Nabila melirik sebentar ke arah Zack. Ia sama sekali tidak mau menyahuti. Wanita muda itu lalu menoleh ke arah Hana dan mengulurkan tangan sembari meringis kesakitan."Kamu nggak apa-apa, Nabila?" tanya Hana cemas seraya membantu memapah adiknya."Sakit, Kaak ...," rengek wanita muda itu sembari bangkit perlahan."Zayn ...." Tiba-tiba Zack tersadar akan putra kecilnya yang terlihat khawatir pada ibunya itu. Zayn menoleh ke arah ayahnya. Ia terlihat tengah mengingat-ingat. "Dad ... Daddy ...," ucapnya ketika ingatannya mulai terbuka. Zack tersenyum, kemudian memeluk putra kecilnya itu dengan perasaan membuncah dan penuh keharuan. Ia sangat merindu."Kaaak ...!" Tiba-tiba Nabila kembali merengek pada Hana.Zack menoleh ke arah Nabila dan pandangan matanya mengikuti pandangan wanita muda itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat air bercampur darah yang mengalir ke lantai."Nabila! Kita mesti ke UGD!" ujar Hana panik, "Zack, tolong panggil perawat!" suruhnya pada Zack."O–oke!" Zack den
"Dasar perempuan miskin! Pasti kamu ingin pansos ke kita, kan?""Cih! Anak yatim piatu aja belagu! Katanya punya kakak di panti yang diadopsi keluarga kaya? Mana dia? Pasti dia malu sama lo, Nabila makanya dia gak pernah ke sini!"#####Nabila menghela napas sembari mengemas barang-barangnya saat ini.Ia sudah memutuskan menerima tawaran Hana, kakak di panti asuhannya dulu, yang kebetulan tak lama ini dia temui.Hana tampak berbeda jauh dari yang ia ingat. Perempuan itu terlihat glamour dan kaya. Tadinya, mereka tidak saling mengenal, sampai Hana melihat dari kejauhan tanda lahir di pergelangan tangan bagian dalam Nabila ketika ia singgah di sebuah kafe di mana gadis manis berkerudung itu bekerja sebagai pelayan.Hana cukup beruntung diadopsi oleh keluarga yang baik. Semenjak mengangkat Hana sebagai anak, keluarga itu seakan mendapat curahan berkah. Keran-keran rezeki di kehidupan mereka terbuka lebar. Hana semakin disayang. Berbeda dengan Nabila. Ia justru mendapatkan perlakuan yang ti
Untungnya, Nabila berhasil memenuhi ekspetasi keduanya.Hari ini, Veronica dan Zack hendak merayakan kehamilan yang sudah satu dekade sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga mereka. Orang tua Veronica dari Indonesia pun datang. Mereka semua merasa bahagia, setelah sepuluh tahun sang putri menikah, akhirnya kabar gembira itu pun datang.Veronica pernah hamil, walau hanya sekali. Namun, di usia kandungan baru menginjak dua setengah bulan, ia mengalami keguguran. Setelah itu, kehamilan tidak pernah lagi menyapanya."Selamat ya, Sayang ...," ucap Jennifer Robinson, ibu mertua Veronica yang baru saja sampai. Ia seorang diri. Kebetulan, suaminya yang juga ayah Zack sudah meninggal dunia karena terserang stroke."Terima kasih, Mom," jawab Veronica dengan senyuman merekah.Dari arah dapur, Nabila hanya tersenyum miris ketika melihat Jennifer dan Yasmin—ibu dari Veronica—mengelus perut Veronica. Ya, mereka semua tidak tahu kalau yang sebenarnya hamil adalah dirinya. Zack dan Veronica tidak mence
Ia menyukai Zack! Ya, selama ini ia sering memimpikan pria dewasa nan rupawan itu. Walaupun usia mereka terpaut cukup jauh. Entah mengapa diam-diam perasaan itu semakin besar dan seakan menenggelamkan Nabila semakin dalam di lubang tanpa dasar berupa rasa yang ya ... itulah yang bernama cinta.Terkadang Nabila merasa bersalah, mengapa harus memiliki rasa itu kepada Zack. Sedangkan ia menyadari bahwa keberadaannya di sana mungkin sebenarnya tidak diharapkan. Jika tidak karena keduanya membutuhkan keturunan, maka ia tidak mungkin berada di sana. Ia hanya sekadar dianggap sebagai pabrik anak.Walaupun memang tidak ada perjanjian apa pun itu, dirinya sempat berpikir, bisa jadi ia akan dijadikan seperti baby sitter saja setelah ini. Karena tidak ada perjanjian yang mengharuskan ia pergi setelah anak itu lahir. Dan ... itu bukan menjadi masalah baginya. Ia sudah merasa betah bersama keluarga itu dan yang paling penting, ia tidak merasa kekurangan lagi seperti dulu di Indonesia. Dan ia tidak
