Saat aku kembali membuka mata, ku lihat Gita duduk di sampingku dengan sesengukkan."Gita, kenapa nangis Nak?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepala putriku itu."Gita takut, Bun..." jawabnya sambil menggenggam tanganku erat."Takut kenapa, Sayang? " tanyaku lagi."Takut Bunda nggak bangun, kayak Tante Vania itu...huhuhu," ucapku.Seketika aku pun langsung bangun dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku tahu, di usianya ini, masihlah sangat berat menyaksikan kejadian Vania tadi. Semoga nanti tak menjadi trauma ke depannya."Bunda, tak akan pergi kemana-mana Sayang. Bunda akan selalu ada di samping Dita. Sekarang mendingan Gita bobok di sini ya, pasti capek kan tadi habis perjalanan jauh?"Aku pun kemudian mengangkatnya dan menidurkannya di sampingku, kucium pucuk rambutnya dan kuelus, agar dia merasa tenang."Gita bobok ya, Bunda temenin di sini. Nanti kalau mau pulang, Bunda bangunin ya...," ucapku sambil tersenyum dan di jawab dengan anggukan kepala olehnya.Beberapa saat kemud
Aku pun sebenarnya masih tak menyangka, jika Vania kini telah tiada. Aku tak tahu kenapa dia sampai menjadi gelap mata seperti ini, padahal kemarin-kemarin, dia sudah berusaha bertaubat.Jalan hidup yang di berikan Allah padaku, ternyata tak seperti yang kuinginkan. Sesungguhnya aku ingin sekali untuk ke depannya, bisa berkumpul dengan Ayah dan juga Vania. Namun ternyata, dengan membawa Ayah kembali, justru kemudian Allah mengambil Vania dariku.Pertanyaan dalam hatiku tentang hal apa yang membuat Vania tertekan hingga kemudian nekat memgakhiri hidupnya, masihlah menjadi teka-teki untukku. Namun kali ini aku menjadi ingat dengan seseorang, yang selalu mengancamku dan juga Vania, mungkin atau bahkan pasti, dialah yang telah menekan Vania sedemikian rupa. Sebaiknya aku sekarang meneleponnya, ya dia pasti Mbak Riska, kakak ipar Vania. Dua kali panggilanku tak dihiraukannya, tapi dipercobaan ketiga, akhirnya panggilanku di jawabnya."Assalamualaikum, Mbak Riska," ucapku tenang membuka per
"Assalamualaikum Kak. Lagi di rumah kan?" kata Vania, di telepon sore itu."Waallaikumsalam Van. Iya di rumah kok. Ada apa?" tanyaku sambil menyisir rambut putriku."Aku mau main kesana ya Kak, Mas Ridwan juga ada di rumah kan?" tanyanya lagi."Mas Ridwan belum pulang, lembur katanya. Mau main kesini aja kok pakai tanya sih kamu ini Van, biasanya juga tiba tiba uda nongol depan pintu kok, hemmmm," kataku."Hehehe kan kali ini bertamunya beda. Aku nggak datang sendiri Kak, aku datang sama seseorang, calon suamiku. Boleh kan Kak?" "Calon suami? Pacar maksudmu?" "Nggak Kak. Calon suami. Kami sudah menjalin hubungan serius Kak, dan dia juga ingin melamarku. Mangkanya dia ingin bertemu dengan Kakak dan Mas Ridwan.""Kamu itukan masih kuliah, masih semester dua lho. Kok sudah ingin menikah. Apa nggak ingin nyelesaiin kuliah mu dulu?""Haduh Kak, apa salahnya sih nikah muda, dari pada kebablasan, hehehe.""Iya sih memang benar, tapi kan nikah itu juga nggak hanya sekedar urusan ranjang
Sosok laki laki itu sepertinya sangat familiar denganku, namun siapa dia aku benar benar lupa. Rambut gondrong di ikat kebelakang dan berkacamata itu mengingatkanku pada seseorang, Rama. Mungkinkah dia Rama? Mantan kekasihku yang pernah menorehkan luka di hatiku dulu?Ah, mungkin cuma mirip saja. Rama kan rambutnya tidak pernah gondrong, dia selalu memotong cepak rambutnya, dia juga tak pernah memakai kacamata. Dan tak mungkin juga dia masih lajang, bukankah dulu kata Mamanya dia akan di jodohkan dengan anak teman lamanya. Tak mungkin lah pokoknya itu Rama."Kak, kok bengong sih?" kata Vania sambil menepuk pundakku, sontak aku pun kaget."Eh maaf ya. Ayok mari silahkan masuk," kataku mempersilahkan Vania dan laki laki itu masuk."Gita, ini ada Tante Vania datang loh," teriakku memanggil putri kesayanganku yang sedang menonton televisi.Dia memang sangat dekat sekali dengan Vania, maklum sejak Gita lahir, Vania selalu bersamanya. Tak jarang Gita lebih memilih tidur bersama Vania."Tant
