Arthur meletakkan tubuh mungil Lintang ke atas kasur dengan hati-hati, merapihkannya dengan gerakan perlahan agar tidak membangunkan wanita yang tertidur akibat puas menangis tersebut.
"Saya masih bertanya-tanya, apakah tugas yang sebenarnya harus saya jalankan? Jadi pengawal atau pengasuh," bisik pria itu, gemas.
Sebelum memutuskan pergi, Arthur mengamati sekali lagi wajah Lintang, menatapnya lama. "Cantik," pujinya, hampir tidak terdengar.
Seseorang yang selalu membuatnya diliputi rasa penyesalan dan selalu ingin mengutarakan permohonan maaf tiap kali berada dekat dengannya, Lintang Candraningtyas Adiwilaga, Nona muda dari Keluarga Adiwilaga.
"Saya pastikan saat kamu terbangun nanti, semua rasa kesedihan ini sudah hilang. Tidak akan saya biarkan kamu menderita, Nona."
"Ini akan jadi terakhir kalinya kamu menangis."
Meski dengan begitu Arthur harus menanggung segalanya, demi Lintang dan kebahagiaan wanita itu, akan ia lakukan.
Tidak ingin berlama-lama dan menimbulkan kesalahpahaman ketika wanita itu terbangun, pria berseragam hitam itu memutuskan untuk pergi dari sana, membiarkan Lintang beristirahat dengan nyaman.
Kakinya melangkah ke ruang favorit, tempatnya melampiaskan kesepian.
Setiap kali pikirannya sedang berkecamuk atau tidak baik-baik saja, Arthur terbiasa menghabiskan waktu untuk berlatih menembak.
Dengan cara yang seperti itu ia merasa sedikit jauh lebih tenang, bisa melupakan sejenak permasalahan yang memenuhi jiwanya.
"Maafkan saya, Lintang. Saya tidak punya pilihan lain selain mengatakannya, menyakiti hatimu dengan memberi penolakan. Saya tidak mau sampai membahayakanmu, apalagi menyulitkan kehidupanmu di masa depan."
Duar!
Berkali-kali tembakan dilepaskan.
"Saya mencintaimu, dan bukan berarti tidak ingin memperjuangkan tentang perasaan ini lebih lanjut. Hanya saja -"
Arthur tidak pernah merasakan ketidakberdaya yang sebesar ini selama hidupnya, ia begitu putus asa.
"Sampai detik ini saya tidak punya alasan untuk melakukannya. Saya terus berpikir orang sepertimu pantas memiliki masa depan yang jauh lebih baik, ketimbang bersama dengan saya."
Kapten tim khusus, yatim, keluarga tak jelas, hanya memiliki keahlian dalam berperang, apa yang bisa dibanggakan darinya?
Diantara pemikiran pelik itu, Arthur teringat dengan percakapan yang terjadi siang tadi. Antara dirinya dengan Yasmin, Ibunda Lintang.
Pembicaraan yang terkesan sangat serius itu tidak bisa Arthur lupakan meski sudah berulangkali coba ia singkirkan dari kepalanya.
"Atas permintaan langsung dari Ibumu, untuk hidupmu, saya memutuskan untuk menyerah, Lintang. Menyerah pada perasaan ini."
*Flashback On*
"Aku sudah dengar kabar yang tersebar luas mengenai hubunganmu dengan putriku apa itu benar?" Yasmin berujar tanpa menatap sekalipun pada Arthur, sosok yang jadi lawan bicaranya.
"Banyak yang bilang kalian memiliki kedekatan spesial, bukan antara seorang VIP dengan pengawal pribadi. Bagaimana hal ini bisa sampai terjadi, aku tidak mengerti sama sekali. Kamu lupa gelar putriku dan tugasmu, Kapten?"
"Kenapa kabar seperti ini bisa sampai tersebar luas dan menjadi bahan berita yang tidak menyenangkan. Aku bahkan sampai harus mendengarnya, membuatku kesal."
Arthur masih diam, tidak menyahut atau memberi pembelaan sama sekali.
Ia tahu bahwa Yasmin sangat menantang keras tentang rumor ini karena merasa tidak suka, begitu tidak nyamaannya saat tahu putri tunggalnya harus dikabarkan dekat dengan orang-orang dari kalangan bawah tak selevel dengan mereka, seperti Kapten Arthur.
"Berkali-kali aku memberimu peringatan, tetapi rupanya masih tidak membuatmu mengerti juga." Yasmin menyilangkan kedua tangannya di dada, gaya khasnya saat bicara. "Harus dengan cara apa agar kamu paham maksudku?!"
"Jauhi Lintang, putriku. Karena aku sudah menemukan calon yang tepat untuknya," ucap istri Candra Adiwilaga itu, tegas.
