Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Pria dengan seragam anti peluru itu menyipit, fokus pada tujuan di depan sana. Bukan hanya membaca semilir angin, namun target yang berdenting di arah ratusan meter juga ikut jadi pertimbangannya.Ritme gerakan, suara, detik-detik sebelum ...Duar!Tembakan dilepaskan."Yash!" pekik Arthur, puas. Mengepalkan tangan dengan perasaan lega sebab berhasil melumpuhkan target.Seseorang menepuk pundaknya dan tersenyum lebar, entah sejak kapan berada di sana."Kemampuan menembak jarak jauh kau makin bagus, Arthur. Pertahankan!" tukas sosok itu, berkomentar bangga.Menyaksikan secara langsung anak asuh yang telah tumbuh menjadi pentolan di pasukan ini membuatnya tak bisa berhenti kagum.Yang dipuji melengkungkan senyuman tipis."Kau terus berlatih walau libur?""Saya masih harus terbiasa melakukannya diantara gelap, Komandan. Ini bukan apa-apa," balas pria itu, merasa sungkan menerima penghargaan dengan satu bakat saja.Komandan mengangguk."Sebagai seorang prajurit, cepat puas adalah kebiasaa
"Boleh aku tahu wanita seperti apa yang jadi idamanmu, Kapten?"Arthur hampir tersedak es krimnya sendiri saat mendengar pertanyaan itu diberikan padanya, secara tiba-tiba sekali.Tidak ada angin, tidak ada hujan. Begitu saja, dilontarkan oleh sosok yang diam-diam menempati hatinya.Lama pria itu menatap wanita idamannya, tanpa mengatakan apapun. Bibirnya kelu, ingin mengutarakan yang sebenarnya tapi tahu batasan.Bahwa kejujurannya, mungkin akan menimbulkan masalah, nanti."Nona," jawab Arthur, setelah diam cukup lama.Lintang membulatkan matanya. "A-aku?""Ada noda es krim. Mau saya bersihkan atau dibersihkan sendiri?" sambung Arthur, benar-benar menyebalkan dengan tingkah polosnya.Menatap lekat ujung bibir Lintang, ranum, cantik sekali.Untuk beberapa saat, Lintang mengira bahwa balasan itu memang diperuntukkan sebagai jawaban dari pertanyaannya. Tipe wanita idaman Arthur.Rupanya bukan."Aku bisa bersihkan sendiri!" ucapnya, terdengar kesal, menghentak. "Kenapa tiba-tiba membahas
Kedua mata pria itu membulat sempurna saat mendengar kabar bahwa Lintang meninggalkan ruangan tanpa sepengatahuan siapapun. "VIP kabur?!" pekiknya.Apa lagi ini?Kenapa mendadak wanita itu terus mengusik ketenangan milik Arthur?Tidak bisakah sekali saja membiarkan dirinya tenang sebentar?"Lokasi terakhir, bukankah Nona Lintang masuk ke dalam?" Arthur berujar serak. "Bahkan CCTV memperlihatkan VIP masuk ke kamarnya!""Benar, ta-tapi saat aku memberi makanan ini dan masuk, Nona sudah tidak ada," terang salah seorang pelayan, gemetar takut. "A-aku tidak tahu Nona pergi ke mana!""Kamar jendela terbuka, Kapt," ucap bawahan Arthur, mengatakan cara Lintang kabur. "Ada tali yang dibiarkan terurai sampai bawah," tambahnya, melampirkan bukti itu ke hadapan Arthur."Yang digunakannya kabur pergi dari sini," cicit Arthur. "Kemana sebenarnya Nona Lintang pergi?" bisik pria itu, mengusap dagunya tegang.Tanpa ba-bi-bu, Kapten tim itu langsung segera pergi. mengikuti instingnya, menebak di mana k
Butuh sepersekian detik bagi Arthur mencerna kalimat tersebut. Baru berujar serak, "Te-tentu saja," jawabnya, dengan nada terputus-putus."Boleh?" tanya Lintang memastikan, maju mendorong pria itu ke belakang.Arthur mengangguk.Gemas sekali, sangat berbeda dengan aura kapten tim yang nampak menakutkan beberapa waktu yang lalu.Bertemu dengan bola mata indah wanita di hadapannya membuatnya salah tingkah, membuang pandangannya ke arah lain.Pria itu tidak bernyali saat menatap Lintang, jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari sebelumnya. "Kan Nona yang menyukai saya, sayanya tidak.""Dasar!" Lintang memukul dada bidang itu, mendorong jauh. "Kenapa ada orang semenyebalkan dirimu, sih?""Memang saya menyebalkan? Tapi kamu suka!" Arthur membela diri, diam-diam tersenyum tipis sebab berhasil menggoda Lintang dan membuat wajah manis itu seketika merona.Mereka saling diam dan tenggelam pada pikiran masing-masing. Membiarkan diri larut pada kehangatan sore yang terlihat menakjubkan, jau