Ia menyukai Zack! Ya, selama ini ia sering memimpikan pria dewasa nan rupawan itu. Walaupun usia mereka terpaut cukup jauh. Entah mengapa diam-diam perasaan itu semakin besar dan seakan menenggelamkan Nabila semakin dalam di lubang tanpa dasar berupa rasa yang ya ... itulah yang bernama cinta.
Terkadang Nabila merasa bersalah, mengapa harus memiliki rasa itu kepada Zack. Sedangkan ia menyadari bahwa keberadaannya di sana mungkin sebenarnya tidak diharapkan. Jika tidak karena keduanya membutuhkan keturunan, maka ia tidak mungkin berada di sana. Ia hanya sekadar dianggap sebagai pabrik anak.Walaupun memang tidak ada perjanjian apa pun itu, dirinya sempat berpikir, bisa jadi ia akan dijadikan seperti baby sitter saja setelah ini. Karena tidak ada perjanjian yang mengharuskan ia pergi setelah anak itu lahir. Dan ... itu bukan menjadi masalah baginya. Ia sudah merasa betah bersama keluarga itu dan yang paling penting, ia tidak merasa kekurangan lagi seperti dulu di Indonesia. Dan ia tidak pernah lagi merasa dihina karena kekurangan."Jam berapa besok Kak Ve berangkat?" tanya Nabila kemudian."Sore," jawab Veronica singkat, "oke, aku mau belanja dulu dengan Zack sekarang. Kamu mau ikut?" tanya wanita itu sambil bangkit berdiri."Aku di rumah aja, Kak.""Yakin?" Veronica tersenyum manis.Selama ini ia memperlakukan Nabila dengan sangat baik, seperti kepada adiknya sendiri. Hal itu juga yang terkadang membuat Nabila merasa bersalah ketika perasaan ingin memiliki Zack tiba-tiba hadir. Selama ini tidak pernah ia diperlakukan sebaik ini oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan oleh orang tua angkatnya dulu. Karena itulah, ia selalu merasa sebagai pembawa sial seperti yang selalu keluarga angkatnya katakan. Karena sejak lahir ia dibuang oleh orang tua kandungnya yang entah ke mana. Diadopsi pun tidak membuatnya merasa dicintai."Iya, Kak. Kakak berdua suami ... saja."Veronica mencebik dan menaikkan kedua alisnya. "Oke. Kamu istirahat aja di rumah ya!" serunya.Nabila pun tersenyum dan mengangguk.***"Aku pergi dulu. Jaga anak dan suami kita," bisik Veronica sambil memeluk Nabila erat dan membelai perutnya yang mulai membesar.Tentu saja ia tidak benar-benar menganggap serius perkataan itu. Veronica tersenyum menggoda ke arah sang suami. Namun, Nabila sangat-sangat mengetahui dari tatapan wanita tersebut. Perkataan itu hanyalah candaan.Veronica sama sekali tidak pernah mengharap Nabila menganggap anak yang dikandung itu sebagai anak Nabila sendiri. Sebab ia sering mengulang-ulang kata 'surrogate mother' ketika mereka tengah berbincang—walaupun memang kenyataannya seperti itu—Seolah-olah untuk mengingatkan kepada Nabila tentang posisinya yang hanyalah sekadar ibu pengganti."Bye, Bos!" Veronica pamit kepada sang suami seraya memeluk kemudian mencium bibir lelaki itu. Ya, di Negeri Paman Sam memang tidak menjadi suatu hal yang tabu sepasang kekasih berpelukan atau berciuman di tempat umum seperti bandara dan tempat lainnya seperti itu.Wajah Nabila merona melihat pemandangan di hadapan. Ia berusaha mengalihkan pandangan, walau sebenarnya ia sudah sering melihat hal itu di rumah dengan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan."Take care yourself, Babe ...," ucap Zack mengingatkan sang istri sambil sekali lagi mengecup mesra bibir wanita