Share

Bab 7 : Canggung

Beberapa detik kemudian–"Lu gila!" Metta terdengar kesal di sana.

"Gue ... gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue, Met," lirih Nabila. Wajahnya tertunduk lesu.

"Lu di situ cuma nolongin dan sekaligus ngambil keuntungan dari mereka! Lu sendiri yang bilang ini cuma demi uang! Lagi pula udah gue bilang, pernikahan kalian juga itu ... aaah! Dari awal gue bilang semua udah nggak benar. Tapi lu nekat!" omel Metta.

Sejak awal Metta tidak pernah setuju dengan keputusan yang diambil Nabila untuk menjadi seorang ibu pengganti. Karena jelas melanggar ketentuan agama. Kemudian walaupun mendengar Nabila menikah, ia sama sekali tidak mendukung hal itu. Namun, Nabila tetap tidak mau mendengarkan. Ia bersikukuh ingin mengubah nasib, katanya.

"Lu kok, malah marah-marah gini sih, Mett, sama gue?" Nabila menyatukan alisnya, entah mengapa ia menjadi kesal sebab diomeli oleh Metta. Apa gadis itu lupa, dengan uang itu juga ia bisa membayar biaya rumah sakit ibunya.

"Gue ngekhawatirin lu, Nab. Elu di negeri orang sendiri. Lu jangan bikin masalah di rumah tangga orang! Jangan sampai lu punya pikiran mau jadi pelakor!" tegas Metta.

"Enak aja, pelakor-pelakor. Gue nikah, Met!" Hati Nabila semakin panas mendengar ocehan sahabatnya itu.

"Tap–"

"Lu nggak perlu ngekhawatirin gue, Metta!" potong Nabila, "dari dulu gue udah biasa hidup sendiri. Karena itu juga gue bisa sampe di sini. Bisa di titik ini! Gue sekarang udah nggak kekurangan lagi. Apa salahnya gue jatuh cinta, hah?! Apa gue nggk boleh berharap untuk dicintai?!!" cecar Nabila tak mau kalah.

Belum sempat Metta menyahut lagi ....

"Wajar, dong! Dia tampan, body-nya oke, baik, perhatian. Bahkan selama hidup gue, gue nggak pernah dapat perhatian sebegitu besar dari siapa pun! Baru sekarang gue ngerasain itu, Mett! Dan lu ... gue nggak butuh nasehat lu lagi! Gue nggak butuh ceramah lu!" Nabila langsung menutup sambungan teleponnya, lantas melempar ponsel itu ke atas kasur. Wajahnya memerah karena emosi. Ia benar-benar kesal kepada Metta kali ini.

***

"Hi, Babe!" sapa Veronica kepada sang suami.

"Hi! How are you, Babe? Sudah selesai pameran busananya?" tanya Zack kepada Veronica yang menghubunginya lewat panggilan video saat ini.

Sudah sepuluh hari Veronica berada di Paris. Wanita itu cuma beberapa kali saja menghubungi Zack. Veronica memang berpesan kepada sang suami agar tidak menghubunginya, biar dialah yang menghubungi. Alasannya adalah kesibukan yang tidak dapat diprediksi di sana.

Akan tetapi memang, selama Veronica masih memberi kabar dalam tiga harian, Zack tidak mempermasalahkan hal itu. Dia sangat memahami bahwa ini mimpi sang istri sejak lama. Ia selalu berusaha menjadi suami yang baik. Ia tidak mau mengganggu pekerjaan istrinya.

"Sudah," jawab Veronica singkat dengan senyuman lebar. "Aaah, aku senaaaang sekali. Sukseeeess! Hahaha ...!"

Zack tersenyum semringah melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah sang istri. Walaupun selama ini Zack memang merasa kurang senang dengan apa yang dikerjakan istrinya. Hal itu karena ia sebenarnya ingin Veronica di rumah saja, fokus menjadi istri dan ibu dari anak-anak mereka kelak. Toh, apa yang ia hasilkan dari pekerjaannya sudah cukup untuk kehidupan mereka. Bahkan lebih dari cukup. Ia memimpin sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang perdagangan perlengkapan rumah tangga. Dari furniture, sampai ke pernak-pernik kecil pelengkap desain interior. Jadi, Veronica sebenarnya tidak perlu lagi mencari uang.