"Kamu pernah punya kekasih? Atau saat ini ada hubungan dengan seorang lelaki?" ulang Zack bertanya kembali.Dengan kecanggihan teknologi, walaupun Nabila tidak pernah terlihat bertemu dengan seorang pria, tentu bisa saja ia mempunyai hubungan secara online—mungkin—pikir Zack."Oh ... nggak. Aku nggak punya," jawab Nabila dengan wajah terasa menghangat. Ia mengalihkan pandangan, takut pria tampan itu menyadari rona di wajahnya. Bagaimana tidak, ia baru saja membayangkan tubuh pria di hadapannya itu tadi.Zack mencebik. "Gadis secantik kamu nggak punya kekasih?"Oh, astaga ... Nabila semakin salah tingkah mendengar pujian Zack tentang wajahnya. "Aku ... aku nggak cantik," bantahnya sambil bangkit dan berjalan menuju ke ruang tengah. Zack mengekorinya. "Siapa bilang kamu nggak cantik? Kamu cantik, Nabila," puji Zack tanpa beban.Nabila mendaratkan bokongnya ke atas sofa di depan televisi. "Menurut kamu aku cantik?" tanyanya memastikan ketika Zack ikut duduk di sebelahnya dan mengambil r
"Kamu mau buat apa?" tanya Zack seakan tidak terjadi apa-apa. Ia melongok ke arah perlengkapan masak Nabila."Ah ... ini, aku ... mau buat sandwich," jawab Nabila semakin gugup.Zack mencebik. "Oke! Aku mau mandi dulu!" Lelaki itu pun berlalu meninggalkan ruang dapur tersebut dengan santai.Ketika bayangan pria itu sudah tidak tampak lagi, Nabila sontak menyandarkan pinggangnya ke meja dapur. Kakinya tiba-tiba saja terasa lemas bagai jelly. Ia menarik napas panjang-panjang, lantas mengembuskannya perlahan. "Ya Allah ... mengapa begini?" bisiknya pada diri sendiri.***Hari ini hari senin. Tampak Zack merapikan diri di hadapan sebuah cermin besar di ruang tengah. Rutinitas bekerja di kantor kembali menghampiri.Nabila berada di meja dapur. Ia tengah sibuk berkutat dengan tepung dan telur. Ia berniat membuat roti panggang untuk camilan. Beberapa hari ini dirinya sering merasa lapar. Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, justru makanan banyak ditolaknya karena tidak berselera, hanya me
"Lu mau pinjam berapa?" tanya Nabila setelah beberapa detik terdiam. Sudah ia duga, Metta sedang ada masalah."Mmm ... dua puluh juta, Nab," jawab Metta terdengar ragu-ragu."Ehmm." Nabila berdeham. Uang dua puluh juta bukan sedikit, pikirnya. "Lu ada masalah apa?" tanyanya hati-hati."Nyo–nyokap gue sakit, gula darahnya tinggi banget," ungkap sang sahabat.Nabil menyimak."Udah sepekan nyokap gue di rumah sakit, Nab. Waktu itu operasi, ada gumpalan darah kotor di pahanya. Ini alhamdulilah, kata dokter sudah baikan. Mungkin satu atau dua hari lagi udah boleh pulang. Tapi gue mesti bayar biaya rumah sakit dan obatnya, Nab," jelas Metta dengan suara bergetar seperti hendak menangis.Metta jarang meminta tolong. Justru wanita itu yang sering menolong Nabila. Selama tiga bulan lebih Nabila tinggal bersamanya di satu ruangan, ia hanya sering memikirkan uang patungan untuk membayar kamar saja. Sementara Metta, hampir setiap hari membagi makanan kepadanya. Bahkan Metta-lah yang menolongnya k
Beberapa detik kemudian–"Lu gila!" Metta terdengar kesal di sana."Gue ... gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue, Met," lirih Nabila. Wajahnya tertunduk lesu."Lu di situ cuma nolongin dan sekaligus ngambil keuntungan dari mereka! Lu sendiri yang bilang ini cuma demi uang! Lagi pula udah gue bilang, pernikahan kalian juga itu ... aaah! Dari awal gue bilang semua udah nggak benar. Tapi lu nekat!" omel Metta. Sejak awal Metta tidak pernah setuju dengan keputusan yang diambil Nabila untuk menjadi seorang ibu pengganti. Karena jelas melanggar ketentuan agama. Kemudian walaupun mendengar Nabila menikah, ia sama sekali tidak mendukung hal itu. Namun, Nabila tetap tidak mau mendengarkan. Ia bersikukuh ingin mengubah nasib, katanya."Lu kok, malah marah-marah gini sih, Mett, sama gue?" Nabila menyatukan alisnya, entah mengapa ia menjadi kesal sebab diomeli oleh Metta. Apa gadis itu lupa, dengan uang itu juga ia bisa membayar biaya rumah sakit ibunya."Gue ngekhawatirin lu, Nab. Elu di neger