itu."Bye!" Veronica tersenyum semringah dan berjalan menjauh. Ia mengisyaratkan cium jauh kepada Zack dan Nabila."Ayo," ajak Zack sambil menyentuh pinggang Nabila.Sentuhan-sentuhan kecil seperti menyentuh lengan, menyentuh pinggang, dan merangkul bahu Nabila sudah biasa diberikan Zack selama ini. Nabila sudah memperkirakan hal itu sejak awal. Karena ia menyadari kehidupan bebas di Amerika tentu hal tersebut biasa. Karena itu jugalah yang menjadi alasan Nabila mensyaratkan untuk adanya akad pernikahan di antara dia dan Zack di awal selain agar ia bebas membuka kerudungnya di rumah.Akan tetapi, tetap saja sentuhan-sentuhan kecil tersebut cukup berpengaruh kepada daging merah di dalam rongga dada wanita muda itu. Ia benar-benar haus. Ya, haus kasih sayang ....Terdengar suara ketukan pintu kamar Nabila. Gadis itu yakin kalau itu adalah Zack. Ya, siapa lagi? Mereka tinggal berdua saja di rumah saat ini."Ya, Zack! Ada apa?" Nabila sedikit mengeraskan suaranya."Kamu nggak makan malam, Nabila?" tanya Zack.Nabila yang baru saja selesai shalat isya tidak jadi meraih buku yang hendak dibacanya. Ia melangkah menuju pintu kamar, lantas membukanya."Ayo kita makan! Makanan pesananku baru sampai," ajak Zack dengan wajahnya yang senantiasa tampak ramah.Sudut bibir Nabila sedikit berkedut, kemudian ia menyimpul sebuah senyum kecil. Ia teringat, Veronica tidak sedang bersama mereka. "Aku ... belum lapar," jawabnya malu-malu.Zack menatapnya lekat. "Ayolah ... kamu tahu, aku nggak suka makan sendirian," bujuk pria tampan itu.Melihat Nabila yang masih bergeming, Zack langsung saja meraih lengan wanita muda di hadapannya. Sentuhan itu menyebabkan desiran hangat di dalam aliran darah Nabila. Rasa itu kini sering datang ketika lelaki tersebut menyentuhnya.Mau tidak mau gadis manis tersebut mengikuti langkah Zack menuju ke arah ruang makan."Ke sini!" Zack menggeser sebuah kursi mempersilakan Nabila untuk duduk. Hal itu membuat Nabila semakin salah tingkah. Zack memang selalu bersikap manis.Nabila lalu duduk di sana.Zack merapatkan kursi agar gadis itu lebih nyaman pada posisinya. Jantung Nabila berdegup kencang, biasanya Zack tidak pernah makan malam di rumah pada saat Veronica tidak ada, karena biasanya selalu di hari kerja. Akan tetapi, ini akhir pekan. Tadi Zack tidak bekerja.Zack membuka bungkusan makanan dan melayani Nabila. Hal itu lagi-lagi membuat Nabila yang tidak pernah diperlakukan manis seperti demikian merasa begitu istimewa."Kamu sepertinya sudah jarang muntah, nggak seperti sebelumnya," tutur Zack sambil mengunyah makanannya."Iya, kata orang memang yang berat itu di trimester pertama. Ini sudah hampir lima bulan usia kandunganku, sudah tidak sering terasa mual lagi," sahut Nabila seraya ikut memulai suapannya."Syukurlah. Aku kasihan melihat kamu tersiksa dengan kehamilan itu. Dulu Veronica pernah mengalami hal yang sama, dia jadi stress sebab pekerjaannya ikut terbengkalai. Dan ... mungkin belum waktunya kami diberi keturunan, janinnya tidak bertahan. Sampai sekarang Veronica belum bisa hamil kembali." Panjang lebar Zack bercerita. "Beruntung ada kamu. Mudah-mudahan bayi kami sehat sampai kamu melahirkan," lanjutnya tersenyum ke arah Nabila.Veronica memang pernah bilang kepada wanita muda itu, kalau ia pernah hamil, tetapi keguguran."Alhamdulillah