Akan tetapi, beberapa kali ia sampaikan hal itu, hanya memicu ketidaksenangan pada Veronica. Pernah suatu saat mereka bertengkar karena membicarakan hal tersebut. Akhirnya Zack mengalah, ia berpikir, ia akan bahagia jika melihat sang istri bahagia. Ya, seperti saat ini. Senyuman penuh kebahagiaan Veronica mengundang pula kebahagiaan untuknya.

"Kamu nggak lagi sibuk, 'kan, aku nelepon jam segini?" tanya Veronica karena mengingat Zack masih berada di kantornya sekarang.

Zack sedikit mencebik dan melirik arloji di tangan kanannya. "No problem untuk sepuluh menit ke depan," ujar lelaki itu singkat.

"Ooh, oke! By the way, Apa kabar anak kita, Babe?" tanya Veronica dengan senyum yang masih setia di bibir berlipstik merahnya.

"Kita hubungi Nabila aja ya ...," ajak Zack. Kemudian pria itu menambahkan Nabila ke percakapan mereka.

Beberapa hari ini, sejak kejadian di dapur, Zack seakan menjaga jarak kepada Nabila. Lelaki itu sarapan dengan cepat dan tidak pernah lagi membelai atau mengecup perut wanita muda itu.

Zack mulai melihat dan menyadari gelagat Nabila yang seperti mempunyai perasaan lebih kepadanya. Ia tidak ingin itu terjadi karena sangat mencintai Veronica. Ia tidak mau memberi harapan kepada wanita mana pun. Ia menikahi Nabila itu juga hanya karena sang istri memaksanya. Yaitu hanya demi mereka mendapatkan seorang keturunan dari rahim wanita muda itu.

Zack tidak menyadari. Sebenarnya Nabila cukup kesal dengan sikap pria itu yang kini berubah dingin.

"Hai, Nabila! Apa kabar?" sapa Veronica dengan mengembangkan senyuman di bibirnya.

"Hai juga, Kak Ve. Alhamdulillah aku baik," jawab Nabila dengan mengulas selarik senyum.

Zack juga mengukir senyum kecil di bibirnya. Ia berusaha bersikap normal di hadapan semua orang. Namun, kecanggungan itu tertangkap oleh Nabila.

"Baby boy gimana kabarnya juga? Baik aja, 'kan?" lanjut Veronica semringah.

"Iya, Kak. Alhamdulillah, sudah semakin aktif, dia–"

"Sorry, Sir. Mr. Lee waiting for you."

Terdengar suara seorang wanita dari ruang kerja Zack. Pembicaraan mereka terjeda.

"Oh, okey, Suzan. Thanks," ucap Zack. Ternyata yang barusan adalah suara Suzan, sekretarisnya.

Sang sekretaris pun pamit dan berbalik keluar ruangan bosnya.

"Hi, Ladies. Sorry, ada klien. Aku ke room meeting dulu," pamit Zack menyela percakapan kedua istrinya itu.

Veronica mengisyaratkan kiss bye dari seberang sana. Sementara Nabila, ia hanya mengangguk pelan menjawab pria itu.

Zack pun memutuskan saluran teleponnya. Tinggallah Veronica dan Nabila yang masih berada di saluran video call tersebut.

"Kamu tidak merasa bosan, 'kan, di rumah?" tanya Veronica basa-basi kepada Nabila.

"Nggak, Kak. Cuma aku–"

Cerita Nabila terputus dikarenakan ada bunyi bell dari ruangan hotel Veronica dan wanita berlipstik merah itu langsung meminta Nabila menunggu. Ponsel Veronica dari tadi memang sudah diletakkan di atas sebuah meja, mengarah ke pintu kamar. Jadi, Nabila bisa melihat kakak madunya yang melangkah menuju ke arah pintu di sana.

Deg!

Ketika Veronica membuka pintu kamarnya, Nabila sontak terkejut bukan kepalang. Ia melihat seorang laki-laki langsung saja mengarahkan wajahnya ke arah Veronica hendak mencium bibir seraya memeluk pinggang istri Zack itu dengan sangat mesra. "Let's play again, Darling!"

.

Next

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status