"Oh seperti itu. Tapi seandainya nanti kamu ketemu lagi dengan mantanmu itu setelah menikah dengan Vania, apakah akan ada acara CLBK? Karena sepertinya kamu masih memendam rasa padanya," tanya suamiku lagi."Hahaha, tidak lah Mas. Aku bukan orang yang suka memungut mantan. Apalagi sekarang dia pasti sudah tua kan, tak mungkin aku berpaling karena sudah ada Vania ini. Jangan khawatirkan masalah itu," katanya."Iya ih. Mas Ridwan ini, ada ada aja deh yang di tanyakan. Kami ini sudah saling cinta. Dan pokoknya, aku ingin secepatnya menikah dengan Mas Adit, titik. Plisss ya Mas, Kak. Kalian sayang padaku kan?," rengek Vania.Entah mengapa ada perasaan tidak srek dalam hatiku merestui pernikahan mereka. Bukan karena aku masih memiliki rasa pada Rama, tapi aku merasa akan banyak hal buruk dibelakang dan Rama sedang memainkan drama untuk mencapai suatu tujuan. Tapi saat melihat Vania merengek seperti itu, aku tak akan tega, dan tak mungkin juga aku menceritakan masa laluku dengan Rama."Aku
Aku pun mengikutinya dari belakang. Dia masuk kamar mandi, dan seperti ingin muntah, namun tak bisa. Karena tak di tutup aku pun masuk kedalam dan memijat lehernya. Ada perasaan tak enak dan was was disini, kenapa dia mual saat mencium aroma martabak kesukaanya itu, apa jangan jangan dia hamil?."Kamu kenapa sih Van,?" tanyaku sambil masih memijit lehernya."Nggak tau nih Kak, rasanya mual dan pingin muntah karena bau martabak itu. Tolong jauhin makanan itu deh Kak. Mual banget aku karenanya,""Itukan makanan kesukaanmu, biasanya kamu kan langsung melahap habis saat masih hangat begitu. Kamu kenapa sih sebenarnya? Jangan jangan kamu hamil ya?""Apa apaan sih Kak, ngomong sembarangan deh. Aku hanya masuk angin saja kok." katanya sewot, sambil ingin pergi menjauh dariku."Tunggu, mau kemana kamu? Jawab jujur dulu pertanyaanku, kamu hamil apa tidak?" kataku sambil memegang kedua lengannya."Aku cuma masuk angin Kak. Cuma masuk angin biasa, telat makan saja tadi," katanya sambil menunduk,
Flashback"Yank, aku hamil," kataku pagi itu saat Rama menjemputku di tempat kost ku."Apa? Nggak salah kamu Yank? Bukanya kita sudah selalu berhati hati," jawab Rama terlihat sangat kaget."Aku tadi sudah coba pakai testpack Yank. Dan hasilnya positif. Aku juga tidak tau Yank. Terus kita harus gimana?" kataku makin cemas dan mulai menangis."Haduh bagaimana ya Yank, apa kita coba jatuhkan saja? Kan kita masih semester dua juga kan Yank, kita masih muda," katanya sambil memegang tanganku."Aku tak ingin menambah dosa lagi Yank. Sudah banyak sekali dosa yang kita lakukan,""Aku tahu itu Yank. Tapi apa lagi yang harus kita lakukan? Kalau sampai orang tua kita tahu, bisa gawat Yank. Mereka pasti tak akan menerima ini. Semua malah akan lebih runyam. Aku pun belum siap menjadi seorang ayah," katanya sambil mengacak rambutnya sendiri."Aku pun bingung Yank. Tapi satu yang pasti aku tak ingin menambah dosa lagi, dan aku minta kamu bertanggung jawab Yank, sebelum perutku ini semakin membesar
Keesokan harinya kembali kami bertemu, di kost, kebetulan hari itu adalah hari Sabtu, tak ada kuliah."Yank, maafin aku ya. Mama dan Papa tak setuju kalau kita menikah. Mereka malah memberiku uang untuk menjatuhkan janin itu," kata Rama, lesu."Apa kamu tak bisa memberi pengertian pada mereka? Apa kamu nggak sayang sama anak ini Yank?""Aku tak bisa lagi memaksa Yank, aku juga tak ingin menyakiti kedua orang tuaku. Lagi pula ternyata Mama sejak lama telah menjodohkanku dengan anak temanya, dan sebentar lagi kami akan bertunangan. Maafkan aku Yank. Sepertinya aku tak bisa menikahimu saat ini, sebesar apapun cintaku padamu, namun aku pun tak bisa menolak keinginan Mama dan Papaku," "Pengecut sekali kamu menjadi seorang laki laki. Kenapa tak dari dulu kau katakan kalau orang tuamu tak merestui hubungan kita, dan sudah menjodohkanmu?. Sekarang pergilah, dan jangan pernah temui aku lagi!!. Aku tak butuh laki laki sepertimu!!." teriakku sambil menangis."Maafkan aku Yank. Semua diluar perk