sekarang aku sudah enakan. Kamu jangan khawatir," ucap Nabila kepada Zack."Ya, alhamdulilah ...." Zack tersenyum manis.Senyum itu menular ke Nabila. Mereka lalu saling bercerita, terkadang Zack mencandainya. Walau membahas hal-hal remeh, tetapi, itu membuat hati Nabila semakin bahagia berada di dekat Zack. Pria dewasa itu pandai menarik hati semua orang. Pantas saja pasangan Yasmin dan Surya Cahyana yang Veronica bilang sebelumnya tidak menyetujui hubungan putrinya dengan Zack, akhirnya luluh."Sini! Biar aku yang bereskan!" Zack mencegah Nabila yang hendak membereskan piring dan gelas kotor bekas mereka makan malam.Nabila pun mengurungkan niatnya untuk mencuci piring kotor tersebut. Ia kembali meletakkan bokongnya ke kursi.Hal ini pula yang memperlihatkan Zack memang pria spesial di mata Nabila. Pria tersebut begitu ringan tangan pada pekerjaan rumahnya. Ia sering membereskan apa saja di dalam rumah termasuk mencuci piring. Bahkan Nabila perhatikan, Veronica tidak setelaten Zack dalam membereskan rumah.Diam-diam Nabila memperhatikan Zack dari balik punggung lebar itu dan ia semakin mengagumi pria yang usianya lebih tua enam belas tahun di hadapannya. Wajah yang rupawan dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar bibir, dagu, dan pipinya, tubuh yang tinggi serta bentuk proporsional. Otot-otot lengan yang menonjol sangat menarik bagi mata wanita mana saja yang melihatnya. Beberapa kali Nabila mendapati pria itu dalam keadaan shirtless ketika Zack sedang berolah raga atau berenang di kolam renangnya. Otot dada dan perutnya begitu indah, menggoda wanita mana saja untuk dapat menyentuhnya."Kamu pernah punya kekasih, Nabila?" tanya Zack ketika selesai mencuci piring dan meletakkan benda-benda itu ke rak di dekat wastafel."Ha ...?" Nabila sedikit terkesiap. Tanpa sadar ia tengah membayangkan menyentuh tubuh liat pria di hadapannya itu.Next"Kamu pernah punya kekasih? Atau saat ini ada hubungan dengan seorang lelaki?" ulang Zack bertanya kembali.Dengan kecanggihan teknologi, walaupun Nabila tidak pernah terlihat bertemu dengan seorang pria, tentu bisa saja ia mempunyai hubungan secara online—mungkin—pikir Zack."Oh ... nggak. Aku nggak punya," jawab Nabila dengan wajah terasa menghangat. Ia mengalihkan pandangan, takut pria tampan itu menyadari rona di wajahnya. Bagaimana tidak, ia baru saja membayangkan tubuh pria di hadapannya itu tadi.Zack mencebik. "Gadis secantik kamu nggak punya kekasih?"Oh, astaga ... Nabila semakin salah tingkah mendengar pujian Zack tentang wajahnya. "Aku ... aku nggak cantik," bantahnya sambil bangkit dan berjalan menuju ke ruang tengah. Zack mengekorinya. "Siapa bilang kamu nggak cantik? Kamu cantik, Nabila," puji Zack tanpa beban.Nabila mendaratkan bokongnya ke atas sofa di depan televisi. "Menurut kamu aku cantik?" tanyanya memastikan ketika Zack ikut duduk di sebelahnya dan mengambil r
