Adit pada Vania.

"Oke lah. Lebih cepat lebih baik" tambah Vania.

"Oh iya sampai lupa, tadi aku beli martabak telur kesukaanmu lho Van. Spesial pakai telur bebek, seperti permintaanmu. Sebentar ya ku ambilkan di motor," kata suamiku sambil keluar rumah.

Memang Vania dan Gita, sangat suka sekali dengan martabak telur pakai telur bebek, padahal menurutku itu terlalu amis, aku tak suka. Mss Ridwan pun segera masuk membawa dua box martabak.

"Nih satu buatmu, dan ini satu buat Kakakmu, pakai telor ayam biasa kan.  Gita sini Nak, ini Ayah bawa makanan kesukaanmu!" teriak suamiku.

Gita pun langsung menghambur keluar, dengan girang dia pun langsung berdiri di samping Vania. Kulirik sekilas, pandangan mata Rama, tak lepas dari Gita, sepertinya dia sangat tertarik sekali dengan Putriku ini.

"Berapa umurmu anak cantik?" tanya Rama tiba tiba pada Gita.

"Delapan tahun om," kata Gita sambil menampilkan deretan giginya yang rapi.

"Apa benar Mas, Gita ini baru berusia delapan tahun? Kok sepertinya sudah berusia dua belas tahunan," Rama ganti bertanya pada suamiku.

"Hehehe iya memang dia masih berusia delapan tahun sekarang. Badanya memang bongsor sepertiku, banyak sekali yang mengira dia memang usianya sudah belasan tahun." terang suamiku.

Oooh sekarang aku tahu, kenapa dari tadi Rama terus saja memperhatikan Gita. Dia pasti mengira Gita adalah darah dagingnya, mangkanya dia bilang usia Gita dua belas tahun. Padahal dia tak tahu, Mama nya sendirilah yang membunuh darah dagingnya itu, saat dia menghilang tanpa kabar. 

"Oh begitu ya Mas. Berapa jumlah anaknya Mas? Apa Gita ini punya kakak atau adik?" tanyanya lagi, benar benar masih mencari informasi dia.

"Baru satu ini Mas. Gita ini anak pertama kami, sekarang sedang program anak kedua. Doakan saja ya, hahaha," jawab suamiku yang dibalas anggukan oleh Rama.

Vania dan Gita pun membuka box martabak telur mereka, jajanan yang masih hangat itu mengeluarkan aroma sedap tersendiri.

"Hoek hoek hoek," Vania sepertinya ingin muntah dan langsung lari kebelakang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status