Tidak memberi celah lagi bagi Arthur menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Pria itu, terlalu terkejut dengan pernyataan yang barusan ia dengar.
"Aku tidak ingin calon suami Lintang sampai berpikiran tidak tidak mengenai kedekatan diantara kalian." Yasmin melangkah maju, sengaja menepis jarak antara dirinya dengan Arthur agar lebih leluasa saat bicara.
"Jadi, tolong lepaskan Lintang. Biarkan dia memiliki masa depan yang jauh lebih cerah dan terjamin daripada bersama denganmu."
"Calon suaminya adalah orang dari kalangan kami yang punya segalanya, selevel. Bergelar terhormat, " imbuh wanita berwibawa yang telah mengatur rencana untuk putrinya dengan baik.
Yasmin masih belum selesai, ia masih terus melanjutkan kalimatnya. "Tidakkah kamu berpikir sama sepertiku bahwa Lintang akan jauh lebih bahagia ketika menikah dengannya daripada menikah denganmu, Kapten?"
Itu terdengar agak kejam.
Arthur menelan savilanya, membasahi tenggorokan yang tercekat.
Meski pedih, yang Yasmin katakan sama sekali tidak salah. Sebagai seorang Ibu, dirinya hanya ingin menyelamatkan masa depan Lintang yang jelas sudah dirangkai sejak ia masih belia.
Mendapatkan suami yang bisa meneruskan bisnis ayahnya, menjaga nama baik keluarga besarnya.
"Saya dan Nona Lintang tidak memiliki hubungan apapun seperti yang orang lain bicarakan tentang kami berdua." Arthur angkat suara, setelah lama membungkam.
"Karena itu anda tidak perlu khawatir, Nyonya." Kepala pria itu terangkat, menatap lurus wanita di hadapannya ini tanpa ragu.
Tidak takut meski dari matanya bisa saja terbaca keberatan, karena harus meninggalkan Lintang, wanita yang dikaguminya.
Arthur harus siap menerima. Ini yang mereka sebut sebagai takdir.
"Sebisa mungkin, saya hanya menjalankan tugas dengan baik, melindungi Nona tanpa melibatkan apapun apalagi perasaan jadi jangan cemaskan soal rumor tidak benar yang tersebar," ucapnya, menutup kekhawatiran dengan pernyataan yang jelas.
Yang Yasmin mau, lebih tepatnya.
Sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh Yasmin untuk memisahkan putrinya dengan pengawal pribadi keluarganya itu.
Akan tetapi, tidak semudah yang dibayangkan. Yang handal dan ahli dalam bidangnya hanya Arthur, rekannya yang lain mungkin tidak bisa sebaik dirinya saat bertugas.
"Baguslah. Keputusan yang tepat, Kapten. Jika begini aku akan anggap masalahnya selesai dan tidak perlu memecatmu." Senyuman puas terbit di wajah Yasmin.
Ibunda Lintang itu bangkit, hendak melenggang pergi. "Aku akan mulai menyiapkan pernikahan putriku. Lebih cepat kamu mengakhirinya, jelas akan jauh lebih baik, Kapten."
"Karena kita nantinya akan jadi sangat sibuk, tolong tepati janjimu tanpa perlu diingatkan selalu. Jaga Lintang dan buat dia menyerah atas perasaannya padamu. Okay?"
*Flashback Off*
***
Hanya butuh waktu seminggu persiapan pernikahan selesai dirancang. Acara inti diberlangsungkan tepat setelah kedua keluarga sepakat, begitu cepat. Waktu berlalu bagai air yang mengalir, tak terasa.
Pertunangan spektakuler yang terjadi di keluarga Adiwilaga begitu menarik perhatian semua orang. Muncul di portal berita, sempat jadi kabar utama menyatunya dua keluarga terhormat yang diramalkan akan jadi kekuatan baru di dunia bisnis.
Sementara di pesta, ribuan orang terlihat bahagia. Hanya Arthur yang menatap ke arah panggung dengan wajah dinginnya.
"Selamat untukmu, Nona Lintang," bisiknya, serak. Suara baritonnya tidak terdengar oleh siapapun.
Menyedihkan.
Harusnya Arthur bukan menjadi seseorang yang memberikan selamat di hari bahagia wanita itu, melainkan sosok yang bersama dengannya berdiri di depan bertukar cincin pertunangan.
Sungguh takdir yang kejam.
Pujaan hati yang sudah benar-benar tidak bisa ia harapkan lagi, telah menjadi milik orang lain, yang bukan untuknya.