"Kamu mau buat apa?" tanya Zack seakan tidak terjadi apa-apa. Ia melongok ke arah perlengkapan masak Nabila."Ah ... ini, aku ... mau buat sandwich," jawab Nabila semakin gugup.Zack mencebik. "Oke! Aku mau mandi dulu!" Lelaki itu pun berlalu meninggalkan ruang dapur tersebut dengan santai.Ketika bayangan pria itu sudah tidak tampak lagi, Nabila sontak menyandarkan pinggangnya ke meja dapur. Kakinya tiba-tiba saja terasa lemas bagai jelly. Ia menarik napas panjang-panjang, lantas mengembuskannya perlahan. "Ya Allah ... mengapa begini?" bisiknya pada diri sendiri.***Hari ini hari senin. Tampak Zack merapikan diri di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah. Rutinitas bekerja di kantor kembali menghampiri.Nabila berada di meja dapur. Ia tengah sibuk berkutat dengan tepung dan telur. Ia berniat membuat roti panggang untuk camilan. Beberapa hari ini dirinya sering merasa lapar. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, justru makanan banyak ditolaknya karena tidak berselera, hanya me
"Lu mau pinjam berapa?" tanya Nabila setelah beberapa detik terdiam. Sudah ia duga, Metta sedang ada masalah."Mmm ... dua puluh juta, Nab," jawab Metta terdengar ragu-ragu."Ehmm." Nabila berdeham. Uang dua puluh juta bukan sedikit, pikirnya. "Lu ada masalah apa?" tanyanya hati-hati."Nyo–nyokap gue sakit, gula darahnya tinggi banget," ungkap sang sahabat.Nabil menyimak."Udah sepekan nyokap gue di rumah sakit, Nab. Waktu itu operasi, ada gumpalan darah kotor di pahanya. Ini alhamdulilah, kata dokter sudah baikan. Mungkin satu atau dua hari lagi udah boleh pulang. Tapi gue mesti bayar biaya rumah sakit dan obatnya, Nab," jelas Metta dengan suara bergetar seperti hendak menangis.Metta jarang meminta tolong. Justru wanita itu yang sering menolong Nabila. Selama tiga bulan lebih Nabila tinggal bersamanya di satu ruangan, ia hanya sering memikirkan uang patungan untuk membayar kamar saja. Sementara Metta, hampir setiap hari membagi makanan kepadanya. Bahkan Metta-lah yang menolongnya k
Beberapa detik kemudian–"Lu gila!" Metta terdengar kesal di sana."Gue ... gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue, Met," lirih Nabila. Wajahnya tertunduk lesu."Lu di situ cuma nolongin dan sekaligus ngambil keuntungan dari mereka! Lu sendiri yang bilang ini cuma demi uang! Lagi pula udah gue bilang, pernikahan kalian juga itu ... aaah! Dari awal gue bilang semua udah nggak benar. Tapi lu nekat!" omel Metta. Sejak awal Metta tidak pernah setuju dengan keputusan yang diambil Nabila untuk menjadi seorang ibu pengganti. Karena jelas melanggar ketentuan agama. Kemudian walaupun mendengar Nabila menikah, ia sama sekali tidak mendukung hal itu. Namun, Nabila tetap tidak mau mendengarkan. Ia bersikukuh ingin mengubah nasib, katanya."Lu kok, malah marah-marah gini sih, Mett, sama gue?" Nabila menyatukan alisnya, entah mengapa ia menjadi kesal sebab diomeli oleh Metta. Apa gadis itu lupa, dengan uang itu juga ia bisa membayar biaya rumah sakit ibunya."Gue ngekhawatirin lu, Nab. Elu di neger
"Tuan Andrew ...?" lirih Nabila pada diri sendiri. Ia terdiam, napasnya seakan tersekat melihat keakraban ... oh, tidak! Itu bukan keakraban biasa, melainkan suatu kemesraan!Veronica tampak refleks mendorong tubuh Andrew. Ia lalu berlari menuju ponsel yang mana panggilan video masih terhubung dengan Nabila. "Nanti lagi, Nabila!" Veronica memutus sambungan video call-nya.Nabila masih tergamang dengan apa yang ia saksikan barusan. 'Kak Ve .... Apa mungkin dia ...?' Wanita muda itu mengernyitkan dahi. Netranya masih menatap lekat ke arah layar ponsel di hadapannya yang lamban menggelap. Pikirannya menerka kalau ada hubungan terlarang antara Veronica dengan Andrew. Ya, tidak salah lagi. Ketika di butik beberapa waktu lalu, ia juga pernah memergoki Veronica dengan pria itu dalam posisi yang sangat dekat.Waktu itu Andrew merangkul pinggang Veronica hingga tubuh mereka kian rapat tanpa jarak. Kakak madunya tersebut juga terlihat kaget, ketika tiba-tiba Nabila masuk ke dalam ruangannya sa
Selama ini Nabila tidak pernah menyentuhnya secara langsung seperti ini, sebab biasanya dirinyalah yang duluan memulai. Namun, ia berusaha bersikap normal dan hanya bisa terdiam tanpa menolak apa yang dilakukan Nabila terhadapnya."Kamu kelihatan capek banget hari ini," ujar Nabila sambil terus memijat pria itu."Ah, iya. Beberapa hari ini di perusahaan sedang banyak proyek yang mesti aku kerjakan." Zack tersenyum kaku. Beberapa hari ini Zack memang berusaha menghindar dari Nabila sejak sikap aneh wanita muda itu muncul ketika ia membantu membersihkan matanya dari tumpahan tepung di dapur hari itu.Nabila mengitari sofa, kemudian mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Zack. Namun, tiba-tiba pria itu bangkit. "Aku mau mandi dulu. Setelah itu mau tidur," ucapnya seraya hendak melangkah pergi menuju ke kamarnya. Zack sengaja ingin menghindar dari Nabila."Tunggu!" Nabila meraih pergelangan tangan pria di hadapannya.Zack menoleh ke arah wanita manis yang mengenakan piyama satin berwarna
"Apa kita akan menyiapkan makan malam di sini?" tanya Nabila basa-basi meskipun yang sebenarnya ia sama sekali tidak mengharapkan Veronica kembali. Ia menjadi membenci wanita itu sejak melihat kejadian di kamar hotel tersebut waktu itu."Aaah ... kamu benar!" seru Zack, "kita siapkan makan malam spesial buat Veronica!" Pria tampan itu tampak sangat antusias.Nabila kembali tersenyum palsu di hadapan Zack. "Oke," sahutnya singkat."Kita belanja habis ini!" ajak Zack dengan penuh semangat."Kamu nggak ke kantor?" tanya Nabila heran. Ini hari Jum'at, mestinya Zack harus ke kantor."Pekerjaan sudah banyak yang beres. Aku nanti bilang ke Suzan kalau tidak pergi ke kantor hari ini.""Oke. Terserah kamu," sahut Nabila dengan bibir yang setia tersenyum.Usai sarapan, keduanya pun pergi ke sebuah supermarket. Mereka memilah dan memilih bahan-bahan makanan yang akan mereka masak untuk menyambut kedatangan Veronica.***"Sorry, Babe, tadi batre hapeku kehabisan daya. Pesawatnya juga delay dua ja
Betapa terkejutnya Nabila menerima perlakuan intim seperti saat ini. Namun, ia benar-benar tidak dapat menolak. Bukankah hal seperti ini yang selalu ia idam-idamkan di dalam kesendiriannya selama ini?Dua detik. Tiga detik. Empat detik.Zack begitu intens memainkan bibir yang belum pernah dijamah seorang pria mana pun itu. Nabila pun kian terlena.Setelahnya, seakan tersadar, sang pria pun langsung meng-cut aktivitasnya. "So–sorry ...," lirih pria itu dengan mata yang berlari ke sana kemari. Entah mengapa ia malah menjadi gugup seperti itu.Nabila terpaku. Diam membisu. Hanya detak jantungnya yang seakan memburu. Bahkan napasnya terasa tersekat, hatinya tak ingin semua berlalu begitu saja.Zack lantas bangkit dan gegas melangkah ke luar kamar Nabila dan menutup pintunya tanpa berkata-kata lagi. Meninggalkan Nabila dalam ketermanguan. Ya, wanita muda itu seakan tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Zack ... Zack yang sangat mencintai dan sangat memuja Veronica baru saja mencium bi