Hanya butuh waktu seminggu persiapan pertunangan selesai dirancang. Acara inti diberlangsungkan tepat setelah kedua keluarga sepakat, begitu cepat. Waktu berlalu bagai air yang mengalir, tak terasa.Baru pertunangan namun sudah sangat spektakuler, acara yang terjadi di keluarga Adiwilaga begitu menarik perhatian semua orang. Muncul di portal berita, sempat jadi kabar utama menyatunya dua keluarga terhormat yang diramalkan akan jadi kekuatan baru di dunia bisnis.Sementara di pesta, ribuan orang terlihat bahagia. Hanya Arthur yang menatap ke arah panggung dengan wajah dinginnya."Selamat untukmu, Nona Lintang," bisiknya, serak. Suara baritonnya tidak terdengar oleh siapapun.Menyedihkan.Harusnya Arthur bukan menjadi seseorang yang memberikan selamat di hari bahagia wanita itu, melainkan sosok yang bersama dengannya bertukar cincin pertunangan.Sungguh takdir yang kejam.Pujaan hati yang sudah benar-benar tidak bisa ia harapkan lagi, telah menjadi milik orang lain, yang bukan untuknya.
Arthur menatap tak berkedip pada Lintang, yang berdiri di ambang pintu dengan pakaian tidur tipis. Dan, entah kesialan atau anugerah baginya, karena angin berhembus membuat lekukan tubuh gadis itu semakin jelas dimatanya.Itu mengganggu jiwa kelelakiannya.Tapi Arthur masih cukup waras untuk mengerjap dan memalingkan pandangannya ke arah lain. Dan mengatur nafas."Nona, tolong kembali ke dalam, angin malam tidak bagus untuk kesehatan!" pintanya."Tidak bagus untuk kesehatan, apa tidak baik untuk jantungmu?"Arthur terpaku mendengar perkataan Lintang. Dengan memberanikan diri, ia pun menoleh melihat ke arah gadis itu. Dan alisnya pun terangkat tinggi saat melihat Lintang tengah mendongak, menenggak minuman langsung dari botolnya.Sontak saja Arthur melangkah lebar ke arah Lintang dan merebut botol itu dari tangannya. "Kembalikan! Jangan dibuang!" pekik Lintang meninggi saat melihat Arthur menuangkan semua isi botol ke dalam pot tanaman, lalu menjauhkan botol itu ke sudut balkon. "Apa
Arthur terbiasa bangun di pagi buta. Tubuhnya sudah terlatih untuk tetap siaga meski baru saja sedetik matanya terlelap memeluk perempuan tercintanya. Ia tersenyum menatap wajah cantik Lintang yang masih terlelap dalam tidurnya. Tak habis-habis ia mengagumi perempuan itu. Sosok lembut dan anggun yang mengguncang seluruh dunia, hati dan pikirannya. Tak sedikit pun ia tak memikirkan Lintang dalam di dalam benaknya. Meski sesibuk apapun dan berkecamuknya badai dalam pikirannya, Lintang akan selalu jadi penenang yang membuatnya menyerah. Seperti malam tadi, ia bahkan tak mampu melawan hasrat dan rasa ingin memiliki yang menggebu-gebu. Mengingat jika perempuan yang ia cintai harus menjadi milik orang lain, sejujurnya ia tak rela. Membayangkan Lintang bersanding di pelaminan seperti saat acara pertunangan kemarin saja hatinya memberontak marah, apalagi jika ...Arthur memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam. Menenangkan ego dan ambisi yang bergolak di dadanya. Dan saat membuka mata, di
Arthur segera membukakan pintu mobil ketika Lintang keluar dari rumah. Gadis itu tampak menahan tangis dan ketika sudah berada di dalam mobil, air matanya pun tumpah. Arthur sendiri segera masuk ke ruang kemudi, dan tanpa bertanya lagi segera membawa Lintang pergi dari situ. Sepertinya Lintang dan Yasmin sedikit beradu mulut di dalam.Arthur diam dan hanya memperhatikan Lintang dari spion. Membiarkannya menangis. "Apa kita langsung ke butik, Nona?" tanya Arthur.Lintang menghela nafas panjang, lalu menggeleng tanpa bicara. Arthur pun mengerti. Ia pun melajukan mobilnya lurus memasuki jalan tol, memperpanjang perjalanan mereka.Hening. Lintang menatap keluar jendela. "Ibu mengancamku," Lintang bersuara. Arthur meliriknya dari spion dan mendengarkan. Mata Lintang pun lalu menoleh pada Arthur, saling berpandangan melalui kaca spion."Aku tidak bisa, Arthur," ucap Lintang kembali terisak. Air Matanya kembali mengalir."Nyonya Yasmin melakukan apa yang diinginkan semua ibu, beliau tent
Arthur mengikuti mobil Wira, dengan hati cemas dan menahan amarah. Sekarang saja Wira berani berlaku kasar, Arthur tak bisa membayangkan jika laki-laki sombong itu menikahi Lintang. Dihelanya nafas dalam-dalam. Berusaha berpikir tenang dan lurus. Menenangkan diri jika semua akan baik-baik saja. dan berprasangka baik. Butik yang menjadi tujuan Wira tentunya adalah butik terkenal. Arthur buru-buru keluar ketika mobil mereka baru saja berhenti. Tak sabar ingin memastikan jika Lintang dalam keadaan baik-baik saja.Dan untuk kedua kalinya Arthur harus menahan amarah saat melihat Wira menarik Lintang keluar dari mobil. Gadis itu sempat terantuk kakinya sendiri ketika hendak berjalan. "Nona!" Arthur mendekat segera hendak membantu. Matanya menatap tajam ke arah Wira. "Aku tidak apa-apa, Kapten! Jangan khawatir!" ucap Lintang tersenyum, sekilas menatap Arthur.Wira hanya tersenyum miring. Melihat reaksi Arthur membuatnya ingin bermain-main dengan perasaan laki-laki itu, dia terkekeh dan m
Wira memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, membuat Arthur sempat kehilangan mereka untuk beberapa lama. Sampai akhirnya Arthur menelusuri GPS dari ponsel Lintang dan ketika melihat kemana arah tujuan Wira, dia pun emosi. Karena bukan menuju rumah kediaman keluarga Adiwilaga, melainkan ke rumah pria itu. "Mau apa dia?!" geram Arthur. Tanpa pikir panjang lagi ia pun segera mengarahkan mobilnya menuju rumah Wira. Arthur setengah melompat keluar saat mobilnya berhenti di sana. Dia langsung mengacungkan kartu identitasnya sebagai pengawal Lintang kepada penjaga gerbang dan mereka pun membiarkannya masuk. Wira menghempaskan Lintang ke kursi, membuat gadis itu memekik. "Apa-apaan kamu, Wira?!" teriak Lintang marah."Diam!" hardik Wira mengacungkan telunjuknya lurus pada Lintang."Kamu bermain mata dengan pengawal sialanmu itu, Lintang?! JAWAB!" Lintang mengerjap kaget sambil mengkerut takut di sofa. "Jangan asal menuduh, Wira!" tepis Lintang memberanikan diri. Wira merai
"Nona, bangunlah!" Arthur membelai pipi Lintang dengan lembut. Gadis itu melenguh merasa terusik, menggumam pelan seraya berbalik mengganti posisi tidurnya. Arthur mengulum senyum melihatnya. Gemas. Sedikit canggung melihat punggung mulus Lintang di hadapannya tanpa tertutup selimut. Rasanya ingin sekali mengulurkan tangan, menyentuh kulit sehalus sutera itu dengan ujung jemari tangannya. Membuat gadis itu kembali mendesah dalam buaiannya. Arthur mengerjap, lalu menggelengkan kepala menyingkirkan adegan-adegan panas yang berseliweran di dalam kepalanya. "Kenapa?"Arthur terperanjat kaget mendengar suara Lintang. Ia membuka mata dan melihat gadis itu tengah menatapnya sambil tersenyum simpul. Wajah bangun tidurnya begitu mempesona tanpa riasan sedikitpun. "Ah, tidak apa-apa!" kelit Arthur sambil beranjak berdiri, namun Lintang menarik tangannya sehingga membuatnya jatuh kembali di tempat tidur."Tunggu sebentar," rengek Lintang seraya merebahkan kepalanya di paha Arthur. Tanganny
Pesta pernikahan berlangsung meriah dan menjadi berita hangat di berbagai stasiun televisi. Disebut-sebut sebagai pernikahan paling mahal dengan nilai mahar yang fantastis dan dekorasi super mewah. Belum lagi dengan sosok Lintang sebagai ratu sehari dengan gaun seharga ratusan juta yang disebut sebagai gaun pengantin termahal tahun ini, dengan nilai mencapai miliaran rupiah ketika gaun itu selesai dibuat. Souvenir adalah salah satu hal yang dibicarakan oleh para undangan, di mana isinya berupa ponsel keluaran terbaru juga satu set perhiasan, serta tas souvenir dari salah satu brand tas ternama. Sehingga bisa dikatakan pernikahan antara Lintang dan Wira akan dibicarakan selama berhari-hari. Juga itu adalah momen menyatunya dua keluarga besar dan kaya raya, Adiwilaga dan Bramantya. Arthur bekerja keras memastikan pesta berlangsung dengan aman. Meski ia fokus pada Lintang saja, tapi pihak keamanan juga terhubung dengannya. Selagi bertugas, tak sedikit dari para undangan yang menggoda